Takhta,
Harta, Wanita, dan Kata-kata
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 Januari
2018
Pada 13 April 1987, Gary
Hart (51) membuat momen yang begitu mencuri perhatian publik Amerika Serikat.
Ketika mengumumkan pencalonan dirinya untuk pemilihan presiden 1988, Hart
tidak melakukannya di hotel mewah seperti disiapkan tim suksesnya. Politikus
Partai Demokrat itu justru mendaki kawasan Pegunungan Rocky Mountains di
wilayah Denver, Colorado. Di kala Rocky Mountains berselimut salju, berpijak
di sebuah batu pipih berwarna merah, Hart yang tanpa mantel mengumumkan
pencalonannya untuk bertarung dengan George HW Bush dari Partai Republik.
”Kita semua harus berusaha mempertahankan standar tinggi integritas dan
etika,” kata Hart.
Hart sangat fenomenal.
Hart disanjung sebagai pembawa harapan baru bagi AS. Saat bertarung di Partai
Demokrat pada 1984, Hart begitu mudah menumbangkan saingannya, Walter Mondale
yang merupakan wakil presiden periode 1977-1981, mendampingi Jimmy Carter.
Hart dikenal sebagai politikus cemerlang. Bahkan, Hart dilukiskan sebagai
salah satu tokoh paling cerdas dalam politik Amerika kontemporer oleh New
York Times. Dalam pilpres 1988, Hart diunggulkan dari pesaingnya, George HW
Bush. Dalam sejumlah survei, Hart diprediksi menang mudah menghadapi Bush,
wakil presiden periode 1981-1989, yang mendampingi Ronald Reagan.
Namun, hanya sebulan
semuanya berubah. Hart diketahui punya skandal dengan seorang wanita bernama
Donna Rice, seorang model berusia 29 tahun. Kasus itu terbongkar di Miami
Herald. Rice bertemu Hart pada pesta malam Tahun Baru tahun 1986-1987 di
Aspen, Colorado. Rice dan Hart lalu bertemu di Miami. Rice tertarik untuk
ikut berpartisipasi dalam program penggalangan dana. Foto Hart yang tengah
memangku Donna Rice menjadi viral kala itu. Seminggu kemudian, Hart
menyatakan mundur dalam perebutan kursi Presiden AS. Harapan publik AS pun
terkubur dalam-dalam.
Kasus-kasus seperti Hart
sudah banyak. Kasus seperti Hart inilah yang mungkin dapat dibaca dalam
mundurnya seorang bakal calon wakil gubernur setelah ada foto menghebohkan
yang viral di media sosial. Sangat disayangkan karena dia termasuk kepala
daerah yang berprestasi mengembangkan daerahnya sehingga dilirik banyak
orang. Barangkali memang harus selalu diingat, tiga ”ta” yang sangat dikenal
oleh semua orang merupakan ujian atau godaan dalam kehidupan, yakni takhta,
harta, dan wanita (bisa dibaca sebaliknya: pria).
Demi takhta, begitu banyak
orang yang ingin menjadi penguasa. Rabu (10/1), sebagai hari terakhir, mereka
yang ingin menjadi bupati/wakil bupati atau gubernur/wakil gubernur
berbondong-bondong mendaftar ke KPU daerah masing-masing. Pada tahun 2018 ini
ada 171 perhelatan pilkada. Lalu, demi harta, orang bisa kemaruk. Walaupun
dilarang baik secara agama maupun hukum negara, korupsi tetap saja
bereproduksi dan beranak pinak. Walaupun KPK sangat galak, tetap saja para
politikus mencari celah untuk bisa korupsi. Kabarnya, politik itu sangat
mahal sehingga mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan pundi-pundi sebagai
modal berpolitik. Nafsu korupsi ternyata lebih ”sakral” dibandingkan komitmen
atau sumpah pemberantasan korupsi yang menjadi agenda bangsa pascareformasi.
Sebagai contoh, tahun 2017, KPK menangkap atau menahan 12 kepala daerah dan
20 legislator.
Demi takhta, begitu banyak
orang yang ingin menjadi penguasa.
Dalam politik sekarang
ini, ada satu ”ta” lagi yang juga bisa membuat celaka, yaitu ”kata-kata”.
Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dihukum 2 tahun dalam kasus penodaan
agama barangkali menjadi pelajaran penting. Kata-kata itu tajam seperti
pedang. Ada istilah ”mulutmu harimaumu”. Sayangnya, sekarang ini banyak orang
tak mau dan tak mampu mengendalikan kata-katanya, tak peduli apakah
menyinggung atau menghina orang lain. Media sosial yang merupakan produk akal
budi generasi modern justru diisi dengan watak-watak primitif yang saling
memakan dan saling menghancurkan. Ujaran kebencian seperti menu rutin yang
terus dikonsumsi walaupun sudah membuat banyak orang muntah-muntah.
Padahal, cara bertutur
(berbahasa) menunjukkan tingkat keadaban. Apalagi, sekarang ini sudah tahun
2018. Maka, kikislah sisa-sisa kemarahan di 2017. Tahun 2018 semestinya diisi
dengan kata-kata dan kerja produktif. Jangan terbuai dengan nafsu takhta,
harta, wanita, dan kata-kata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar