Rumah
Bersama Bernama Pancasila
Imam Nahrawi ; Menteri Pemuda dan Olahraga RI
|
JAWA
POS, 01
Juni 2017
KETEGANGAN dan polarisasi yang dipicu oleh proses politik
elektoral memang mencemaskan. Betapa tidak. Karena perbedaan pandangan dan
posisi politik, satu sama yang lain saling serang secara membabi-buta. Yang
satu menuduh kafir, yang lain menuding garis keras. Yang satu teriak
anti-asing, yang satu lagi mendamprat anti kebinekaan. Tidak heran jika
sampai ada hubungan silaturahmi yang retak gara-gara itu.
Perbedaan pandangan dan sikap politik sebenarnya hal jamak
dalam kehidupan demokrasi. Jika mau ditelaah lagi, ketegangan dan polarisasi
yang terjadi pada masa silam bahkan jauh lebih kuat dan keras. Dulu
ketegangan dan polarisasi itu bahkan dipicu oleh sesuatu yang mendasar:
konflik ideologi. Pada masa ketika para pendiri bangsa masih mencari-cari
bentuk kebangsaan dan kenegaraan, konflik ideologi itu tampak lebih sulit
didamaikan, bahkan walau tidak sedang terjadi proses politik elektoral sekali
pun.
Justru karena konflik ideologi yang mengeras itulah kita
akhirnya ’’menemukan’’ Pancasila.
Dalam pidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni, yang hari ini kita
peringati sebagai Hari Lahir Pancasila, Bung Karno dengan begitu menggugah
mengutarakan gesekan ideologi sebagai keniscayaan:
’’Tidak ada satu staat (negara) yang hidup betul,
betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan
bergolak mendidih bak kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di
dalamnya. Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada
perjuangan di dalamnya. Kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk
membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan
menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.’’
Dengan metafora ’’menumbuk padi’’ itulah, Bung Karno
hendak menegaskan bahwa sejarah Indonesia memang penuh dengan gesekan,
konflik, kompetisi, atau kontestasi politik dan ideologi. Dalam kontestasi
politik dan ideologi itulah, Bung Karno berpidato dan akhirnya mengajukan
proposal hebat yang bernama Pancasila. Nasi bernama Indonesia, atau bisa saja
kita sebut ’’nasi Pancasila’’, adalah buah dari proses tumbuk-menumbuk
berbagai paham dan aliran politik serta ideologi dalam lesung sejarah
kebangsaan kita.
Tumbuk-menumbuk itu melibatkan ideologi kiri, tengah,
maupun kanan. Dari kalangan sosialis, bahkan komunis, di kiri, kaum
nasionalis di tengah, hingga kaum agamis di sisi kanan perjuangan. Pancasila
adalah hasil tumbuk-menumbuk itu, semacam jalan tengah, yang dari sanalah
’’rumah bersama’’ bernama Indonesia akhirnya mendapat payungnya.
Tumbuk-menumbuk aliran politik, bahkan ideologi, dalam
lesung ke-Indonesia-an itu niscaya tidak akan pernah berhenti. Jangan berpikir
bahwa sekali Pancasila disepakati oleh para pendiri bangsa, maka tidak akan
ada lagi tumbuk-menumbuk berikutnya. Sama sekali tidak. Jalan sejarah bangsa
ini terus saja bergelora, dengan amat dinamis, dan dalam sejumlah kesempatan
–sayangnya– berakhir dengan pedih dan perih.
Persoalannya bukan pada proses tumbuk-menumbuk itu,
melainkan apa yang akan dihasilkan?
Oleh para pendiri bangsa, proses tumbuk-menumbuk itu
melahirkan konsensus berharga bernama Pancasila. Sebuah konsensus yang
memungkinkan Indonesia yang beragam mampu bertahan melewati berbagai kelokan
sejarah. Konsensus yang menjadikan Indonesia sebagai milik bersama, bukan
sekelompok atau segolongan orang belaka.
Tentu saja Pancasila bukan kreasi yang sempurna. Sebab,
Pancasila memang bukan wahyu dari Dia Yang Maha Sempurna Lagi Menyempurnakan.
Pancasila adalah kreativitas para pendiri bangsa dalam menyikapi realitas
dunia yang plural, pelik, kompleks, dan centang perenang.
Amat tepat jika, lagi-lagi, Bung Karno menggunakan kiasan
’’menggali’’ saat menceritakan proses mengkristalkan pemikirannya mengenai
Pancasila yang kemudian dia uraikan dalam pidato pada 1 Juni 1945. Kiasan
’’menggali’’ dari Bung Karno menyiratkan proses membumi, menuju bumi,
mengais-ngais apa yang terpendam di dalam bumi, dan bukan
menyorong-nyorongkan tangan dalam rupa memohon ke atas langit.
Dengan kiasan ’’menggali’’, Bung Karno –juga semua pendiri
bangsa yang menyepakati konsensus bernama Pancasila– tidak akan pernah
mengklaim Pancasila sebagai sesuatu yang suci lagi wingit laksana wahyu yang
turun dari pucuk Arasy. Pancasila adalah kreativitas manusia dan kemanusiaan.
Justru karena itulah Pancasila menjadi hidup dan sadar akan dinamika yang
riil terjadi.
Pancasila bukan hukum langit sehingga pada dirinya sendiri
Pancasila mengakui kekurangan, ketidaksempurnaan. Karena itulah, memang watak
dunia yang terus bergerak dan berubah. Pancasila tidak boleh berhenti menjadi
doktrin, apalagi dogma. Sebab, begitu Pancasila didekati sebagai dogma, ia
akan rentan digugat oleh perkembangan sejarah. Pancasila semestinya menjadi
medan ’’tumbuk-menumbuk’’ di mana satu sama yang lain saling menguji, saling
berkontestasi, saling menyebarkan pengaruh –selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip negara hukum.
Bagi kelompok yang ingin mengukuhkan sila pertama, silakan
saja. Tetapi, Pancasila juga punya sila-sila yang lain sehingga sila pertama
(yang menekankan agama) tidak akan menjadi maslahat jika tidak diikuti oleh,
misalnya, prinsip kemanusiaan (sila kedua) dan prinsip keadilan (sila kelia).
Yang ingin lebih menonjolkan sila kelima (tentang keadilan), yang cukup lama
dicurigai sebagai pengejawantahan sosialisme, juga dipersilakan. Tapi, jika
itu dilakukan dengan mengabaikan sila-sila yang lain, misalnya sila pertama
tentang ketuhanan, perjuangan itu tentu akan semakin sulit terealisasi secara
–katakanlah– politik elektoral.
Ilustrasi di atas inilah yang kiranya bisa menegaskan
Pancasila sebagai jalan tengah, sebagai konsensus, sebagai rumah bersama,
dari keberagaman yang dianugerahkan Tuhan kepada Indonesia. Kita harus
merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati. Sebab, jika Pancasila roboh,
rumah bersama itu pun akan runtuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar