Mengejar
Brand World Class University
Djoko Santoso ; Guru Besar Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2017
MENJELANG fajar tahun baru
menyingsing, universitas seantero jagat sangat mungkin disibukkan target
dalam pencapaian world class university (WCU). Diestimasi, nama universitas
seperti Harvard University, University of Cambridge, University of Oxford,
Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Stanford University yang
akan tetap masuk jajaran top rangking dunia.
Berbicara nama-nama
tersebut sangat menarik kalau hal itu mengarah pada suatu brand. Artinya ada
suatu pesan berharga, di antaranya, academic reputation, employability
reputation (reputasi kemudahaan dapat kerja lulusannya), global mobility,
research publication, citation (jadi rujukan akademik), bila mengacu kriteria
perangkingan universitas terkemuka yang jadi basis WCU, yakni Quacquarelli
Symonds (QS).
Mendapatkan brand itu
tentu sangat tidak mudah. Masalahnya, dari tahun ke tahun hanya bisa direbut
universitas itu-itu saja. Apakah kondisi serupa terjadi, bisa kita lihat saat
pengumuman rangking sekitar pertengahan tahun.
Perspektif
kemaknaan
Lantas mengapa hanya ada
beberapa universitas yang mampu menggapai brand tersohor, lalu yang lain
bagaimana? Sebagaimana kaidah umum, kesohoran brand harus dipandang dari
perspektif kemaknaannya. Brand kesohor sesungguhnya menunjukkan suatu nilai,
kejujuran, kepekaan, kesungguhan, keluhuran, dan kemuliaan.
Sama dengan lainnya, hal
ini berlaku juga pada dunia pendidikan tinggi. Sebagai penyandang brand
tersohor, universitas tersebut tentu mempunyai pemikiran strategis dalam
memperkuat atau mempertahankan brand mereka. Mereka sangat inovatif dengan
segudang ide segar. Juga sebagai universitas yang merupakan pusat bakat
akademis, mereka tentu piawai dalam mengurutkan prioritas mana kebutuhan yang
sangat mendesak atau tidak dalam menghadapi kompleksitas masalahnya. Tak
kaget bila upaya memperkukuh brand ini dikonfirmasi ‘ukuran’ lain, misalnya
perolehan hadiah Nobel, Lasker Prize, Wolf Prize, Breakthrough Prize, bagi
akademikus atau saintisnya.
Kadang branding dikenali
dari maskot atau tagline. Sepanjang yang diketahui, warna/maskot atau
beberapa kata bisa diasumsikan sekadar warna atau slogan dalam merebut
pengakuan dan daya tarik pengagumnya. Namun, itu dirasa tidak cukup bahkan
terasa sangat sumir sekali sehingga sangat berpotensi brand mereka akan
tenggelam begitu saja. Tentu membangun suatu brand harus dimulai paling tidak
dengan komitmen, konsistensi menepati janji. Semakin konsisten melangkah,
maka brand universitas semakin kesohor di seantero jagat. Ini sangat mudah
ditebak bahwa universitas itu piawai dalam mengembangkan langkah-langkah
strategis mereka.
Lalu bagaimana
penjelasannya? Ada kemungkinan universitas dalam melangkah membangun brand
sudah menggunakan beberapa prinsip. Pertama, mereka memosisikan brand adalah
budaya. Membangunnya tidak bisa dengan cara sekadar menjual sesuatu produk,
tetapi harus menjadikan posisi budaya mereka agar bisa membentuk kebiasaan
sivitas dan alumni untuk selalu berperilaku dan berkomunikasi serta berkarya
ekselen.
Cara berpikir sivitas pun
harus berbasis budaya mereka sehingga bisa menampilkan praktik terbaik. Selain
itu, dimungkinkan tumbuhnya gerakan teamwork yang tersebar merata di seluruh
unsur jajaran mereka hingga mendorong kebiasaan bertanggung jawab penuh atas
apa yang dilakukan, termasuk senantiasa memperhitungkan dampak aktivitas baik
terhadap layanan mahasiswa, dosen, tenaga pendidikan, alumni, masyarakat
pengagum, maupun lingkungan secara umum.
Praktiknya berupa sebuah
komitmen terhadap tanggung jawab dan kepatuhan standar kualitas
internasional. Semua diproses dalam kondisi lingkungan kerja yang aman, adil,
legal, dan manusiawi penuh etika. Itu dimungkinkan ketika terbiasa dengan
budaya mendengar dan memahami perspektif berbagai pihak dengan hasil
teridentifikasinya prinsip-prinsip dan aspirasi para stakeholder.
Matra
Brand juga bisa mengilhami
keinginan sivitas untuk senantiasa berpartisipasi aktif dengan mengedepankan
refleksi diri demi memperkuat kompetensi adaptasi mereka. Namun, seberapa
besar hal ini bisa dicapai tentu sangat bergantung pada rancang bangun dari
pemikiran, kepiawaian mengembangkan jejaring sosial, dan kebiasaan dalam
menjaga kualitas langkah mereka, termasuk mengambil langkah ekstra sejak awal
untuk memastikan semua proses disiapkan dengan benar. Brand dibangun dari
dalam yang artinya sangat ditentukan sivitas sehingga mereka secara otomatis
akan memahami, meyakini, dan mendukung dalam menjaga brand. Misi kelembagaan
mereka tentu harus memperhatikan aspirasi sivitas. Inilah yang dimaksud
membangun brand yang bukan sekadar mencerminkan profil lulusan, melainkan
juga sivitas, masyarakat pengagum dengan gaya hidupnya yang bercirikan
kebersahajaan.
Brand itu suatu matra.
Artinya diposisikan bisa mengilhami perilaku sivitas dan pengagum. Mereka
menghasilkan nilai mulia melalui perilaku kerja sekaligus mendukung penguatan
brand. Dalam kaitan ini, bersama dukungan infrastruktur, perilaku branding
harus didefinisikan, diartikulasikan sehingga memberikan pengalaman sivitas
yang lebih baik. Kepuasan sivitas, pengagum, dan kesuksesan itu sesungguhnya
menggambarkan nilai berharga dalam memperkuat brand, menciptakan siklus
kekuatan branding dalam konteks pengembangan.
Brand juga menyangkut
konsistensi. Wujudnya bisa saja dalam bentuk komunikasi apa adanya, suatu
keputusan yang tegas tentang apa yang akan atau tidak akan mereka lakukan
atau katakan. Ini merupakan bagian dari budaya kebersahajaan, kesederhanaan,
dan komitmen yang tinggi dalam tercapainya kekuatan kompetitif yang lebih
unggul. Dalam konteks keberlangsungan sosialisasi pemasaran, perlu kesiapan
beberapa tema sederhana setiap tahunnya dengan maksud untuk menjamin
penguatan branding sekaligus mengingatkan bagaimana beperhatian menepati
janji dalam memberdayakan kesejahteraan manusia. Tema-tema darinya umumnya
meliputi tema tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals
(SDG’s).
Brand senantiasa tidak
akan pernah punah. Ini diasumsikan sebagai matra bahwa ‘tidak pernah ada kata
akhir’ yang harus dijiwai mahasiswa, sivitas, dan pengagum untuk senantiasa
memiliki kehidupan baru yang prospektif. Dalam konteks ini, inovasi posisinya
sangat strategi dalam menjadikan brand senantiasa eksis dengan cara tetap
menjaga komitmen terhadap student yang bersikap secara etis, selalu
menjadikan prestasi sebagai tantangan.
Pada universitas kesohor
saat ini, inovasinya ditujukan untuk mengatasi perubahan iklim global,
kepunahan spesies, polusi, dan kerusakan tatanan sosial dan lingkungan
sebagai dampak pembangunan yang tidak terkendali. Gambaran ini menunjukkan
bentuk tanggung jawab mereka terhadap proteksi lingkungan.
Dari beberapa pendekatan
analisis ini menjadikan hal yang kontras berbeda dari makna apa arti sebuah
nama. Pesan yang ditangkap seyogianya jangan menjadikan WCU sebagai tujuan.
Namun, itu lebih menekankan bagaimana keberadaan universitas bisa
memberdayakan kesejahteraan umat manusia. Memang tidak mudah, tapi jelas
bukan tidak mungkin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar