Politik
Korup
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
11 Januari
2018
Sepanjang 2017 dan awal
2018 sudah delapan kepala daerah diproses Komisi Pemberantasan Korupsi karena
korupsi. Kepala daerah yang terakhir terkena operasi tangkap tangan adalah
Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Abdul Latif, Jumat (5/1).
Kasus ini menambah daftar 33 kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota)
yang sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla terjerat kasus
korupsi.
Karena dari waktu ke waktu
selalu ada kepala daerah beserta pihak swasta terkena operasi tangkap tangan,
masyarakat pesimistis korupsi bisa lenyap dari bumi Indonesia. Kalangan
kepala daerah tampaknya ”tidak takut” dengan konsekuensi hukum yang mereka
hadapi.
Akibat banyaknya kepala
daerah yang korupsi, sangat beralasan apabila Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mewanti-wanti agar Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) 2018 yang dilaksanakan serentak di 171 daerah menghasilkan kepala
daerah yang kelak bebas korupsi. Untuk itu, perlu dipilih calon dengan rekam
jejak bersih—tidak cacat hukum. Dalam upaya mencegah pilkada koruptif, KPK
dan Polri siap membentuk Satgas Anti-Politik Uang.
Namun, melihat rentetan
kepala daerah yang terjerumus korupsi, peringatan dan harapan itu tampaknya
sulit terwujud. Aktualisasi harapan itu sangat terkait dengan berbagai faktor
yang memengaruhi perilaku setiap kepala daerah.
Salah satu faktor penting
yang membuat pejabat publik terjerumus korupsi adalah proses dan praktik
politik yang membuat sulit bagi kepala daerah menjaga integritasnya. Proses
politik cenderung menghancurkan integritas mereka.
Proses politik yang
menjerumuskan banyak pemegang jabatan publik yang diperoleh lewat pemilihan
kepala daerah dapat disebut sebagai politik korup. Aspiran politik lewat
pemilihan kepala daerah bukan hanya tidak berdaya menghadapi politik korup;
tak jarang mereka ikut menambah merajalelanya politik korup. Politik korup
adalah politik yang tercemar atau diwarnai keputusan, langkah, dan tindakan
koruptif yang merugikan konstituen dan publik. Politik korup menjadi akar
distorsi keputusan dan praktik pemerintahan sehingga peningkatan
kesejahteraan warga kian menjauh.
Korupsi yang sudah
pandemik membuat demokrasi Indonesia menjadi demokrasi cacat (flaw
democracy). Indonesia boleh saja merupakan negara demokrasi ketiga terbesar
di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Indonesia juga boleh saja
mengklaim sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, di
mana tidak ada masalah antara Islam dan demokrasi; Islam negeri ini
kompatibel dengan demokrasi.
Akan tetapi, sekali lagi,
demokrasi Indonesia bukan demokrasi tanpa cacat (flawless democracy).
Sebaliknya, proses dan praktik demokrasi Indonesia setelah hampir dua
dasawarsa mengandung cacat yang bukan tidak bisa disembuhkan, asal ada
kemauan keras dari semua pihak.
Menggunakan kriteria The
Economist Intelligence Unit, demokrasi yang tidak cacat atau demokrasi
sempurna (full democracy) adalah demokrasi di mana kebebasan politik dan
sipil dihormati dan terjamin sepenuhnya berdasarkan budaya politik yang kondusif
bagi penguatan demokrasi. Kemudian, full democracy juga mencakup kriteria:
pemerintah bisa berfungsi efektif dan memuaskan; media independen dan
beragam. Selain itu, eksisnya peradilan independen tempat keputusannya
ditegakkan dan adanya sistem checks and balances yang efektif.
Di antara berbagai
kriteria itu, cacatnya demokrasi Indonesia terutama terkait kenyataan belum
berkembangnya budaya politik (political culture) yang selaras dengan
demokrasi. Kenyataan ini banyak terkait dengan parpol dan elite yang
cenderung oligarkis dan menolak perbedaan internal sehingga sering berakhir
dengan perpecahan. Budaya politik seperti ini kemudian menciptakan parpol
yang tidak sehat. Parpol tidak bisa tumbuh sebagai organisasi politik modern
dengan manajemen dan keuangan yang sehat.
Pendanaan parpol
bergantung pada iuran anggotanya yang menjadi pejabat publik. Lalu, ada dana
yang berasal dari APBN dan APBD berdasarkan perolehan suara dalam pemilu
legislatif. Tampaknya, juga ada kontribusi (sering disebut ”mahar”) dari
kandidat yang bakal bertarung dalam pilkada atau pemilu. Agaknya dana dari
sumber-sumber ini tak terlalu signifikan.
Bukan rahasia lagi, sumber
dana lebih besar datang dari ”donatur” yang sarat dengan kepentingan bisnis
dan politik. Donatur yang umumnya berasal dari dunia bisnis masuk ke parpol,
baik di pusat maupun daerah. Donatur juga masuk melalui kandidat yang
bertarung di pilkada atau pemilu. Donatur menjadi ”investor” politik karena
banyak kandidat tak memiliki dana memadai untuk membiayai proses politik
pilkada yang terus menjadi sangat mahal.
Keterlibatan donatur atau
investor politik membuat proses politik rawan manipulasi. Tidak jarang
investor politik menanam kaki di beberapa tempat; memberikan ”sumbangan”
kepada sejumlah pasangan calon. Hasilnya, pasangan mana pun yang menang, sang
investor tetap mempunyai kaki dalam pemerintahan.
Inilah politik
transaksional yang menjadi salah satu akar pokok politik korup yang segera
memunculkan korupsi politik. Dalam politik yang semakin tidak ideologis—tetapi
pragmatis dan oportunistik—politik transaksional tidak bisa lain kecuali kian
berkembang.
Seperti diungkap Donatella
della Porta & Alberto Vannucci dalam Corrupt Exchanges: Actors,
Resources, and Mechanism of Political Corruption (2017), politik
transaksional melibatkan berbagai bentuk ”pertukaran”. Pertukaran yang
memunculkan korupsi tak hanya melibatkan uang (resources), tetapi juga
lingkaran aktor dan pialang serta mekanisme rumit dan tersembunyi.
Tak mudah menghadapi
lingkaran politik korup. Ia menghendaki KPK yang kuat, gigih, dan konsisten.
KPK perlu mendapat dukungan penuh lembaga penegak hukum lain, yakni Polri,
kejaksaan, dan peradilan. Selain itu, perlu pembenahan proses politik—apakah
masih perlu pilkada langsung atau pemilihan lewat DPRD. Tak kurang pentingnya
adalah reformasi budaya politik beserta penguatan partai dan kandidat pejabat
publik dalam hal finansial dan integritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar