Netralitas
Aparatur di Pilkada
Suyatno ; Dosen Universitas
Terbuka
|
KORAN
JAKARTA, 20 Januari 2018
Dalam hirukpikuk menyambut Pilkada Serentak
2018, netralitas PNS, TNI, dan Polri muncul lagi. Sudah jadi rahasia umum,
oknum PNS tidak netral dalam pilkada untuk meraih jabatan prestisius andai
jagonya terpilih. Kini, malah muncul fenomena anggota TNI dan Polri aktif
mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada.
Meski sudah mengajukan pensiun,
pemberhentian diri yang reaktif dan mepet dengan waktu pencalonan,
dikhawatirkan tetap mendatangkan pengaruh tidak adil pada calon lain. Proses
pemilihan menjadi berjalan tidak adil. Keterlibatan birokrasi dalam politik
memang bisa mengundang perdebatan. Ada pro kontra. Yang setuju karena setiap
orang memiliki hak politik setara.
Dia memiliki hak memilih dan dipilih. Sulit
diterima membatasi peran politik seseorang (termasuk birokrat) dalam sistem
demokrasi. Pembatasan hak merupakan pelanggaran HAM. Sementara itu, yang
kontra berkeyakinan bahwa tumpang tindihnya peran sebagai pelayan masyarakat
dan aktor politik sekaligus akan memunculkan conflict of interest.
Tidak saja berlangsung pada tataran
individu, tapi juga institusi birokrasi. Efeknya bisa dirasakan pada salah
satu wadah tersebut. Bisa merusak kinerja birokrasi itu sendiri atau merusak
kehidupan politik seseorang berupa pembusukan politik dalam jangka panjang.
Pengalaman bangsa ini cukup menjadi cerminnya.
Sebelumnya, dalam Pilkada Serentak 2015
keluar nota kesepahaman (MoU) bersama netralitas PNS dalam pilkada serentak
yang ditandatangi Menteri Dalam Negeri, Menpan RB, Kepala BKN, Ketua Komisi
ASN dan Ketua Bawaslu sebagai langkah antisipasi. Selanjutnya, mendagri dan
Menpan RB membentuk satgas khusus untuk mengawasi netralitas PNS.
Sanksinya mulai penundaan kenaikan pangkat,
pencabutan tunjangan kinerja hingga pemberhentian. Kini dalam Pilkada 2018
sinyalemen keterlibatan aparatur negara masih saja dikhawat irkan. Pengalaman
panjang keterlibatan aparatur dalam pemilu/ pilkada telah cukup menu n jukkan
kerunyaman.
Keterlibatan birokrasi dalam politik
bukanlah pilihan terbaik bila ingin menegakkan jalannya demokrasi.
Keterlibatan politik aparatur dalam pilkada merupakan fenomena puncak gunung
es. Yang muncul dipermukaan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan
sesungguhnya yang jauh lebih banyak dan masif terjadi.
Sejumlah kecenderungan negatif ternyata
muncul dari keberpihakan politik aparatur dalam pilkada. Keterpasungan bisa
menjebak pegawai birokrasi dalam kehidupan politiknya. Dia akan tertelikung
oleh konsekuensi bila tidak memilih partai tertentu. Dampaknya bisa
membahayakan konduitenya sebagai seorang aparatur sipil negara (ASN).
Keberpihakan aparatur lebih mengakibatkan
ancaman struktural ketimbang fungsional. Seorang birokrat bisa mendapat
sanksi atasan bila tidak berpihak pada kehendak pemegang kekuatan politik.
Tugas utama PNS melayani masyarakat. Kondisi berikutnya sangat terbuka
peluang terjadi pelayanan PNS, TNI dan Polri bisa cenderung diskriminatif.
Keberpihakan aparatur pada salah satu partai (kandidat) politik akan
memperlemah profesionalisme organisasi pemerintahan.
Sejarah
Masih jelas terlihat, melibatkan birokrasi
dalam politik sangat tidak menguntungkan rakyat telah berlangsung lama dari
Orla ke Orba. Birokrasi terpetak- petak dalam parpol-parpol. Birokrasi
menjadi rebutan sebagai instrumen kepanjangan tangan partai mana pun. Partai
yang berhasil menempatkan kadernya menjadi pimpinan di sebuah departemen,
akan menjadikannya kendaraan.
Politisasi tertutup terjadi pada era
berikutnya. Birokrasi Orde Baru setali tiga uang. Hanya dalam bentuk yang
lebih menyolok. Birokrasi diubah menjadi peranti partai berkuasa. Pada
praktiknya birokrasi terlibat dalam kepengurusan dan pemenangan parpol
pemerintah. Tidak ada kebebasan birokrasi untuk berparpol.
Birokrasi menjadi mesin bagi pengendalian
politik masyarakat. Ada pemangkasan agar birokrasi tidak liar dalam
berafiliasi ke parpol tertentu. Akibatnya, rakyatlah yang jadi korban. Hak
politiknya diabaikan. Rakyat tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan hak
memilih dan dipilih. Ini karena ada kontrol birokrasi negara hingga level
paling bawah.
Konsep monoloyalitas melekat erat kepada
birokrasi saat itu. Tidak melibatkan aparatur dalam pilkada berarti
menghendaki sebuah birokrasi yang netral. Birokrasi dalam pengertian
value-free. Hegel berpendapat, administrasi negara sebagai suatu jembatan
yang menghubungkan antara negara dan masyarakatnya (Thoha; 2003).
Birokrasi pemerintah merupakan medium untuk
menghubungkan kepentingan particular (masyarakat) dengan kepentingan umum.
Kedudukan PNS yang netral dimaksud dalam Undang-Undang No 5/2014 adalah bebas
dari pengaruh semua golongan dan parpol. Kecuali itu juga tidak diskriminatif
dalam melayani masyarakat.
Untuk menjamin netralitas, pegawai negeri
dilarang menjadi tim sukses, anggota dan atau pengurus partpol. Meski begitu,
PNS, TNI dan Polri tidak kehilangan hak untuk memilih, tapi tidak terlibat
aktif dalam pilkada. Dia memiliki hak pilih aktif. Kalaupun ingin memiliki
hak dipilih, mereka harus meletakkan karirnya sebagai aparatur negara.
Politik vis a vis pelayanan terjadi dalam
memposisikan aparatur. Antara politik dan pelayanan birokrasi tidak bisa
berjalan bersamaan. Aparatur negara selayaknya menjadi milik semua orang
karena alat negara yang dibentuk demi kehidupan masyarakat lebih baik.
Netralitas aparatur akan membawa banyak kondisi.
Dengan mengambil jarak yang sama dari semua
kandidat/ partai akan membebaskannya dari jebakan-jebakan struktural.
Aparatur lebih berkonsentrasi pada pelayanan. Terhindarnya ancaman struktural
membawa aparatur hanya terfokus untuk terhindar. Mereka akan menjalankan
dengan sebaik-baiknya fungsinya agar tidak mendapat sanksi.
Jadi, bukan karena diancam akibat tidak
mendukung kandidat tertentu. Aparatur bisa berfungsi sebagai stabilisator
kebijakan negara. Biar berganti-ganti penguasa, pola kerja yang relatif bebas
dari intervensi politik akan menjaga kesinambungan. PNS, TNI, dan Polri
benar-benar menjadi penghubung antara negara dan rakyat.
Memenangkan pilkada adalah target setiap
kandidat. Tetapi mengorbankan kepentingan rakyat banyak demi kemenangan
sangat memalukan. Kemenangan hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Menggunakan
PNS, TNI, dan Polri sebagai alat harus segera diakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar