Bunuh
Diri: Efek Psikologi
Budi Darma ; Guru Besar Pascasarjana UNESA
|
KOMPAS,
05 Januari
2018
Silakan simak peristiwa
ini. Tahun 1774, Johann Wolfgang von Goethe menerbitkan novel Die Leiden des
jungen Werther (Penderitaan Werther Muda). Namun, karena belum puas, Goethe
merevisi novel ini, terbit 1787.
Novel ini berbentuk
epistolary, yaitu surat-menyurat, yang amat populer waktu itu di seluruh
Eropa. Semangatnya sesuai dengan Zeitgeist zaman itu, yaitu Sturm und Drank
(badai dan kesengsaraan), yang kemudian merembet menjadi sentimentalitas
Romantisisme, khususnya dalam prosa.
Werther muda, demikian
inti kisahnya, jatuh cinta kepada Charlotte, perempuan muda yang sangat
rupawan dan sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya. Begitu ibunya
meninggal, semua beban untuk merawat saudara-saudaranya dia ambil alih. Juga
karena tanggung jawabnya terhadap keluarga, dia menerima pinangan Albert,
laki-laki tua bangka.
Seperti kata orang, cinta
itu buta, begitulah cinta Werther muda terhadap Charlotte. Dia sadar
Charlotte tidak lama lagi akan menjadi istri Albert, tetapi Werther muda
tetap ngotot untuk mencintai Charlotte.
Karena kegigihan Werther
muda, terjalinlah hubungan segitiga antara dia, Charlotte, dan Albert. Ketika
akhirnya dia sadar tidak mungkin menjadikan Charlotte istrinya, dia menulis
surat perpisahan, mengabarkan rencananya untuk bunuh diri. Setelah bunuh
diri, Charlotte dan Albert tidak sudi melayat.
Membius
pembaca
Novel ini mengguncang
seluruh Eropa pada waktu itu. Karena kehebatan membius pembacanya, beberapa
anak muda ikut-ikutan bunuh diri. Inilah yang dinamakan psikologi sastra
terhadap pembaca.
Karya sastra yang baik
pasti menimbulkan efek psikologi pada pembacanya, dan bagaimana sikap pembaca
terhadap efek ini bergantung pada kejiwaan pembacanya.
Karena sastra itu verbal,
bukan visual, maka efek psikologisnya tidak sekuat karya visual, katakanlah
film atau seni pertunjukan lain. Perhatikanlah lagak para penonton film laga
ketika mereka keluar dari gedung bioskop. Beberapa di antaranya berjalan
dengan lagak jagoan seperti jagoan dalam film yang baru ditontonnya.
Lalu, perhatikanlah efek
psikologi permainan Skip Challenge dan
Duel Gladiator dalam film atau video. Pemain-pemainnya serba gagah, serba
tangguh, serba tahan banting. Karena ingin gagah seperti para pemain film
atau video tersebut, beberapa anak muda berlagak jagoan. Jangan heran,
manakala beberapa anak muda terpaksa meninggal karena efek psikologi permainan
ini.
Sekarang tengoklah
peristiwa mengerikan pada 12 Desember 2017. Jonghyun ”SHINee”, pentolan grup
band anak- anak muda Korea Selatan, bunuh diri dengan didahului rentetan
tanda-tanda sebelumnya: surat kepada kakaknya, Kim So-dam, dan curhatan kepada
sahabat karibnya, yang nama lengkapnya disembunyikan dengan inisial A.
Lagu-lagu pop ciptaannya
dianggap sangat berbobot, mungkin karena dia adalah pembaca sastra kelas
berat, antara lain karya Franz Kafka dan Bertold Brecht. Tanpa bacaan berat,
mungkin lagu pop Jonghyun tidak akan berbobot.
Kematian Jonghyun
mengguncang hati penggila boyband Korea di seluruh dunia, dan efek psikologi
pun muncullah. Banyak anak muda bersedih berlebihan, bahkan, di Indonesia,
dua remaja ikut-ikutan bunuh diri. Untung, nyawa mereka dapat diselamatkan.
Membaca, menonton, dan
mendengar memang tidak sama, tetapi ada kesamaan dalam menghadapi efek
psikologi yang ekstrem. Tengoklah, misalnya, hasil penelitian Norman Holland
mengenai efek psikologi. Kalau kita benci kepada seseorang, kita tidak mau
membaca, menonton, atau mendengar segala sesuatu yang mirip atau berkaitan
dengan orang itu. Inilah tahap defence stage, saat kita menghindar.
Namun, sebagai pembaca,
penonton, atau pendengar yang bertanggung jawab, kita tidak berhenti begitu
saja, karena jiwa kita limbung dan tidak bisa mencapai keseimbangan. Tahap
berikutnya adalah fantasy stage, kesadaran bahwa yang kita baca, tonton, atau
dengar hanyalah sebuah fantasi yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan
realitas kita. Sentimentalisme Werther muda tidak ada sangkut pautnya dengan
kita, demikian pula kematian Jonghyun. Para pemain Skip Challenge bukan kita,
demikian pula para pemain Duel Gladiator.
Tahap berikutnya adalah transformation
stage, yaitu timbulnya kesadaran kita akan realitas diri kita sendiri, yaitu
kita adalah kita, dan mereka adalah mereka. Dari sini, timbullah keseimbangan
jiwa yang menyebabkan kita tetap teguh dan berorientasi pada realitas diri
kita sendiri, bukan tokoh yang kita baca, bintang yang kita kagumi, dan
pemain-pemain jagoan di luar dunia kita.
Keinginan
membunuh
Kecuali ada bunuh diri
sebagai efek psikologi, ada juga keinginan untuk membunuh. Tengoklah,
misalnya, pembunuhan anggota The Beatles, John Lennon, oleh Mark David
Chapman pada 8 Desember 1980. Sebagai pengagum John Lennon, Mark David
Chapman tidak sampai hati melihat suatu saat nanti John Lennon keriput
dimakan usia, jelek rupanya, hilang wibawanya, dan hilang pula
kreativitasnya.
John Lennon harus tetap
menjadi John Lennon. Karena itu, sebelum John Lennon telanjur tua, harus
dihabisi nyawanya. Dengan demikian, dalam ingatan semua orang, John Lennon
adalah laki-laki gagah, kreatif, dan berwibawa.
Para pembaca fanatik
novel-novel detektif karya Sir Arthur Conan Doyle dengan tokoh utamanya
detektif Sherlock Holmes dan sahabatnya, Dr Watson, marah ketika Sir Arthur
Conan Doyle yang sudah bosan menulis dan ingin pensiun membunuh tokohnya.
Maka, diceritakanlah
Sherlock Holmes dimasukkan ke dalam rawa-rawa oleh penjahat yang dia kejar.
Para pembaca marah karena detektif pujaan mereka dikalahkan penjahat.
Terpaksalah Sir Arthur Conan Doyle memberi kekuatan baru pada Sherlock Holmes
agar mampu menyelamatkan diri.
Meskipun Sir Arthur Conan
Doyle sudah meninggal pada 1930, dalam pikiran pembaca tokoh Sherlock Holmes
dan Dr Watson tetap muda, gagah, dan sanggup meringkus segala macam penjahat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar