Perombakan
Kabinet dan Politik Pasca-212
Noory Okthariza ; Peneliti Departemen
Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2018
Satu hal yang sering luput dari perbicangan
politik hari ini adalah bahwa politik Indonesia sebetulnya sudah memasuki era
baru pasca gerakan massa 212 tahun 2016 lalu.
Politik pasca 212 ditandai setidaknya
dengan tiga hal. Pertama, menguatnya pengaruh politik Islam yang ditandai
dengan kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta; kedua, mengerasnya
hubungan oposisional antara koalisi pemerintah dan koalisi yang dipimpin
Prabowo Subianto; dan ketiga, mulai munculnya perimbangan kekuatan militer
terhadap supremasi sipil. Menguatnya pengaruh politik Islam terjadi bukan
tanpa sebab. Meskipun awalnya tak disadari, “kecelakaan politik” yang menimpa
gubernur Basuki Tjahaja Purnama kala itu menciptakan momentum bagi kelompok
Islam untuk mengorganisir diri.
Kita tahu bahwa pada akhirnya momentum
politik ini berhasil dimanfaatkan secara gemilang. Kelompok Islam tidak saja
sukses menggalang mobilisasi massa berkali-kali selama Pilkada Jakarta
berlangsung, tetapi mereka juga berhasil mendudukkan kandidat mereka ke kursi
nomor satu di ibukota. Keberhasilan ini menciptakan kepuasan tersendiri bagi
kelompok Islam. Jika dulu aspirasi politik Islam dianggap lebih bersifat
simbolik dan berjalan lewat jalur parlementer, kini mereka sadar bahwa jalur
eksekutif ternyata jauh lebih memikat. Kini, setelah Anies-Sandi terpilih,
tampaknya “jalan Jakarta” akan coba diterapkan di beberapa daerah yang akan
menyelenggarakan Pilkada serentak Juni mendatang.
Memang ini adalah tugas yang tidak mudah.
Pilkada Jakarta terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana ada gubernur
non-Muslim yang berasal dari etnis minoritas. Sang gubernur kala itu juga
dianggap telah melukai umat Muslim serta berlaku tidak patut terhadap ulama.
Tetapi “jalan Jakarta” yang dimaksud disini adalah soal komposisi koalisi
politik yang terbangun. Pasca gerakan 212, kita tahu bahwa ada setidaknya
tiga partai politik yang kian solid membangun kekuataan. Tiga partai ini
adalah Gerindra, PKS, dan PAN.
Ketiga partai ini, yang besar kemungkinan
mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres 2019, telah memutuskan untuk
melakukan semacam pre-test, ujian awal, yang tujuan utamanya adalah
memenangkan Prabowo pada Pilpres tahun depan. Ujian awal ini disepakati
dilakukan di Pilkada 2018. Ketiga partai bersepakat untuk berada dalam
koalisi bersama mengusung kandidat gubernur di tiga provinsi besar: Jawa
Barat (Sudrajat – Saikhu), Jawa Tengah (Sudirman Said – Ida Fauziah), dan
Sumatera Utara (Edy Rahmayadi – Musa Rajekshah).
Jika digabungkan, ketiga provinsi ini
menaungi kurang lebih 95.3 juta penduduk, jumlah yang sangat besar dari total
258 juta penduduk Indoneisa. Dan apapun hasil akhir dari pemilihan gubernur
di tiga provinsi ini, ketiga partai akan mendapatkan kebaikan. Jika menang,
artinya mereka berhasil mendudukkan kandidatnya di kursi kekuasaan, dan jika
kalah, sekurang-kurangnya mereka mendapat pelajaran berharga soal strategi
menggalang kekuatan di lapangan agar makin solid pada 2019 nanti. Dan dalam
dua konteks di ataslah muncul fenomena menarik.
Di pentas politik Indonesia, perlahan-lahan
muncul pemain baru yang tampak kian penting untuk diperhatikan, yakni politik
militer. Politik militer mewujud dalam diri mantan Panglima TNI Gatot
Nurmantyo. Pasca Pilkada DKI, Gatot tanpa disangka- sangka menjadi aktor
politik baru yang banyak dieluelukan masyarakat, khususnya dari kelompok
Islam. Sang Jenderal tampaknya terpancing. Ia terlihat melakukan beberapa
manuver secara sadar dan sistematis untuk meningkatkan popularitasnya.
Manuver-manuver yang ia lakukan misalnya
melaksanakan pengajian-pengajian besar di Mabes TNI, memberi ceramah di
kampus-kampus, mendatangi ulama-ulama, dan mengeluarkan beberapa statement
populis seperti pemberhentian kerja sama militer Indonesia dan Australia.
Demi mencegah manuver Panglima TNIyangkiandiluar kendali, Presiden Jokowi
akhir-nya bersikap tegas: Memberhentikan Sang Jenderal dari jabatan Panglima
meskipun masa pensiunnya masih cukup panjang. Tetapi presiden sadar bahwa
dinamika politik satu setengah tahun ke belakang telah memberi panggung cukup
terbuka bagi militer untuk menebar pengaruh.
Suka atau tidak, militer telah ikut
mewarnai panggung politik Indonesia akhir-akhir ini. Keputusan memberhentikan
Panglima TNI sendiri tidak menjamin akan menyurutkan pengaruh politik militer
di tingkat nasional. Dan dalam konteks itulah kita memaknai reshufflekabinet
yang dilakukan Presiden Jokowi 17 Januari. Terlihat ada upaya perimbangan
kekuatan yang coba dilakukan Presiden terhadap militer. Mantan Panglima TNI
Moeldoko masuk kabinet sebagai Kepala Staf Presiden menggantikan Teten
Masduki.
Hal ini diikuti dengan masuknya Agum
Gumilar, tokoh senior di kalangan purnawirawan angkatan darat, sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Agum dan Moeldoko akan bergabung dengan
figur senior militer lainnya yang sudah ada di kabinet seperti Wiranto, Luhut
Binsar Panjaitan, dan Ryamizard Ryacudu. Pertanyaannya kemudian apakah
reshuffle ini berhasil menjawab dua kebutuhan sekaligus, yakni membatasi
pengaruh politik militer yang kian menegas serta menjinakkan kekuatan politik
Islam? Saya cenderung yakin bahwa pengaruh militer akan perlahan- lahan
melemah, seiring dicabutnya mandat Jenderal Gatot oleh Presiden.
Kini Gatot tak lagi punya kuasa akan
pasukan dan kuasa komando teritorial. Lagipula, rencana rotasi
jabatan-jabatan strategis ditubuh TNI yang ia rencanakan menjelang lengser
telah dianulir oleh Marsekal Tjahjanto, Panglima TNI baru. Tetapi soal
politik Islam memang lebih rumit. Kita baru akan mendapat gambaran lebih utuh
setidaknya sampai dengan Pilkada serentak usai digelar 27 Juni 2018.
Jika koalisi yang dipimpin Prabowo Subianto
sukses memenangkan provinsi-provinsi kunci Juni nanti, pengaruh politik Islam
kemungkinan akan semakin mengakar. Sambil terus bersiasat menghadapi
perheletan Pilkada 2018, pemerintahan Jokowi mesti menemukan strategi bagaimana
menghadapi kekuatan politik Islam, jika mereka ingin terpilih kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar