Rabu, 24 Januari 2018

Media Sosial dan Toleransi Budaya

Media Sosial dan Toleransi Budaya
Haryo Kunto Wibisono  ;  Peminat Kajian Antropologi dan Budaya Digital
                                                   DETIKNEWS, 19 Januari 2018



                                                           
Barangkali menjadi youtuber adalah salah satu profesi alternatif anak-anak muda era sekarang. Saya masih ingat saat Presiden Joko Widodo menanyakan ke anak usia sekolah dasar tentang bayangan cita-citanya kelak. Bukan dokter, guru, astronot, atau tentara sebagaimana lazimnya anak zaman dahulu kala, tapi menjadi youtuber.

Saya yang semula menggunakan platform Youtube hanya untuk melihat video klip lagu 1970-an supaya bisa lari dari tayangan televisi yang sesak dengan gosip politik, tiba-tiba kaget saat beberapa link dan thumbnail menampilkan para youtuber dan vlogger sedang berseliweran.

Ada yang sambil lalu untuk mengisi waktu luang, namun ada pula yang menjadi lapangan pekerjaan tetap. Dengan kata lain, jumlah penonton, like, share, dan subscriber menjadi tolok ukur seberapa mengepulnya asap dapur. Mereka menyebut dirinya sebagai youtuber dan vlogger atau video blogger.

Beberapa dari mereka menampilkan rekaman traveling, ada juga yang bercerita pengalamannya wisata kuliner, komentar atas peristiwa sosial dan politik, hingga review video game berikut komentar unik dari vlogger terkenal macam PewDiePie. Dari data yang dirilis oleh celebrity networth, vlogger dari Swedia ini meraup keuntungan 15 juta dollar tahun 2016. Selain itu, ia sudah mengantongi 59 juta subscriber/pelanggan dan sekali mengunggah video lebih dari satu juta penonton. Tentu, ceruk ekonomi yang menjanjikan bukan?

Apalagi munculnya para vlogger dan youtuber saling berkelindan dengan tingkat melek teknologi dari generasi milenial. Platform Youtube dianggap sebagai ruang yang melintasi ekspresi jiwa anak muda, kebebasan, hobi dan mata pencaharian. Cukup bermodalkan kamera, smartphone terkini, rajin jalan-jalan dan kalau mau bela-belain sedikit membeli pesawat nirawak. Sisanya tinggal kompetisi ide kreatif di antara sesama youtuber dan vlogger.

                                                           ***

Logan Paul ialah seorang vlogger dari Amerika Serikat. Awalnya ia bersama adiknya Jake Paul mengunggah beberapa video pendek di platform Vines, dengan tema utama prank alias "ngerjain" dalam durasi kurang lebih satu menitan. Vlogger yang memiliki pelanggan 15 juta orang ini terkenal dengan ide-ide yang di luar batas nalar, mulai dari mengerjai temannya yang sedang berkencan di Disneyland, mengajak tarung gulat seekor beruang, ditembak sampai berdarah-darah di hadapan anak kecil, cuitannya yang rasis, ditahan oleh kepolisian Italia akibat menerbangkan drone di Colosseum Roma hingga menyelundupkan temannya di bagasi saat perjalanan ke Paris.

Saya sendiri sampai sekarang terheran-heran, apanya yang lucu dari channel video Logan Paul Vlogs ini hingga memiliki fanbase bernama Lo-gank? Barangkali, sosok pengusung slogan We Are Maverick ini perwakilan dari kenakalan anak zaman digital, berandalan, penuh dengan sensasi, kontroversial namun kreatif.

Namun, siapa sangka hasrat untuk mencari sensasinya itu berbuah petaka, saat berkunjung ke Jepang, akhir Desember 2017. Logan Paul, sang selebriti Youtube, melakukan bercandaan seputar isu bunuh diri dan menampilkan jasad korban bunuh diri. Entah apes, nekat, atau malah ingin menggaet jumlah penonton, ia bahkan mengunggah dengan link video bertajuk We found a dead body in the Japanese Suicide Forest tertanggal 1 Januari 2018, dan sudah dilihat 3.617.247 orang.

Walhasil, bukannya meraih simpati malah hujan cercaan yang dialamatkan pada pemuda berusia 22 tahun itu. Beberapa pihak mempersoalkan minimnya rasa empati terhadap isu bunuh diri di Jepang. Angka bunuh diri yang tinggi di Jepang membuat warga Negeri Matahari Terbit menganggap isu ini bukan main-main. Namun, ada pula yang mempermasalahkan Logan Paul tidak menghormati budaya Jepang. Salah satunya dari Japanese Man Yuta. Menurut vlogger dari Jepang ini, Logan Paul sama sekali tidak mengerti adat dan tata krama orang Jepang, mulai dari membuat keributan di kuil hingga menaruh gurita mentah di taksi.

Di seberang sana, banyak umat vlogger yang menuntut supaya saluran Logan Paul dicekal dan dihapus dari platform Youtube sebab memalukan dan berimbas pada profesi vlogger dan nama baik Youtube sendiri. Akibatnya, raut riang Logan Paul tiba-tiba redup. Meskipun sudah mengunggah video permintaan maafnya pada 4 Januari 2018, wajah penyesalan dan bayangan akan akhir kejayaannya di jagat virtual tergambar secara jelas pada youtuber kontroversial itu.

                                                     ***

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Logan Paul? Sangat sederhana, etika terhadap perbedaan budaya. Kehadiran media sosial dan kecanggihan teknologi informasi memang seringkali digadang-gadang sebagai simbol kemajuan berpikir manusia. Jarak antarmanusia di belahan bumi seakan dilipat oleh layar datar, kejadian di Jepang dan Amerika Serikat bisa diketahui dengan hitungan menit saja di Indonesia. Cukup click layar ponsel pintar masing-masing. Batasan etika dan teritori negara berhasil diterabas oleh kecepatan perangkat teknologi komunikasi.

Pada poin ini, satu-satunya yang bisa diharapkan adalah sikap toleransi atas perbedaan budaya. Kasus Logan Paul terlepas seberapa pun terkenalnya di jagat virtual, seperti memberikan teguran pada warga internet agar berhati-hati dalam menanggapi perbedaan budaya terutama etika berkunjung ke sebuah tempat yang baru.

Platform media sosial semacam Youtube yang notabene menjadi ruang kebebasan jangan menjadi pembenaran atas ditabraknya norma sosial dan budaya. Perilaku kontroversial yang dipertontonkan Logan Paul bukan tidak mungkin akan menjangkiti kita semua. Artinya, sangat mungkin perilaku Logan Paul akan berlipat ganda. Asalkan nalar sudah hilang, dan hasrat untuk tampil dalam panggung teknologi informasi menjadi tak tertahankan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar