Media
Sosial dan Toleransi Budaya
Haryo Kunto Wibisono ; Peminat Kajian
Antropologi dan Budaya Digital
|
DETIKNEWS,
19 Januari
2018
Barangkali menjadi youtuber adalah salah
satu profesi alternatif anak-anak muda era sekarang. Saya masih ingat saat
Presiden Joko Widodo menanyakan ke anak usia sekolah dasar tentang bayangan
cita-citanya kelak. Bukan dokter, guru, astronot, atau tentara sebagaimana
lazimnya anak zaman dahulu kala, tapi menjadi youtuber.
Saya yang semula menggunakan platform
Youtube hanya untuk melihat video klip lagu 1970-an supaya bisa lari dari
tayangan televisi yang sesak dengan gosip politik, tiba-tiba kaget saat beberapa
link dan thumbnail menampilkan para youtuber dan vlogger sedang berseliweran.
Ada yang sambil lalu untuk mengisi waktu
luang, namun ada pula yang menjadi lapangan pekerjaan tetap. Dengan kata
lain, jumlah penonton, like, share, dan subscriber menjadi tolok ukur
seberapa mengepulnya asap dapur. Mereka menyebut dirinya sebagai youtuber dan
vlogger atau video blogger.
Beberapa dari mereka menampilkan rekaman
traveling, ada juga yang bercerita pengalamannya wisata kuliner, komentar
atas peristiwa sosial dan politik, hingga review video game berikut komentar
unik dari vlogger terkenal macam PewDiePie. Dari data yang dirilis oleh
celebrity networth, vlogger dari Swedia ini meraup keuntungan 15 juta dollar
tahun 2016. Selain itu, ia sudah mengantongi 59 juta subscriber/pelanggan dan
sekali mengunggah video lebih dari satu juta penonton. Tentu, ceruk ekonomi
yang menjanjikan bukan?
Apalagi munculnya para vlogger dan youtuber
saling berkelindan dengan tingkat melek teknologi dari generasi milenial.
Platform Youtube dianggap sebagai ruang yang melintasi ekspresi jiwa anak
muda, kebebasan, hobi dan mata pencaharian. Cukup bermodalkan kamera,
smartphone terkini, rajin jalan-jalan dan kalau mau bela-belain sedikit
membeli pesawat nirawak. Sisanya tinggal kompetisi ide kreatif di antara
sesama youtuber dan vlogger.
***
Logan Paul ialah seorang vlogger dari
Amerika Serikat. Awalnya ia bersama adiknya Jake Paul mengunggah beberapa
video pendek di platform Vines, dengan tema utama prank alias
"ngerjain" dalam durasi kurang lebih satu menitan. Vlogger yang
memiliki pelanggan 15 juta orang ini terkenal dengan ide-ide yang di luar
batas nalar, mulai dari mengerjai temannya yang sedang berkencan di
Disneyland, mengajak tarung gulat seekor beruang, ditembak sampai
berdarah-darah di hadapan anak kecil, cuitannya yang rasis, ditahan oleh
kepolisian Italia akibat menerbangkan drone di Colosseum Roma hingga
menyelundupkan temannya di bagasi saat perjalanan ke Paris.
Saya sendiri sampai sekarang
terheran-heran, apanya yang lucu dari channel video Logan Paul Vlogs ini
hingga memiliki fanbase bernama Lo-gank? Barangkali, sosok pengusung slogan
We Are Maverick ini perwakilan dari kenakalan anak zaman digital, berandalan,
penuh dengan sensasi, kontroversial namun kreatif.
Namun, siapa sangka hasrat untuk mencari
sensasinya itu berbuah petaka, saat berkunjung ke Jepang, akhir Desember
2017. Logan Paul, sang selebriti Youtube, melakukan bercandaan seputar isu
bunuh diri dan menampilkan jasad korban bunuh diri. Entah apes, nekat, atau
malah ingin menggaet jumlah penonton, ia bahkan mengunggah dengan link video
bertajuk We found a dead body in the Japanese Suicide Forest tertanggal 1
Januari 2018, dan sudah dilihat 3.617.247 orang.
Walhasil, bukannya meraih simpati malah
hujan cercaan yang dialamatkan pada pemuda berusia 22 tahun itu. Beberapa
pihak mempersoalkan minimnya rasa empati terhadap isu bunuh diri di Jepang.
Angka bunuh diri yang tinggi di Jepang membuat warga Negeri Matahari Terbit
menganggap isu ini bukan main-main. Namun, ada pula yang mempermasalahkan
Logan Paul tidak menghormati budaya Jepang. Salah satunya dari Japanese Man
Yuta. Menurut vlogger dari Jepang ini, Logan Paul sama sekali tidak mengerti
adat dan tata krama orang Jepang, mulai dari membuat keributan di kuil hingga
menaruh gurita mentah di taksi.
Di seberang sana, banyak umat vlogger yang
menuntut supaya saluran Logan Paul dicekal dan dihapus dari platform Youtube
sebab memalukan dan berimbas pada profesi vlogger dan nama baik Youtube
sendiri. Akibatnya, raut riang Logan Paul tiba-tiba redup. Meskipun sudah
mengunggah video permintaan maafnya pada 4 Januari 2018, wajah penyesalan dan
bayangan akan akhir kejayaannya di jagat virtual tergambar secara jelas pada
youtuber kontroversial itu.
***
Apa yang bisa kita pelajari dari kasus
Logan Paul? Sangat sederhana, etika terhadap perbedaan budaya. Kehadiran
media sosial dan kecanggihan teknologi informasi memang seringkali
digadang-gadang sebagai simbol kemajuan berpikir manusia. Jarak antarmanusia
di belahan bumi seakan dilipat oleh layar datar, kejadian di Jepang dan
Amerika Serikat bisa diketahui dengan hitungan menit saja di Indonesia. Cukup
click layar ponsel pintar masing-masing. Batasan etika dan teritori negara
berhasil diterabas oleh kecepatan perangkat teknologi komunikasi.
Pada poin ini, satu-satunya yang bisa
diharapkan adalah sikap toleransi atas perbedaan budaya. Kasus Logan Paul
terlepas seberapa pun terkenalnya di jagat virtual, seperti memberikan
teguran pada warga internet agar berhati-hati dalam menanggapi perbedaan
budaya terutama etika berkunjung ke sebuah tempat yang baru.
Platform media sosial semacam Youtube yang
notabene menjadi ruang kebebasan jangan menjadi pembenaran atas ditabraknya
norma sosial dan budaya. Perilaku kontroversial yang dipertontonkan Logan
Paul bukan tidak mungkin akan menjangkiti kita semua. Artinya, sangat mungkin
perilaku Logan Paul akan berlipat ganda. Asalkan nalar sudah hilang, dan
hasrat untuk tampil dalam panggung teknologi informasi menjadi tak
tertahankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar