Sabtu, 13 Januari 2018

Takhta, Harta, Wanita, dan Kata-kata

Takhta, Harta, Wanita, dan Kata-kata
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 11 Januari 2018



                                                           
Pada 13 April 1987, Gary Hart (51) membuat momen yang begitu mencuri perhatian publik Amerika Serikat. Ketika mengumumkan pencalonan dirinya untuk pemilihan presiden 1988, Hart tidak melakukannya di hotel mewah seperti disiapkan tim suksesnya. Politikus Partai Demokrat itu justru mendaki kawasan Pegunungan Rocky Mountains di wilayah Denver, Colorado. Di kala Rocky Mountains berselimut salju, berpijak di sebuah batu pipih berwarna merah, Hart yang tanpa mantel mengumumkan pencalonannya untuk bertarung dengan George HW Bush dari Partai Republik. ”Kita semua harus berusaha mempertahankan standar tinggi integritas dan etika,” kata Hart.

Hart sangat fenomenal. Hart disanjung sebagai pembawa harapan baru bagi AS. Saat bertarung di Partai Demokrat pada 1984, Hart begitu mudah menumbangkan saingannya, Walter Mondale yang merupakan wakil presiden periode 1977-1981, mendampingi Jimmy Carter. Hart dikenal sebagai politikus cemerlang. Bahkan, Hart dilukiskan sebagai salah satu tokoh paling cerdas dalam politik Amerika kontemporer oleh New York Times. Dalam pilpres 1988, Hart diunggulkan dari pesaingnya, George HW Bush. Dalam sejumlah survei, Hart diprediksi menang mudah menghadapi Bush, wakil presiden periode 1981-1989, yang mendampingi Ronald Reagan.

Namun, hanya sebulan semuanya berubah. Hart diketahui punya skandal dengan seorang wanita bernama Donna Rice, seorang model berusia 29 tahun. Kasus itu terbongkar di Miami Herald. Rice bertemu Hart pada pesta malam Tahun Baru tahun 1986-1987 di Aspen, Colorado. Rice dan Hart lalu bertemu di Miami. Rice tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam program penggalangan dana. Foto Hart yang tengah memangku Donna Rice menjadi viral kala itu. Seminggu kemudian, Hart menyatakan mundur dalam perebutan kursi Presiden AS. Harapan publik AS pun terkubur dalam-dalam.

Kasus-kasus seperti Hart sudah banyak. Kasus seperti Hart inilah yang mungkin dapat dibaca dalam mundurnya seorang bakal calon wakil gubernur setelah ada foto menghebohkan yang viral di media sosial. Sangat disayangkan karena dia termasuk kepala daerah yang berprestasi mengembangkan daerahnya sehingga dilirik banyak orang. Barangkali memang harus selalu diingat, tiga ”ta” yang sangat dikenal oleh semua orang merupakan ujian atau godaan dalam kehidupan, yakni takhta, harta, dan wanita (bisa dibaca sebaliknya: pria).

Demi takhta, begitu banyak orang yang ingin menjadi penguasa. Rabu (10/1), sebagai hari terakhir, mereka yang ingin menjadi bupati/wakil bupati atau gubernur/wakil gubernur berbondong-bondong mendaftar ke KPU daerah masing-masing. Pada tahun 2018 ini ada 171 perhelatan pilkada. Lalu, demi harta, orang bisa kemaruk. Walaupun dilarang baik secara agama maupun hukum negara, korupsi tetap saja bereproduksi dan beranak pinak. Walaupun KPK sangat galak, tetap saja para politikus mencari celah untuk bisa korupsi. Kabarnya, politik itu sangat mahal sehingga mereka berlomba-lomba untuk mengumpulkan pundi-pundi sebagai modal berpolitik. Nafsu korupsi ternyata lebih ”sakral” dibandingkan komitmen atau sumpah pemberantasan korupsi yang menjadi agenda bangsa pascareformasi. Sebagai contoh, tahun 2017, KPK menangkap atau menahan 12 kepala daerah dan 20 legislator.

Demi takhta, begitu banyak orang yang ingin menjadi penguasa.

Dalam politik sekarang ini, ada satu ”ta” lagi yang juga bisa membuat celaka, yaitu ”kata-kata”. Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dihukum 2 tahun dalam kasus penodaan agama barangkali menjadi pelajaran penting. Kata-kata itu tajam seperti pedang. Ada istilah ”mulutmu harimaumu”. Sayangnya, sekarang ini banyak orang tak mau dan tak mampu mengendalikan kata-katanya, tak peduli apakah menyinggung atau menghina orang lain. Media sosial yang merupakan produk akal budi generasi modern justru diisi dengan watak-watak primitif yang saling memakan dan saling menghancurkan. Ujaran kebencian seperti menu rutin yang terus dikonsumsi walaupun sudah membuat banyak orang muntah-muntah.

Padahal, cara bertutur (berbahasa) menunjukkan tingkat keadaban. Apalagi, sekarang ini sudah tahun 2018. Maka, kikislah sisa-sisa kemarahan di 2017. Tahun 2018 semestinya diisi dengan kata-kata dan kerja produktif. Jangan terbuai dengan nafsu takhta, harta, wanita, dan kata-kata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar