Darurat
Nelayan
Oki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim,
Perikanan;
Pelaku Usaha Budidaya Laut,
Tambak Organik
|
KOMPAS, 13 Maret 2017
Sejumlah regulasi yang digulirkan pemerintah yang melarang
penggunaan jaring pukat karena dianggap tidak ramah lingkungan telah mengusik
perekonomian masyarakat pesisir. Regulasi tersebut dianggap menyabotase
program pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (sustainable) atau dengan
kata lain mendistorsi upaya memadukan tujuan sosial, ekonomi, dan ekologi
menjadi satu ruangan yang harmoni dan sinergi.
Regulasi itu berdampak ratusan ribu nelayan cantrang
terpuruk, ribuan pekerja Unit Pengolahan Ikan terancam menganggur, dan
pabrik pengolahan ikan mengalami
kelangkaan bahan baku. Jasa nelayan yang selama ini memberikan andil besar
membangun ekonomi masyarakat pesisir dan mengakselerasi sektor perikanan
nasional begitu saja dilupakan dan ditinggalkan.
Sementara alternatif usaha yang diluncurkan, seperti
mengganti jaring cantrang dengan jaring milenium, bubu dan pancing dianggap
tak efektif dan efisien. Hasil uji coba jaring milenium di perairan
Probolinggo dan Madura tidak membuat nelayan untung, sebaliknya jadi buntung.
Selama 10 hari melaut dengan menggunakan jaring milenium hanya mendapat ikan dengan
nilai Rp 7 juta, sementara biaya operasional hampir Rp 20 juta. Nelayan yang
terbiasa menggunakan jaring cantrang untuk satu trip (15 hari melaut) saat
musim ikan memperoleh 14 ton ikan senilai Rp 70 juta (harga ikan Rp 5.000 per
kilogram) dengan biaya melaut Rp 25 juta.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai salah satu sentra
cantrang terbesar selayaknya segera mengambil langkah darurat untuk
menyelamatkan sekitar 38.000 buruh nelayan yang mengawaki sekitar 4.600 kapal
ikan cantrang. Termasuk di dalamnya ribuan pekerja industri pengolahan
perikanan setingkat UKM yang terdampak langsung kebijakan pemerintah yang
melarang secara permanen penggunaan jaring cantrang, dogol, colok, sudu, dan
payang.
Kondisi itu tak jauh berbeda dengan nelayan cantrang dan
efek bisnis perikanan di pantura Jawa Tengah. Faktanya, hasil tangkapan
nelayan menurun di hampir semua sentra perikanan tangkap nasional. Di
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi,
Kabupaten Trenggalek, misalnya, tahun 2015 angkanya 24.000 ton, tahun
2016 hanya 4.300 ton. Sementara di PPN Pengambengan, Kabupaten Jembrana,
Bali, turun hingga 50 persen pada 2016 dari 17.000 ton menjadi 7.000 ton.
Tempat Pelelangan Ikan Tasik Agung, Kabupaten Rembang,
salah satu pusat perikanan tangkap terbesar di Jawa Tengah, mengalami hal
serupa, bahkan kondisinya lebih parah. Sejumlah warung makan dan warung kopi
tutup karena sepi pembeli. Penghasilan toko kelontong yang biasa menjual peralatan kapal dan
bahan baku untuk melaut turun drastis. Omzetnya anjlok dari rata-rata Rp 2
juta menjadi hanya Rp 300.000 per hari.
Demikian pula yang dialami pabrik daging ikan lumat atau
surimi terseok akibat kelangkaan bahan baku seiring pelarangan itu.
Setidaknya tiga pabrik surimi di Jawa Tengah dan Jawa Timur berhenti berproduksi
karena kesulitan memperoleh bahan baku dari hasil tangkapan cantrang.
Salah satu produsen surimi terbesar di Gresik mengalami
penurunan produksi dan bersiap berhenti produksi akibat volume bahan baku
terus berkurang dua tahun terakhir.
Tanggap darurat
Jawa Timur sebagai salah satu sentra perikanan tangkap
terbesar diharapkan dapat mencarikan solusi guna menyelamatkan sektor
perikanan tangkap dan industri pengolahan ikan yang ada di titik nadir.
Dengan kekuatan anggaran Rp 712 miliar lebih pada 2017, sebagian bisa
dialihkan untuk perbaikan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Anggaran Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur
sebagian besar dialokasikan pada proyek pembangunan dan penyempurnaan serta
pemeliharaan pelabuhan perikanan (42,77 persen), penyempurnaan prasarana UPT
Budidaya (8,71 persen), serta rehabilitasi
mangrove dan terumbu karang (3,68 persen).
Sementara dana hibah untuk masyarakat pesisir (nelayan,
pembudidaya, pengolah ikan, petani garam) dialokasikan Rp 84 miliar (14,92
persen), termasuk pengadaan 150 jaring milenium yang mencuatkan resistensi
itu.
Nelayan, selain terpuruk akibat regulasi, juga sangat
rentan terhadap kemiskinan dengan perubahan iklim, terbukti dengan
berkurangnya periode melaut dari 180 hari menjadi 124 hari per tahun. Mereka sangat membutuhkan program yang
terkait langsung dengan kebutuhannya. Misalnya, di sentra perikanan tangkap
diperlukan coldstorage yang dilengkapi mesin pembekuan kapasitas besar untuk
membantu menstabilkan harga ikan di saat paceklik ikan.
Teknologi nelayan tradisional yang terbatas terbukti
kurang efektif menangkap ikan. Penggunaan fish finder dianggap usang dan
sejak lama sudah ditinggalkan. Entah apa yang akan terjadi jika pelarangan
penggunaan rumpon sebagai alat bantu menangkap ikan juga dilarang. Peta
lokasi fishing ground yang disebarluaskan Kementerian Kelautan dan
Perikanan hanya terdistribusi di
pelabuhan perikanan, sementara nelayan yang beroperasi di tengah laut tidak
mendapatkan informasi tersebut.
Banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencarikan
alternatif usaha bagi nelayan tangkap yang kondisinya sedang terpuruk. Salah
satunya, membuka usaha budidaya laut (marine
culture), seperti rumput laut, kerapu, kakap, kekerangan, lobster. Selain
itu, budidaya lele dan ikan air tawar lain, udang, atau bandeng skala rumah
tangga diyakini bisa menjadi solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar