Bre Redana ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas
|
KOMPAS, 12 Maret 2017
Ada yang tak bakal saya lewatkan setiap kali bermalam di
Solo seperti sering saya jalani akhir-akhir ini: nonton pertunjukan wayang
orang di Taman Sriwedari. Wayang orang-sebagaimana wayang kulit-tetap
memiliki pencintanya. Pada akhir pekan atau karena lakon tertentu, penonton
kadang penuh.
Saya tak peduli kebagian duduk di mana atau lakonnya apa,
yang penting masuk gedung, duduk menikmati tontonan sembari makan kacang.
Serupa proses membaca buku: membaca karya Eco, The Island of the Day Before
yang panjang dan penuh mitos, nikmati saja dengan sikap santai seperti
mendengar mitologi. Sesuatu yang hilang dari dunia digital.
Wayang Orang Sriwedari kelihatan melakukan
pembaruan-pembaruan, terutama dalam pengadeganan dan acuan dramatik. Terakhir
saya nonton, mereka menampilkan episode ketika perang antarkeluarga Bharata
berakhir. Seusai tumpasnya Kurawa, ditampilkan suasana Padang Kurusetra yang
sunyi, temaram dalam keremangan cahaya panggung. Di sana-sini prajurit
bergeletakan. Tombak dan anak panah menancap pada mereka. Panji-panji
kerajaan tertunduk layu. Adegan seperti ini jarang ada pada pertunjukan
wayang orang.
Destarata, raja buta ayah para Kurawa, dituntun istrinya
Gendari terseok-seok mencari anak-anaknya. Gendari menjerit setiap kali
mendapati jasad anaknya. Sangat mengharukan. Destarata pecah kesedihannya
ketika mendapati jasad putra yang paling dicintainya, Duryudana. Kami terbawa
kesedihan Destarata, orangtua yang kehilangan semangat hidup karena
kehilangan orang yang dicintai.
Sriwedari yang terletak di Jalan Slamet Riyadi adalah
pusat kota Solo. Pusat kota, sebagai alasan kota dibangun sejak zaman
Mesopotamia, haruslah merupakan pusat sistem kepercayaan, nilai-nilai, yang
kemudian ditransendensikan menjadi nilai-nilai kebudayaan. Makanya, seperti
kita lihat peninggalannya sampai sekarang, pusat dari kota-kota yang memiliki
kebudayaan besar, baik di Timur Tengah maupun Eropa, selalu berupa kuil tempat
pemujaan.
Solo atau Surakarta dibangun untuk menggantikan Keraton
Kartasura pada 1740 oleh Pakubuwana II dan dilanjutkan oleh raja-raja
berikutnya. Perjanjian Salatiga (1757) menjadikan Surakarta dibagi dua, yakni
Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran.
Kasunanan, pada zaman Pakubuwana X, membangun Taman
Sriwedari, tahun 1899. Konon, Pakubuwana X membangun taman ini diilhami
sebuah taman yang berada di Kerajaan Maespati dalam cerita wayang. Tak mau
kalah, pada masa berikutnya, Mangkunegaran membangun Taman Balekambang, juga
Tirtanadi.
Dalam beberapa hal, Solo sebenarnya diuntungkan oleh
rivalitas dua kekuasaan tersebut, yang sama-sama menempatkan kebudayaan
sebagai sesuatu yang sentral dalam pembangunan kota. Pada masanya,
Mangkunegaran ditengarai membangun taman- taman dengan orientasi Barat.
Entah bagaimana ihwalnya, tata ruang dari jalan-jalan
utama di Solo menunjukkan tata ruang dari sebuah kota yang modern. Membentang
dari barat ke timur, poros utama Solo, Jalan Slamet Riyadi, seperti avenue di
Manhattan, New York, yang dipotong oleh jalan-jalan yang sejajar. Kalau
avenue di Manhattan dipotong street (disebut dengan angka, pusat kota
dipotong 40th Street, 41st Street, 42nd Street yang terkenal dan seterusnya),
di Solo Jalan Slamet Riyadi dipotong Jalan Gajah Mada, Jalan Teuku Umar, dan
seterusnya. Ujung timur merupakan gerbang keraton. Tak jauh dari situ,
terletak Pasar Gede, pasar tradisional yang sebenarnya hasil dari gagasan
mengenai modernitas. Perancangnya, Thomas Karsten, memang salah satu pelopor
gagasan modern dalam arsitektur pada akhir abad ke-19/awal abad ke-20.
Seperti saya katakan, waktu malam di Solo, saya nonton
wayang tanpa peduli apa lakonnya. Lampu minyak pedagang angkringan di bawah
beringin berkedap-kedip ditiup angin. Saya menikmati semuanya, di tengah arus
zaman di mana suatu kelompok seperti Si Malin Kundang mulai hendak
mengingkari bahkan memusuhi budaya sendiri. Jangan ikut-ikutan. Selain
kualat, mereka bakal tersesat di jalan tak tentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar