Sabtu, 13 Januari 2018

Pemilu Inklusif

Pemilu Inklusif
Ramlan Surbakti  ;  Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya;  Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                      KOMPAS, 12 Januari 2018



                                                           
Partisipasi pemilih (”voting turn out”) dalam pemilu di Indonesia belum mencapai tingkat yang diharapkan, bahkan belum mencapai tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 (yang mencapai 81 persen). Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 mencapai 71 persen sehingga pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilih (”nonvoters”) mencapai 29 persen (dari 193 juta pemilih terdaftar atau lebih dari 55 juta pemilih).

Jumlah tersebut sungguh sangat besar, apalagi kalau ditambah dengan jumlah pemilih tidak terdaftar, jumlah suara yang tidak sah, dan jumlah suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu yang tidak mencapai ambang batas perwakilan. Salah satu faktor yang menyebabkan tingkat partisipasi pemilih belum mencapai angka 80 persen adalah karena pemilu belum inklusif. Pemilih terdaftar yang memiliki berbagai macam kebutuhan khusus belum difasilitasi.

Karena memilih adalah hak, apakah menggunakan hak pilih atau tidak sepenuhnya tergantung pada pemilih. Apabila pemilih terdaftar ”memilih untuk tidak memilih” (golput), tidak ada yang dapat dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau pemerintah. Akan tetapi, pembuat undang-undang dan KPU dapat membuat pengaturan yang memberi kemudahan bagi para pemilih dalam pemberian suara.

Setidaknya terdapat dua macam pengaturan yang dapat mendorong pemilih terdaftar datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk memberikan suara.

Pertama, pengaturan pemungutan suara yang nyaman dan aman (adequate polling arrangement) bagi pemilih. Jarak antara tempat tinggal pemilih dan TPS tidak terlalu jauh, pemilih tidak menunggu giliran terlalu lama (antrean tidak panjang), dan tempat menunggu giliran memberikan suara nyaman (tersedia tempat duduk yang teduh). Di kota besar, masalah jarak dapat diatasi dengan alat transportasi, tetapi di kawasan pedesaan persoalan jarak hanya dapat diatasi dengan berjalan kaki.

Persoalan ini sudah lama diatasi oleh pembuat undang-undang dengan menetapkan jumlah pemilih untuk satu TPS paling banyak 300 orang. Dengan demikian, permukiman kecil yang jumlah pemilihnya kurang dari 300 orang (di sebagian daerah di Indonesia satu desa hanya memiliki 50 sampai 100 pemilih) dapat ditetapkan sebagai satu TPS. Itulah sebabnya, jumlah TPS seluruh Indonesia mencapai lebih dari 550.000. TPS seperti ini memang tidak efisien, tetapi nyaman bagi pemilih.

Karena jumlah pemilih di suatu TPS maksimal 300 orang, daftar tunggu memilih juga tidak terlalu panjang. Daftar tunggu yang tak terlalu panjang dan pemilih mendapat giliran memberikan suara berdasarkan prinsip ”siapa datang lebih dahulu mendapatkan giliran pertama” (first come, first served), niscaya memberikan rasa nyaman dan aman bagi pemilih untuk memberikan suara.

Pemilih berkebutuhan khusus

Kedua, pengaturan pemungutan suara yang memungkinkan semua pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus dapat menggunakan hak pilihnya (equitable polling arrangement). Pemilih terdaftar terdiri atas berbagai macam kategori berdasarkan pelayanan yang diperlukan untuk dapat memberikan suara. Para pemilih kategori difabel, seperti tunanetra dan tunarungu, jelas memerlukan jenis dan bentuk pelayanan yang berbeda.

Yang sudah mulai dijamin dalam pemilu, walaupun belum merata di seluruh Tanah Air, adalah TPS yang ramah bagi pemilih difabel (seperti TPS yang dapat dimasuki kursi roda), penyediaan huruf Braille bagi pemilih tunanetra, dan pemilih difabel dapat memilih siapa yang akan membantunya untuk menandai pilihan di bilik suara. Pemilih yang tengah dirawat di rumah sakit adalah pemilih kategori kedua yang tak dapat meninggalkan rumah sakit untuk mendatangi TPS.

Mereka yang tengah dirawat di rumah sakit jelas merupakan pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, yaitu pengaturan pemungutan suara yang memungkinkan mereka menggunakan hak pilih tanpa harus meninggalkan rumah sakit. Pada Pemilu Legislatif 2014 sekitar 700 pasien di RS Dr Soetomo Surabaya tidak dapat menggunakan hak pilihnya walaupun sudah menunggu sangat lama. Mereka yang dirawat di rumah dan pemilih berusia lanjut yang sudah tidak kuat berjalan menuju TPS adalah contoh lain pemilih kategori kedua.

Pemilih kategori ketiga adalah mereka yang karena tugasnya tidak dapat meninggalkan tempat kerja untuk mendatangi TPS, seperti tenaga paramedis dan dokter. Pemilih seperti ini niscaya memiliki kebutuhan khusus yang perlu difasilitasi. Para wartawan dan petugas survei hitung cepat yang meliput proses pemungutan dan penghitungan suara di beberapa TPS merupakan contoh lain kategori ketiga ini. Mereka tidak dapat menggunakan hak pilih di TPS tempat tinggalnya karena melaksanakan tugas profesional di luar kota. Mekanisme pindah tempat memilih sebagaimana dimungkinkan oleh undang-undang jarang dapat digunakan karena tidak tahu akan memilih di TPS yang mana.

Pemilih kategori keempat yang juga memiliki kebutuhan khusus adalah mahasiswa dan pekerja musiman di kota besar yang berasal dari luar daerah. Mereka ini sudah terdaftar sebagai pemilih di daerah asal, tetapi karena sesuatu hal (seperti tidak memiliki biaya) tidak dapat pulang kampung pada hari pemungutan suara. KPU Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Pemilu Legislatif 2014 membuat pengaturan khusus yang memungkinkan para mahasiswa yang berasal dari luar daerah menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi, KPU daerah lain tidak mengambil kebijakan serupa karena tidak ada pengaturan yang bersifat nasional dari KPU.

Kategori pemilih kelima yang juga memiliki kebutuhan khusus adalah mereka pemilih terdaftar yang karena satu dan lain hal, seperti harus bepergian ke luar daerah atau luar negeri dan/atau halangan lain, tidak dapat mendatangi TPS pada hari pemungutan suara. Pemilih seperti ini juga memerlukan pengaturan pemungutan suara yang memungkinkan mereka menggunakan hak pilih walaupun tidak bisa hadir di TPS pada hari pemungutan suara.

Akhirnya, kategori pemilih yang keenam adalah mereka yang tengah menjalani hukuman pidana di lembaga pemasyarakatan. Mereka ini sudah barang tentu tidak dapat menggunakan hak pilih di tempat asalnya masing-masing. Pemilih terdaftar dari keenam kategori tersebut di atas diperkirakan mencapai jumlah yang signifikan.

Pengaturan khusus

Pengaturan seperti apakah yang hendaknya diadopsi oleh KPU untuk menjamin semua pemilih terdaftar dari berbagai kategori tersebut dapat menggunakan hak pilihnya. Dengan kata lain, mekanisme dan prosedur macam apakah yang perlu diatur oleh KPU untuk menjamin pemilu inklusif?

Pengaturan yang sudah dijamin undang-undang adalah pindah tempat memilih bagi mereka yang pada hari pemungutan suara akan bepergian ke tempat lain. TPS khusus dimungkinkan di lembaga pemasyarakatan. TPS yang bergerak (mobile polling station) bagi pemilih terdaftar yang karena sakit atau usia lanjut tidak dapat datang ke TPS.

Setidaknya terdapat dua bentuk pengaturan pemungutan suara yang belum diadopsi dalam UU Pemilu, yaitu memberikan suara beberapa hari sebelum hari pemungutan suara (advance voting atau early voting) dan memberikan suara melalui pos (mail voting). Kedua mekanisme pemberian suara tersebut sudah diterapkan bagi pemilih Indonesia yang tinggal di luar negeri. Akan tetapi, bagi pemilih dalam negeri belum dimungkinkan. Berdasarkan misi melayani rakyat (pemilih terdaftar) menggunakan hak pilihnya, KPU seyogianya membuat pengaturan yang dapat menjamin semua pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian, semua pemilih terdaftar dari enam kategori tersebut akan dapat berpartisipasi dalam pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar