Menjerat
Korupsi Korporasi
Emerson Yuntho ; Anggota Badan
Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 03 Maret 2017
Di negeri ini tidak ada yang meragukan kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi. Selama hampir 14
tahun KPK bekerja, sudah puluhan orang ditangkap melalui operasi tangkap
tangan, ratusan kasus korupsi telah ditangani dan pelakunya dijebloskan ke
penjara dan triliunan rupiah uang negara berhasil diselamatkan.
Namun, di balik prestasi luar biasa tersebut ternyata
terdapat satu pelaku yang belum dijerat oleh KPK, yaitu korupsi yang
dilakukan oleh korporasi atau badan hukum. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sudah ditegaskan bahwa subyek hukum pelaku
korupsi tidak saja orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi.
UU Tipikor secara jelas menyebutkan korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum. Pasal 20 UU Tipikor pada intinya menyebutkan
jika korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, tuntutan atau
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.
Proses pemberian efek jera bagi korporasi juga akan sangat
efektif jika pelaku dijerat secara kumulatif tidak saja dengan UU Tipikor,
tetapi juga dengan UU Pencucian Uang. Dalam Pasal 7UU Pencucian Uang, pada
intinya disebutkan pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah
pidana denda paling banyak Rp 100 miliar.
Selain pidana denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi, pencabutan
izin usaha, pembubaran dan/atau pelarangan korporasi, perampasan aset
korporasi untuk negara dan/atau pengambilalihan korporasi oleh negara.
KPK beralasan, proses hukum terhadap korporasi terhambat
karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur secara
khusus cara penyidikan dan penuntutan atas korporasi. KUHAP sebagai landasan
hukum dalam penindakan dan penuntutan KPK hanya mengatur mengenai subyek
hukum berupa orang. KPK khawatir jika landasan hukumnya belum jelas,
korporasi yang dituntut berpotensi dibebaskan oleh hakim pengadilan tipikor.
Menjerat korporasi
Meski KUHAP belum mengatur tata cara memproses korporasi,
upaya menjerat korupsi oleh badan hukum ini bukan tidak bisa dilakukan.
Presedennya bahkan sudah dimulai sejak 2010 ketika kejaksaan menjerat PT Giri
Jaladhi Wana (PT GJW) karena terlibat dalam korupsi pengelolaan Pasar Sentra
Antasari, Banjarmasin.
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang diperkuat
Pengadilan Tinggi Banjarmasin akhirnya menyatakan PT GJW terbukti korupsi dan
menjatuhkan pidana denda Rp 1,3 miliar dan tambahan berupa penutupan
sementara PT GJW selama enam bulan. Mahkamah Agung kemudian menguatkan
putusan tersebut pada 2013.
Penyidikan kasus korupsi oleh korporasi di negara lain
juga sudah lazim dilakukan. Misal saja sejumlah perusahaan di Amerika Serikat
dijatuhi denda karena melanggar foreign corrupt practices act, sebuah aturan
yang melarang korporasi untuk menyuap pejabat pemerintah di suatu negara.
Untuk memberikan efek jera, denda yang dijatuhkan terhadap korporasi bahkan
bisa saja mendekati atau lebih tinggi daripada nilai proyek yang berupaya
didapat dari praktik suap itu.
Pada 2014, Departemen Kehakiman Amerika Serikat
menjatuhkan denda 2 juta dollar AS kepada perusahaan pembuat senjata Smith
& Wesson karena terbukti menyuap para pejabat di Indonesia, Pakistan, dan
negaranegara lain untuk memenangkan proyek penjualan senjata. Perusahaan
energi raksasa Alstom juga harus membayar denda 700 juta dollar AS dan
Marubeni Corporation didenda 88 juta dollar AS karena memberikan suap kepada
pejabat Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan proyek tenaga listrik.
Praktik di Indonesia
Di Indonesia, keterlibatan korporasi dalam praktik korupsi
dapat dicermati dari beberapa kasus yang pernah ditangani KPK. Data KPK tahun
2016 menyebutkan, lembaga ini telah menangani 146 kasus dengan tersangka
pengurus korporasi atau perusahaan. Semua pengurus korporasi berhasil dijerat
dan dijebloskan ke penjara, tetapi korporasinya tidak tersentuh dan tetap
dapat beroperasi hingga saat ini.
Pada 2017, peluang menjerat korporasi yang terlibat
korupsi semakin terbuka dengan lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh
Korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat
dengan tindak pidana, yaitu korporasi mendapatkan keuntungan dari sebuah
tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah
terjadinya tindak pidana.
Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti bersalah adalah
denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenai hukuman kurungan
hingga dua bulan.
Perma juga mengatur antara lain cara memanggil dan
memeriksa korporasi sebagai saksi kasus pidana dan siapa yang mewakilinya.
Aturan ini juga mengatur cara menagih denda jika korporasi dinyatakan
terbukti bersalah. Untuk mencegah pihak korporasi menghindar dari proses
hukum, maka aturan ini memungkinkan bagi penegak hukum untuk menyita
korporasi sejak awal penyidikan dan melelang aset sebelum putusan hakim
dijatuhkan.
Dengan adanya perma ini, maka tidak ada lagi kekosongan
hukum acara pidana korporasi. KPK maupun institusi penegak hukum sebaiknya
tidak lagi menghindar dan harus segera menjerat korupsi yang dilakukan oleh
korporasi. Langkah ini penting tidak saja memberikan efek jera buat pelaku
korporasi, tetapi juga dapat menjadi peringatan bagi korporasi lainnya untuk
tidak melakukan tindakan menyimpang dan korup di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar