Ketua
DPR dan KPK
Hifdzil Alim ; Ketua LPBH PWNU DIY;
Peneliti di Pukat FH UGM
|
KOMPAS,
25 Januari
2018
Setelah dilantik, ketua DPR yang baru,
Bambang Soesatyo, menyampaikan beberapa rencana kebijakan sebagai orang nomor
satu di legislatif. Dua di antaranya adalah menambah kursi pimpinan DPR dan
mengakhiri kerja panitia khusus hak angket KPK (Kompas, 16/1/2018).
Menarik membaca lebih serius pernyataan
Ketua DPR itu soal merampungkan tugas pansus angket—tentunya dengan tidak
menafikan penambahan kursi pimpinan DPR di akhir periode—dan menelaahnya dari
kacamata politik hukum ketatanegaraan.
Belok
arah
Bambang Soesatyo, sebagaimana dikutip
media, menjamin rekomendasi pansus angket tidak akan melemahkan KPK. Bahkan,
ia juga menjamin aman UU KPK yang gencar akan direvisi. Ia hanya mengingatkan
pimpinan KPK agar membenahi internalnya.
Apakah DPR sedang mengambil ”jalan damai”
dengan komisi antikorupsi? Opsi ”menghentikan” kerja pansus angket memang
mengejutkan. Pasalnya, di fase awal, banyak anggota Dewan ngotot ingin
menyelidiki KPK. Pemeriksaan kasus korupsi KTP elektronik yang melibatkan
aktor dari sisi legislatif—serta eksekutif dan swasta/korporasi—ditengarai
menjadi pemicu niat menginvestigasi komisi antikorupsi. Jika sekarang Ketua DPR mengisyaratkan
bakal ”memperhalus” hasil pansus angket, bukankah ini mengagetkan?
Apakah DPR sedang berbelok arah dan memilih
menghindari rusuh dengan KPK? Pertanyaan ini harus diuji dengan teliti.
Informasi media massa dan fakta yang disuguhkan ke masyarakat untuk mendukung
berbeloknya niat legislatif itu sepertinya bernilai sebaliknya.
Dalam bacaan awam, diputus-bersalahnya
terdakwa Irman dan Sugiharto, terdakwa korupsi KTP-el dari unsur eksekutif,
pada pengadilan tipikor tingkat pertama, naga-naganya menjadi titik awal
keruntuhan bangunan niat pansus angket memperpanjang urusan dengan KPK.
Kemudian, rentetan penetapan tersangka oleh
KPK terhadap nama-nama anggota Dewan periode 2009-2014, termasuk mantan Ketua
DPR, Setya Novanto, dalam korupsi KTP-el, semakin mempercepat luruhnya
keyakinan investigatif Pansus terhadap KPK. Puncaknya, boleh jadi, adalah
keinginan Setya Novanto untuk menjadi justice collaborator (JC).
Sebagai catatan, dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 4/2011 sebagai pedoman teknis penentuan JC, ada syarat
yang harus dipenuhi oleh terdakwa yang meminta. Pertama, ia adalah pelaku.
Kedua, mengakui perbuatan pidananya. Ketiga, ia bukan pelaku utama kejahatan.
Artinya, tatkala Setya Novanto mengajukan
status JC, dengan sendirinya ia telah mengakui perbuatan pidananya.
Belakangan, melalui advokatnya, Setya Novanto juga bertekad membongkar
nama-nama besar dari unsur legislatif—dan eksekutif—yang masuk ke kubangan
korupsi KTP-el (Kompas.com,11/1/2018).
Opsi
kerja sama
Jika
meletakkan pemeriksaan persidangan kasus korupsi KTP-el sebagai alur kerja
pansus, pernyataan tentang garansi rekomendasi pansus angket yang tidak akan
melemahkan KPK dan tidak pula merevisi undang-undangnya adalah pilihan
rasional.
Pengalaman dalam pemeriksaan kasus korupsi
memberi referensi yang valid bahwa tatkala ada satu tersangka ”bersuara”,
hampir bisa dipastikan semua yang menikmati uang korupsi akan dijerat.
Tinggal menunggu dan mengatur waktu serta membagi beban penyidikan saja.
Semua tinggal antre menunggu diperiksa.
Contohnya, kasus korupsi Hambalang. Kasus
ini menjerat terlebih dulu unsur eksekutif dan swasta. Kemudian, menekuk
Muhammad Nazaruddin, mantan anggota DPR dan Bendahara Partai Demokrat, meski
sebelumnya lari sampai ke Cartagena, Kolombia.
Melawan
atau kerja sama
Walau awalnya Nazaruddin ”mogok diperiksa”
ke KPK, akhirnya ia ”buka mulut”. Satu per satu nama keluar dari
keterangannya, termasuk ketua umum kala itu Anas Urbaningrum, yang dapat
dijerat dalam kasus korupsi Hambalang.
Pendek kata, berdasarkan referensi
pemeriksaan kasus korupsi, khususnya big fish dan menyita perhatian publik,
memang tidak tersedia banyak pilihan ketika berurusan dengan komisi
antikorupsi. Bahkan, mungkin hanya ada dua opsi: melawan habis-habisan atau
bekerja sama.
Opsi pertama bukanlah opsi brilian. Apalagi
kalau hanya melawan KPK melalui jalur politik. Semua tantangan dilewati dan
diladeni dengan bertungkus-lumus. Lembaga antikorupsi itu sudah banyak makan
asam-garam. Karena itu, opsi yang masuk akal hanyalah bekerja sama dengan
penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi.
Oleh karena itu, langkah Ketua DPR memberi
isyarat hendak mengakhiri saga angket KPK dengan mulus, tanpa konflik, harus
dijadikan momentum untuk meluruskan arah. Ketua DPR harus menjadi panglima
pembersihan legislatif dari tindakan koruptif. Sinergi pemberantasan korupsi
antara DPR dan KPK bakal luar biasa.
DPR seyogianya menjalankan kekuasaan rakyat
dengan bijaksana. Melayani rakyat melalui pembentukan undang-undang yang
menyejahterakan. Menguliti KPK dengan dalih macam-macam hanya membuat anggota
Dewan terlihat tak bijaksana. Ketua DPR baru punya kesempatan untuk menyetir
Senayan ke arah yang lebih bijak. Itu adalah soal amanah, bukan sekadar
kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar