Rabu, 24 Januari 2018

Selembar Kain Kerudung di Kepala Politikus Perempuan

Selembar Kain Kerudung
di Kepala Politikus Perempuan
Kalis Mardiasih  ;  Menulis opini dan menerjemah;
Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
                                                   DETIKNEWS, 19 Januari 2018



                                                           
Apa beda selembar kain di kepala tukang ayam potong di pasar tradisional dengan selembar kain di kepala penceramah agama? Apa beda selembar kain di kepala seorang perempuan petani dengan selembar kain di kepala guru sekolah keislaman? Apa beda selembar kain di kepala politikus perempuan dengan selembar kain di kepala santriwati pesantren? Apa beda selembar kain di kepala artis yang baru saja berhijrah dan membuka lini bisnis fashion muslimah dengan kain burqa dan cadar seorang muslimah di Pakistan?

Kain di kepala bermacam jenis perempuan yang tersebut di atas secara materi adalah kain yang jenisnya sama seperti kain yang dijual pada pusat-pusat belanja di Tanah Abang, di Kampung Arab, atau di sepanjang Jalan Solo-Yogyakarta. Secara materi, ia sama dengan bahan yang menjadikan produk taplak, bando, celana pantai, atau serbet. Motif fungsional kemudian membedakan preferensi penyebutan sebuah benda.

Kini, kain yang dipakai di kepala tukang bersih-bersih gedung perkantoran ibu kota, lain nama dengan kain di kepala muslimah penceramah agama. Lalu, meskipun secara materi dan preferensi fungsi telah sama, ada semacam konvensi yang membuat kita memberi bobot bahkan stigma yang berbeda. Misalnya, mengapa selembar kain di kepala tukang ayam potong tidak membuat ia menjadi punya bobot kesalehan yang lebih dari seorang penceramah agama, meskipun dua perempuan itu sama-sama menjalankan ritual ibadah dengan seharusnya?

Pada titik inilah, teks agama sebagai sumber utama dan rujukan sahih tentang perdebatan pemakaian kain kerudung, yang pada mulanya bersifat fungsional sebagai simbol harga diri dan pembebasan perempuan budak dalam ruang budaya Arab, bergeser memuat pula nilai-nilai politik, dan pada perkembangannya kepada hal yang lebih spesifik yakni politik identitas.

Menarik mengamati seorang politikus perempuan yang tiba-tiba mengenakan kain kerudung menjelang masa pilkada dan pilpres, dan tak kalah menarik mengamati komentar warganet yang hidup di alam demokrasi Indonesia sehingga dapat bebas melontarkan komentar.

"Kemarin bilang jangan bawa-bawa agama untuk berpolitik, sekarang perlu kerudungan juga ya, Mbak?" Begitu komentar seorang warganet.

Bagi politikus perempuan itu, selembar kerudung itu kini menjelma menjadi bahasa komunikasi politik. Negara yang masih kuat dengan norma agama sering berpikir bahwa simbol-simbol agama yang dikenakan seseorang membuatnya menjadi lebih saleh. Fenomena ini setara dengan politikus laki-laki yang tiba-tiba memakai baju koko dan peci di baliho kampanye, ditambah dengan foto kunjungan ke pesantren, jika perlu foto yang menampakkannya sedang mencium tangan seorang kiai atau tokoh agama.

Ironinya, simbol agama dalam konteks historis Indonesia justru berjalan mundur. Dalam hal ini, Indonesia dan Iran seperti memiliki persamaan pengalaman. Fedwa El Guindi dalam Veil: Modesty, Privacy and Resistance (1999) mengungkap bahwa jilbab bagi perempuan muslim Timur Tengah ketika itu lebih dari selembar kain yang tidak bebas nilai, melainkan terikat erat dengan situasi ruang budaya arab yang mendefinisikan diri, tubuh, dan komunitas. Muslimah yang secara sukarela berjilbab dan memperoleh momentumnya pada aksi revolusi Iran pada 1970-an adalah simbol pembebasan dari penjajahan kolonial dan perlawanan pada konstruk berpikir feminis Barat yang menganggap kain jilbab adalah simbol opresi patriarkal yang paling nyata pada perempuan.

Dewi Candraningrum dalam Negotiating Women's Veiling menarasikan jilbab Indonesia dalam ruang sejarahnya sekaligus menceritakan kisah ia berjilbab pada 1993. Ia lahir pada akhir era Orde Lama, menjalani masa sekolah di bawah rezim Orde Baru, kuliah di universitas milik Muhammadiyah dari 1993 hingga 1997, dan menjadi saksi efek perilaku koruptif dan pemerintahan otoriter Soeharto, hingga akhirnya lahir Reformasi 1998.

Era Orde Baru yang begitu berlawanan dengan prinsip demokrasi melahirkan periode di mana Islam di Indonesia bukan hanya sekadar agama, namun berdiri sebagai dien. Dalam definisi dien Islam, nilai-nilai yang diperas dari saripati Islam dapat menjadi bahan bakar untuk alternatif perubahan sosial. Sepanjang 1980-an, jilbab adalah penanda perlawanan yang tumbuh bersama lahirnya cendekiawan muslim yang menarasikan Islam progresif seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Seorang senior di masjid kampus ITB, kala itu membangkitkan gairah Dewi akan Islam dan kekuatan jilbab. Selembar kain kerudung kala itu memiliki muatan pemikiran maju, yang tampil pada aras dimensi sosiokultural, politik dan ekonomi. Puncaknya, rezim Orde Baru bahkan berkepentingan untuk melarang pemakaian jilbab pada sejumlah sekolah menengah sebagai respons kewalahannya pada perkembangan pemikiran politik Islam yang progresif.

Seorang bupati perempuan pertama yang berkerudung, yakni Rina Iriani bahkan mewakili satu simbol progresif tampilnya perempuan dan jilbab di ruang politik publik. Pada masa Orde Baru yang mengarusutamakan doktrin ibuisme negara, yakni pengembalian perempuan pada wilayah-wilayah domestik atau selir pendamping untuk laki-laki pada ruang publik, tampilnya Rina menjadi pendobrak mitos itu. Rina, yang dilantik pada 2003 itu adalah simbol kepemimpinan perempuan, melawan stigma bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas di panggung politik.

Akan tetapi, yang terjadi pada dekade terakhir, baik di Indonesia maupun di Iran tampak berbeda. Pada akhir Desember 2017, akun Twitter My Stealthy Freedom memotret seorang muslimah Iran yang melepas jilbabnya lalu mengibar-ngibarkannya dengan sebatang kayu di tangan dalam gerakan White Wednesdays. Aksi protes dilakukan publik Iran untuk protes pada pemerintahan yang tidak berhasil mengendalikan krisis ekonomi.

Aksi melepas jilbab di ruang publik Iran itu adalah simbol yang kuat, bagaimana seorang warga negara kini melihat agama tidak sanggup lagi menjadi alat bagi pewujudan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Agama yang diterapkan dengan ekstrem dalam lini-lini kehidupan rupanya tidak menjamin lagi terwujudnya masyarakat yang ideal, ketika ia berkubang dalam pola pikir kekuasaan yang otoriter.

Meski berbeda konteks, akhir-akhir ini sebagian fenomena jilbab di Indonesia pun sering mewakili sosok perempuan yang berlawanan arah dengan nilai kemajuan. Di televisi sering dicitrakan tokoh sinetron berjilbab adalah mereka yang saleh tetapi lemah dan tidak bisa mengambil keputusan. Film Ayat-Ayat Cinta yang erat dengan citra film Islami sejak seri pertamanya mewakili perempuan yang rela dipoligami. Dan, dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dikatakan sedikit jumlah politikus perempuan berkerudung yang kini berstatus sebagai tersangka korupsi. Atau, tiba-tiba hadir di meja persidangan dengan menangis, lengkap dengan kain kerudung di kepalanya.

Menengok narasi yang bersifat dinamis itu, kini saya sering memilih untuk membebaskan jilbab dari nilai-nilai yang selama ini melingkupinya secara sakral. Hak bagi siapa saja perempuan untuk mengenakan jilbab, baik itu politikus maupun bukan, namun bebaskan ia dari muatan nilai. Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional sebagai pakaian kesopanan. Sehingga, kita tidak kaget lagi pada berita lanjutan yang menyangkut perempuan berjilbab.

Jika perempuan politikus berjilbab menyumbang kiprah bagi kemajuan, itu terjadi karena ia memang mampu mengambil peran dan bukan sebab jilbabnya. Sebaliknya, jika perempuan politikus berjilbab melakukan tindakan tercela, itu terjadi karena pilihan sikap politik yang tidak tepat atau karakter yang cacat, dan bukan sebab jilbabnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar