Senin, 08 Januari 2018

Bunuh Diri: Efek Psikologi

Bunuh Diri: Efek Psikologi
Budi Darma ;  Guru Besar Pascasarjana UNESA
                                                      KOMPAS, 05 Januari 2018



                                                           
Silakan simak peristiwa ini. Tahun 1774, Johann Wolfgang von Goethe menerbitkan novel Die Leiden des jungen Werther (Penderitaan Werther Muda). Namun, karena belum puas, Goethe merevisi novel ini, terbit 1787.

Novel ini berbentuk epistolary, yaitu surat-menyurat, yang amat populer waktu itu di seluruh Eropa. Semangatnya sesuai dengan Zeitgeist zaman itu, yaitu Sturm und Drank (badai dan kesengsaraan), yang kemudian merembet menjadi sentimentalitas Romantisisme, khususnya dalam prosa.

Werther muda, demikian inti kisahnya, jatuh cinta kepada Charlotte, perempuan muda yang sangat rupawan dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Begitu ibunya meninggal, semua beban untuk merawat saudara-saudaranya dia ambil alih. Juga karena tanggung jawabnya terhadap keluarga, dia menerima pinangan Albert, laki-laki tua bangka.

Seperti kata orang, cinta itu buta, begitulah cinta Werther muda terhadap Charlotte. Dia sadar Charlotte tidak lama lagi akan menjadi istri Albert, tetapi Werther muda tetap ngotot untuk mencintai Charlotte.

Karena kegigihan Werther muda, terjalinlah hubungan segitiga antara dia, Charlotte, dan Albert. Ketika akhirnya dia sadar tidak mungkin menjadikan Charlotte istrinya, dia menulis surat perpisahan, mengabarkan rencananya untuk bunuh diri. Setelah bunuh diri, Charlotte dan Albert tidak sudi melayat.

Membius pembaca

Novel ini mengguncang seluruh Eropa pada waktu itu. Karena kehebatan membius pembacanya, beberapa anak muda ikut-ikutan bunuh diri. Inilah yang dinamakan psikologi sastra terhadap pembaca.

Karya sastra yang baik pasti menimbulkan efek psikologi pada pembacanya, dan bagaimana sikap pembaca terhadap efek ini bergantung pada kejiwaan pembacanya.

Karena sastra itu verbal, bukan visual, maka efek psikologisnya tidak sekuat karya visual, katakanlah film atau seni pertunjukan lain. Perhatikanlah lagak para penonton film laga ketika mereka keluar dari gedung bioskop. Beberapa di antaranya berjalan dengan lagak jagoan seperti jagoan dalam film yang baru ditontonnya.

Lalu, perhatikanlah efek psikologi permainan  Skip Challenge dan Duel Gladiator dalam film atau video. Pemain-pemainnya serba gagah, serba tangguh, serba tahan banting. Karena ingin gagah seperti para pemain film atau video tersebut, beberapa anak muda berlagak jagoan. Jangan heran, manakala beberapa anak muda terpaksa meninggal karena efek psikologi permainan ini.

Sekarang tengoklah peristiwa mengerikan pada 12 Desember 2017. Jonghyun ”SHINee”, pentolan grup band anak- anak muda Korea Selatan, bunuh diri dengan didahului rentetan tanda-tanda sebelumnya: surat kepada kakaknya, Kim So-dam, dan curhatan kepada sahabat karibnya, yang nama lengkapnya disembunyikan dengan inisial A.

Lagu-lagu pop ciptaannya dianggap sangat berbobot, mungkin karena dia adalah pembaca sastra kelas berat, antara lain karya Franz Kafka dan Bertold Brecht. Tanpa bacaan berat, mungkin lagu pop Jonghyun tidak akan berbobot.

Kematian Jonghyun mengguncang hati penggila boyband Korea di seluruh dunia, dan efek psikologi pun muncullah. Banyak anak muda bersedih berlebihan, bahkan, di Indonesia, dua remaja ikut-ikutan bunuh diri. Untung, nyawa mereka dapat diselamatkan.

Membaca, menonton, dan mendengar memang tidak sama, tetapi ada kesamaan dalam menghadapi efek psikologi yang ekstrem. Tengoklah, misalnya, hasil penelitian Norman Holland mengenai efek psikologi. Kalau kita benci kepada seseorang, kita tidak mau membaca, menonton, atau mendengar segala sesuatu yang mirip atau berkaitan dengan orang itu. Inilah tahap defence stage, saat kita menghindar.

Namun, sebagai pembaca, penonton, atau pendengar yang bertanggung jawab, kita tidak berhenti begitu saja, karena jiwa kita limbung dan tidak bisa mencapai keseimbangan. Tahap berikutnya adalah fantasy stage, kesadaran bahwa yang kita baca, tonton, atau dengar hanyalah sebuah fantasi yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan realitas kita. Sentimentalisme Werther muda tidak ada sangkut pautnya dengan kita, demikian pula kematian Jonghyun. Para pemain Skip Challenge bukan kita, demikian pula para pemain Duel Gladiator.

 Tahap berikutnya adalah transformation stage, yaitu timbulnya kesadaran kita akan realitas diri kita sendiri, yaitu kita adalah kita, dan mereka adalah mereka. Dari sini, timbullah keseimbangan jiwa yang menyebabkan kita tetap teguh dan berorientasi pada realitas diri kita sendiri, bukan tokoh yang kita baca, bintang yang kita kagumi, dan pemain-pemain jagoan di luar dunia kita.

Keinginan membunuh

Kecuali ada bunuh diri sebagai efek psikologi, ada juga keinginan untuk membunuh. Tengoklah, misalnya, pembunuhan anggota The Beatles, John Lennon, oleh Mark David Chapman pada 8 Desember 1980. Sebagai pengagum John Lennon, Mark David Chapman tidak sampai hati melihat suatu saat nanti John Lennon keriput dimakan usia, jelek rupanya, hilang wibawanya, dan hilang pula kreativitasnya.

John Lennon harus tetap menjadi John Lennon. Karena itu, sebelum John Lennon telanjur tua, harus dihabisi nyawanya. Dengan demikian, dalam ingatan semua orang, John Lennon adalah laki-laki gagah, kreatif, dan berwibawa.

Para pembaca fanatik novel-novel detektif karya Sir Arthur Conan Doyle dengan tokoh utamanya detektif Sherlock Holmes dan sahabatnya, Dr Watson, marah ketika Sir Arthur Conan Doyle yang sudah bosan menulis dan ingin pensiun membunuh tokohnya.

Maka, diceritakanlah Sherlock Holmes dimasukkan ke dalam rawa-rawa oleh penjahat yang dia kejar. Para pembaca marah karena detektif pujaan mereka dikalahkan penjahat. Terpaksalah Sir Arthur Conan Doyle memberi kekuatan baru pada Sherlock Holmes agar mampu menyelamatkan diri.

Meskipun Sir Arthur Conan Doyle sudah meninggal pada 1930, dalam pikiran pembaca tokoh Sherlock Holmes dan Dr Watson tetap muda, gagah, dan sanggup meringkus segala macam penjahat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar