SDM
dan Ketenagakerjaan 2018
Razali Ritonga ; Kepala Pusdiklat BPS; Alumnus Georgetown University, AS
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2017
PRESIDEN Joko Widodo dalam
kunjungan kerjanya ke Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) di
Bekasi, Rabu (27/12), menyebutkan penerintah mulai 2018 akan melaksanakan
pembangunan sumber daya manusia (SDM) secara masif (Media Indonesia, 28/12).
Perhatian pemerintah untuk meningkatkan SDM pada 2018 itu memang sangat
penting dan mendesak segera diwujudkan, terutama kaitannya dengan kehadiran
bonus demografi yang puncaknya diperkirakan pada 2030-an. Dengan kehadiran
bonus demografi itu yang ditandai membesarnya jumlah penduduk usia produktif,
khususnya penduduk usia muda, kiranya mereka perlu dibekali kualitas SDM yang
memadai untuk berusaha dan bekerja.
Diketahui, hingga kini
angka pengangguran penduduk usia muda (youth unemployment) terbilang sangat
besar mencapai 17,8%. Angka pengangguran usia muda di Thailand hanya sebesar
2,8%, Vietnam 5,5%, Singapura 6,7%, Malaysia 10,3%, dan Filipina 16,3% (UNDP,
2014). Karena itu, dengan kian membengkaknya penduduk usia muda akibat
kehadiran bonus demografi, itu dikhawatirkan akan semakin meningkatkan angka
pengangguran penduduk usia muda di Tanah Air. Pada gilirannya, meningkatnya
penganggur usia muda itu tidak hanya akan menyebabkan potensi ekonomi yang
hilang (potential loss), tapi juga akan menjadi beban masyarakat.
Pelatihan
kerja
Maka, atas dasar itu,
peningkatan SDM mutlak diperlukan, antara lain melalui latihan keterampilan
kerja seperti pada BBPLK, Bekasi. Secara faktual, peningkatan SDM melalui
latihan kerja itu memang masih sangat diperlukan mengingat hingga kini
derajat pendidikan angkatan kerja masih cukup rendah. Tercatat, lebih dari
setengah angkatan kerja di Tanah Air berpendidikan SMP ke bawah. Bahkan,
pelatihan keterampilan bekerja itu kini dianggap krusial untuk menjembatani
kesenjangan akibat persoalan tidak nyambung dan tidak sesuai (link and match)
antara pendidikan formal dan pasar kerja.
Celakanya, persoalan link
and match itu juga dialami pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK),
termanifestasi dari tingginya angka pengangguran berpendidikan SMK. Hasil
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2017 menunjukkan angka
pengangguran untuk SMK sebesar 11,4%. Angka itu tertinggi bila dibandingkan
dengan angka pengangguran jenjang pendidikan lainnya, SD (2,62%), SMP
(5,54%), SMA (8,29%), diploma I/II/III (6,88%), dan universitas (5,18%).
Secara faktual, hal itu sekaligus menyiratkan bahwa peningkatan SDM melalui
latihan keterampilan kerja tampaknya juga masih diperlukan bagi lulusan SMK.
Dalam konteks ini,
penyelenggaraan pelatihan kerja diharapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
pasar kerja, yang terus mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi selain
akibat perubahan demografi, menurut Jonas Prising (World Economic Forum,
2016), juga disebabkan perubahan minat pencari kerja, perkembangan teknologi,
dan pergeseran kebutuhan usaha dan atau perusahaan. Selain itu,
penyelenggaraan pelatihan kerja diharapkan mampu meningkatkan produktivitas
calon pekerja kelak ketika mereka bekerja agar memperoleh upah atau
pendapatan yang memadai. Hal ini mengingat mayoritas pekerja di Tanah Air
masih rendah dan tergolong miskin. Laporan UNDP (2014), misalnya, menyebutkan
sekitar 52% penduduk bekerja tergolong pekerja miskin dengan pendapatan di
bawah US$2 (berdasarkan purchasing power parity/PPP). Sementara itu, pekerja
miskin di Malaysia sebesar 1,9%, Thailand 10,1%, Vietnam 37,3%, dan Filipina
40,9%.
Bahkan, lebih setengahnya
(57,2%) pekerja di Tanah Air tergolong pekerja rentan (vulnerable
employment), yakni mereka yang tergolong miskin dan mudah jatuh miskin bagi
yang tidak miskin. Umumnya, pekerja rentan dikategorikan pada mereka yang
bekerja sendiri dan pekerja keluarga yang tidak dibayar (unpaid family
workers).
Kewirausahaan
Selain menyesuaikan dengan
kebutuhan pasar kerja, penyelenggaraan pelatihan kerja perlu mengakomodasi
mereka yang ingin berusaha mandiri atau berwirausaha (entrepreneurship).
Jelasnya, penyelenggaraan latihan kerja perlu didesain bukan hanya
berorientasi mencari kerja, melainkan juga mempermudah bagi mereka yang ingin
berusaha mandiri. Menurut Smith dan Petersen (2006), jiwa kewirausahaan dapat
didorong dengan meningkatkan pengetahuan, skill, dan motivasi melalui
orientasi usaha baru dan memperkenalkan produk atau jasa baru.
Salah satu aspek yang
perlu dicermati untuk membentuk jiwa kewirausahaan ialah meningkatkan
pengetahuan tentang potensi unggulan yang dapat dikembangkan menjadi usaha di
suatu daerah. Di Ontario, Kanada, misalnya, sebagai daerah maju di dunia,
identifikasi pengembangan kegiatan usaha dilakukan dengan pengkajian secara
mendalam terhadap empat aspek, yakni potensi ekonomi, kelestarian lingkungan
hidup, kesesuaian karakter sosial, dan potensi penggunaan lahan (Building
Strong Commitment, Ontario, 2005).
Hal sama juga bisa
dilakukan di Tanah Air, antara lain dengan mengobservasi potensi keunggulan
suatu daerah atau dengan mencermati data potensi desa (podes). Diketahui,
Badan Pusat Statistik dalam rentang tiga tahun sekali melakukan pendataan
podes, yakni sosial kependudukan, sektor pertanian, dan kegiatan ekonomi
berbasis desa.
Sangat diharapkan, rencana
peningkatan SDM pada 2018 berjalan sesuai komitmen pemerintah sehingga dapat
memberikan modal bagi penduduk, terutama kaum muda untuk berusaha dan
bekerja. Peningkatan SDM itu juga diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan
pembangunan infrastruktur yang selama ini telah dilaksanakan pemerintahan
Presiden Joko Widodo sehingga dapat menjadi roadmap dalam peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penurunan angka kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar