Selembar
Kain Kerudung
di
Kepala Politikus Perempuan
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan
menerjemah;
Aktif sebagai periset
dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
19 Januari
2018
Apa beda selembar kain di kepala tukang
ayam potong di pasar tradisional dengan selembar kain di kepala penceramah
agama? Apa beda selembar kain di kepala seorang perempuan petani dengan
selembar kain di kepala guru sekolah keislaman? Apa beda selembar kain di
kepala politikus perempuan dengan selembar kain di kepala santriwati
pesantren? Apa beda selembar kain di kepala artis yang baru saja berhijrah
dan membuka lini bisnis fashion muslimah dengan kain burqa dan cadar seorang
muslimah di Pakistan?
Kain di kepala bermacam jenis perempuan
yang tersebut di atas secara materi adalah kain yang jenisnya sama seperti
kain yang dijual pada pusat-pusat belanja di Tanah Abang, di Kampung Arab,
atau di sepanjang Jalan Solo-Yogyakarta. Secara materi, ia sama dengan bahan
yang menjadikan produk taplak, bando, celana pantai, atau serbet. Motif
fungsional kemudian membedakan preferensi penyebutan sebuah benda.
Kini, kain yang dipakai di kepala tukang
bersih-bersih gedung perkantoran ibu kota, lain nama dengan kain di kepala
muslimah penceramah agama. Lalu, meskipun secara materi dan preferensi fungsi
telah sama, ada semacam konvensi yang membuat kita memberi bobot bahkan
stigma yang berbeda. Misalnya, mengapa selembar kain di kepala tukang ayam
potong tidak membuat ia menjadi punya bobot kesalehan yang lebih dari seorang
penceramah agama, meskipun dua perempuan itu sama-sama menjalankan ritual
ibadah dengan seharusnya?
Pada titik inilah, teks agama sebagai
sumber utama dan rujukan sahih tentang perdebatan pemakaian kain kerudung,
yang pada mulanya bersifat fungsional sebagai simbol harga diri dan
pembebasan perempuan budak dalam ruang budaya Arab, bergeser memuat pula
nilai-nilai politik, dan pada perkembangannya kepada hal yang lebih spesifik
yakni politik identitas.
Menarik mengamati seorang politikus
perempuan yang tiba-tiba mengenakan kain kerudung menjelang masa pilkada dan
pilpres, dan tak kalah menarik mengamati komentar warganet yang hidup di alam
demokrasi Indonesia sehingga dapat bebas melontarkan komentar.
"Kemarin bilang jangan bawa-bawa agama
untuk berpolitik, sekarang perlu kerudungan juga ya, Mbak?" Begitu
komentar seorang warganet.
Bagi politikus perempuan itu, selembar
kerudung itu kini menjelma menjadi bahasa komunikasi politik. Negara yang
masih kuat dengan norma agama sering berpikir bahwa simbol-simbol agama yang
dikenakan seseorang membuatnya menjadi lebih saleh. Fenomena ini setara
dengan politikus laki-laki yang tiba-tiba memakai baju koko dan peci di
baliho kampanye, ditambah dengan foto kunjungan ke pesantren, jika perlu foto
yang menampakkannya sedang mencium tangan seorang kiai atau tokoh agama.
Ironinya, simbol agama dalam konteks historis
Indonesia justru berjalan mundur. Dalam hal ini, Indonesia dan Iran seperti
memiliki persamaan pengalaman. Fedwa El Guindi dalam Veil: Modesty, Privacy and Resistance (1999) mengungkap bahwa
jilbab bagi perempuan muslim Timur Tengah ketika itu lebih dari selembar kain
yang tidak bebas nilai, melainkan terikat erat dengan situasi ruang budaya
arab yang mendefinisikan diri, tubuh, dan komunitas. Muslimah yang secara sukarela
berjilbab dan memperoleh momentumnya pada aksi revolusi Iran pada 1970-an
adalah simbol pembebasan dari penjajahan kolonial dan perlawanan pada
konstruk berpikir feminis Barat yang menganggap kain jilbab adalah simbol
opresi patriarkal yang paling nyata pada perempuan.
Dewi Candraningrum dalam Negotiating Women's Veiling
menarasikan jilbab Indonesia dalam ruang sejarahnya sekaligus menceritakan
kisah ia berjilbab pada 1993. Ia lahir pada akhir era Orde Lama, menjalani
masa sekolah di bawah rezim Orde Baru, kuliah di universitas milik
Muhammadiyah dari 1993 hingga 1997, dan menjadi saksi efek perilaku koruptif
dan pemerintahan otoriter Soeharto, hingga akhirnya lahir Reformasi 1998.
Era Orde Baru yang begitu berlawanan dengan
prinsip demokrasi melahirkan periode di mana Islam di Indonesia bukan hanya
sekadar agama, namun berdiri sebagai dien. Dalam definisi dien Islam,
nilai-nilai yang diperas dari saripati Islam dapat menjadi bahan bakar untuk
alternatif perubahan sosial. Sepanjang 1980-an, jilbab adalah penanda
perlawanan yang tumbuh bersama lahirnya cendekiawan muslim yang menarasikan
Islam progresif seperti Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Seorang senior di
masjid kampus ITB, kala itu membangkitkan gairah Dewi akan Islam dan kekuatan
jilbab. Selembar kain kerudung kala itu memiliki muatan pemikiran maju, yang
tampil pada aras dimensi sosiokultural, politik dan ekonomi. Puncaknya, rezim
Orde Baru bahkan berkepentingan untuk melarang pemakaian jilbab pada sejumlah
sekolah menengah sebagai respons kewalahannya pada perkembangan pemikiran
politik Islam yang progresif.
Seorang bupati perempuan pertama yang
berkerudung, yakni Rina Iriani bahkan mewakili satu simbol progresif
tampilnya perempuan dan jilbab di ruang politik publik. Pada masa Orde Baru
yang mengarusutamakan doktrin ibuisme negara, yakni pengembalian perempuan
pada wilayah-wilayah domestik atau selir pendamping untuk laki-laki pada
ruang publik, tampilnya Rina menjadi pendobrak mitos itu. Rina, yang dilantik
pada 2003 itu adalah simbol kepemimpinan perempuan, melawan stigma bahwa
perempuan tidak memiliki kapabilitas di panggung politik.
Akan tetapi, yang terjadi pada dekade
terakhir, baik di Indonesia maupun di Iran tampak berbeda. Pada akhir
Desember 2017, akun Twitter My Stealthy
Freedom memotret seorang muslimah Iran yang melepas jilbabnya lalu
mengibar-ngibarkannya dengan sebatang kayu di tangan dalam gerakan White Wednesdays. Aksi protes
dilakukan publik Iran untuk protes pada pemerintahan yang tidak berhasil
mengendalikan krisis ekonomi.
Aksi melepas jilbab di ruang publik Iran
itu adalah simbol yang kuat, bagaimana seorang warga negara kini melihat
agama tidak sanggup lagi menjadi alat bagi pewujudan keadilan, kesetaraan,
dan kesejahteraan. Agama yang diterapkan dengan ekstrem dalam lini-lini
kehidupan rupanya tidak menjamin lagi terwujudnya masyarakat yang ideal,
ketika ia berkubang dalam pola pikir kekuasaan yang otoriter.
Meski berbeda konteks, akhir-akhir ini
sebagian fenomena jilbab di Indonesia pun sering mewakili sosok perempuan
yang berlawanan arah dengan nilai kemajuan. Di televisi sering dicitrakan tokoh
sinetron berjilbab adalah mereka yang saleh tetapi lemah dan tidak bisa
mengambil keputusan. Film Ayat-Ayat Cinta yang erat dengan citra film Islami
sejak seri pertamanya mewakili perempuan yang rela dipoligami. Dan, dalam
kehidupan sehari-hari tidak bisa dikatakan sedikit jumlah politikus perempuan
berkerudung yang kini berstatus sebagai tersangka korupsi. Atau, tiba-tiba
hadir di meja persidangan dengan menangis, lengkap dengan kain kerudung di
kepalanya.
Menengok narasi yang bersifat dinamis itu, kini saya
sering memilih untuk membebaskan jilbab dari nilai-nilai yang selama ini
melingkupinya secara sakral. Hak bagi siapa saja perempuan untuk mengenakan
jilbab, baik itu politikus maupun bukan, namun bebaskan ia dari muatan nilai.
Ada baiknya jilbab dipandang dalam bentuknya yang paling fungsional sebagai
pakaian kesopanan. Sehingga, kita tidak kaget lagi pada berita lanjutan yang
menyangkut perempuan berjilbab.
Jika perempuan politikus berjilbab
menyumbang kiprah bagi kemajuan, itu terjadi karena ia memang mampu mengambil
peran dan bukan sebab jilbabnya. Sebaliknya, jika perempuan politikus
berjilbab melakukan tindakan tercela, itu terjadi karena pilihan sikap
politik yang tidak tepat atau karakter yang cacat, dan bukan sebab jilbabnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar