Daya
Beli Terganggu Inflasi Semu
Enny Sri Hartati ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KOMPAS, 06 Maret 2017
Sepanjang
dua tahun terakhir, pemerintah dapat mengklaim sudah sangat berhasil menjaga
stabilitas harga. Pasalnya, capaian angka inflasi justru di bawah target
pemerintah. Pada 2015, inflasi hanya mencapai 3,3 persen. Padahal, dalam
asumsi APBN 2015, pemerintah memproyeksikan inflasi sebesar 5 persen. Bahkan,
selama 2016 merupakan inflasi terendah dalam satu dekade terakhir karena
hanya mencapai 3,02 persen. Namun, ironisnya, semakin rendahnya angka inflasi
justru terjadi anomali, di mana daya beli masyarakat justru semakin menurun.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2016 hanya 5,01 persen.
Memaknai
stabilitas harga memang harus dengan kacamata yang komprehensif, karena
urgensi dari stabilitas harga yang paling esensi adalah terjaganya daya beli
masyarakat. Logikanya, jika harga relatif stabil yang ditandai oleh inflasi
yang rendah, dengan sendirinya daya beli masyarakat juga akan stabil, bahkan
meningkat. Kondisi itu terjadi tentu jika rendahnya inflasi bersumber dari
terjaganya pasokan dan biaya produksi. Namun, juga harus diingat bahwa
keseimbangan harga merupakan interaksi permintaan (daya beli) dengan
stabilitas pasokan. Artinya, sekalipun tidak ada stabilitas pasokan dan biaya
input produksi tinggi, tetap dapat berujung pada inflasi yang rendah jika
sisi permintaan sangat rendah.
Fenomena
tersebut sangat mudah ditemukan jawabannya pada struktur perilaku konsumsi
masyarakat Indonesia. Masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah lebih dari
70 persen pendapatannya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan, termasuk yang
tinggal di perdesaan. Sementara harga pangan selama dua tahun berturut-turut
melonjak sangat tinggi, inflasi harga pangan mencapai 7,3 persen secara
tahunan (yoy) 2015 dan 7,6 persen secara tahunan (yoy) 2016. Dibandingkan
tahun 2014, kenaikan beberapa komoditas pangan tidak hanya naik dua digit,
tetapi mencapai puluhan persen, seperti harga beras naik 19,69 persen, bawang
merah naik 72,54 persen, cabai biasa naik 24,62 persen, cabai keriting naik
24,76 persen, gula pasir naik 27,33 persen, daging sapi naik 14,29 persen,
jagung naik 14,79 persen, telur ayam ras naik 14,70 persen, kacang tanah naik
44,79 persen, dan mi instan naik 21,89 persen.
Sayangnya,
kenaikan berbagai harga komoditas pangan tersebut hanya terjadi di level
konsumen. Disparitas harga yang diterima petani dengan yang dibayar konsumen
bisa mencapai 300 persen atau tiga kali lipat. Apalagi ketika panen raya
bertepatan dengan musim hujan seperti pada Februari-Maret 2017. Harga gabah
kering panen (GKP) di wilayah pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur terjun
bebas. Di Tuban, gabah kering giling (GKG) per kilogram hanya dihargai Rp
2.600-Rp 3.000, bahkan di Rembang anjlok hingga Rp 1.500-Rp 2.000. Padahal,
pemerintah telah menetapkan harga pembelian pemerintah untuk GKP Rp 3.700 per
kilogram.
Dari
ilustrasi sederhana tersebut, kesimpulannya sudah jelas, kunci dari
stabilitas harga yang berujung peningkatan daya beli masyarakat terletak pada
stabilitas harga pangan. Artinya, solusinya pun mestinya juga sederhana dan
jelas. Pemerintah harus fokus dan konkret untuk menyelesaikan masalah secara
fundamental. Pemerintah harus hadir menyelesaikan masalah tersebut secara
komprehensif, tidak secara parsial, apalagi sekadar pencitraan.
Pertama,
validitas data pangan dan efektivitas program pemerintah. Peningkatan
produktivitas pangan tentu tidak hanya diukur dari data pertumbuhan produksi
ataupun besarnya anggaran subsidi pertanian. Rasionalitas ekonomi tetap
berbasis bahwa harga adalah interaksi antara pasokan dan permintaan. Tidak
mungkin harga bergejolak pada saat terjadi pasokan yang melimpah. Jika hal
itu terjadi, tentu persoalannya terletak pada validitas data produksi dan
konsumsi serta dominasi pemegang pasokan.
Kedua,
pemerintah harus berhenti menumpahkan masalah itu pada mafia pangan. Tidak
dimungkiri praktik pemburu rente dan persaingan yang tidak sehat subur dalam
tata niaga pangan. Mafia pangan bukan sumber masalah, tetapi merupakan
implikasi dari pembiaran masalah yang tak kunjung diselesaikan. Kelembagaan
pertanian tidak pernah dibenahi dan petani dibiarkan tidak memiliki daya
tawar. Dengan tata niaga pangan diserahkan pada mekanisme pasar, dengan
sendirinya menjadi ladang empuk pemilik pemodal untuk mendominasi pasokan.
Sementara negara tidak memiliki instrumen intervensi pasar maupun upaya
konkret pemberdayaan petani. Ketika musim hujan tiba, Perum Bulog tidak mampu
menyerap gabah petani karena petani tidak mampu memenuhi kadar air GKP yang
ditetapkan Perum Bulog.
Ketiga,
jika disparitas harga yang diterima petani tetap dibiarkan tinggi, pendapatan
dan daya beli petani akan semakin rendah. Padahal, lebih dari 34 persen
penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Belum lagi sebagian
besar petani adalah buruh tani yang notabene menjadi konsumen murni untuk
produk-produk pangan yang mereka hasilkan. Artinya, petani dua kali kena
musibah.
Jika
persoalan paling sederhana tersebut tidak kunjung terselesaikan, lingkaran
setan pada produk pangan akan terus terjadi di Indonesia. Besar kemungkinan,
sekalipun pemerintah mampu mencetak prestasi inflasi yang rendah, hal itu
tetap hanya bersifat semu. Inflasi yang rendah tidak mampu mendongkrak daya
beli masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar