Kamis, 18 Januari 2018

Aroma Politik dalam Putusan MK

Aroma Politik dalam Putusan MK
Refly Harun  ;  Ahli Hukum Tata Negara;  Ketua Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
                                             MEDIA INDONESI, 15 Januari 2018



                                                           
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) harus dihormati. Putusan MK ialah solusi dari perdebatan banyak pihak terhadap materi undang-undang tertentu, tak terkecuali di dalamnya perdebatan tentang ambang batas untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, atau yang lebih dikenal dengan presidential threshold (PT).

Sikap itulah yang ingin saya sorongkan sebagai penghormatan atas putusan MK kendati, hingga detik ini, sangat sukar untuk tidak mengatakan bahwa sungguh menyengat aroma politik dalam putusan MK terkait dengan PT tersebut.

Setelah pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu 2017), banyak pihak mengajukan pengujian pasal yang masih mengadopsi pemberlakuan PT, yaitu 20% kursi atau 25% suara. Mulai partai politik baru seperti Partai Idaman hingga aktivis-aktivis pemilu berbondong-bondong mengajukan pengujian pasal-pasal tentang PT tersebut.

Mereka yang menginginkan penghapusan ketentuan PT dilandasi setidaknya pada argumentasi sebagai berikut. Pertama, kursi dan suara di Pemilu Legislatif 2014 sudah pernah dipakai untuk penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014. Kedua, Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 ialah dua pemilu yang terpisah, bukan sebuah rangkaian seperti Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Dengan demikian, tidak logis menjadikannya dasar penyelenggaraan Pemilu Presiden 2019. Ketiga, jika menjadikan Pemilu Legislatif 2014 sebagai dasar untuk Pemilu Presiden 2019, belum tentu peserta pemilu (partai politik) di dua pemilu itu sama. Jika ada peserta yang berbeda, sudah pasti tercipta ketidakadilan pemilu.

Alasan mereka yang menolak PT dalam rezim pemilu serentak terlihat sangat kuat. Namun, hasilnya, pada 11 Januari lalu, MK tetap berkukuh mengenai pemberlakuan PT sebagai sebuah legal policy (politik hukum) pembentuk undang-undang dalam rangka mencapai tujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Bagi MK, PT tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Logika sesat

Dalam pertimbangan putusan, MK menyatakan bahwa persyaratan mengenai ambang batas minimum peroleh­an suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden bukan diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya pemilu presiden dengan pemilu legislatif, melainkan dari argumentasi teoretis untuk memperkuat sistem presidensial, dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan presidensial sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem parlementer.

Mantra memperkuat sistem pemerintahan presidensial bisa dikatakan sebagai argumen kunci MK dalam menolak permohonan pemberlakuan PT. Presiden tidak boleh menjadi minority president karena akan lemah bila berhadapan dengan DPR. Logika itu bagi saya sangat sesat baik dari segi teoretis maupun fakta. Penguatan sistem presidensial bukan bergantung pada besarnya persentase dukungan pengajuan capres, melainkan pada besarnya fraksi pendukung presiden di parlemen. Fraksi tersebut harus bersifat tetap, tidak bergantung dari satu isu ke isu lain.

Ketika diajukan sebagai calon presiden, Presiden Jokowi malah diajukan lebih sedikit jumlah kursi anggota DPR, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Prabowo bahkan lebih banyak pendukungnya, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Tidak mengherankan, di awal-awal pemerintahan, KMP mampu merebut semua kepemimpinan di parlemen baik DPR maupun MPR. Tahun kedua masa jabatannya (2016), Presiden Jokowi mampu menarik beberapa partai ke dalam koalisi pemerintah, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Hal tersebut bisa dimungkinkan karena terjadi perubahan kepemimpinan di partai-partai tersebut.

Presiden Jokowi sendiri sebenarnya tidak memiliki dukungan loyal 100%, termasuk dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang secara formal merupakan partai tempat bernaung Presiden Jokowi. Terbukti dalam kasus penggunaan hak angket terhadap Pelindo II, PDIP yang justru menjadi sponsor utama.

Bahkan, hingga saat ini, dalam kaitan dengan angket Pelindo II ini, DPR yang dimotori PDIP masih melarang kehadiran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.

Penguatan sistem presidensial karenanya tidak bisa dicapai dengan persentase jumlah kursi atau suara yang mendukung pencalonan presiden, tetapi seberapa besar dan seberapa loyal pendukung presiden di parlemen, yang bisa saja berubah dari waktu ke waktu, bergantung pada dinamika politik yang ada. Bisa saja pada saat dicalonkan, Presiden Jokowi lebih minoritas dukungannya ketimbang Prabowo, tetapi yang paling penting ia bisa menarik pendukung-pendukung baru di kubu Prabowo ketika sudah terpilih.

Sudah jamak dipahami, pemenang akan diikuti, tidak akan ditinggalkan. Pemenang tidak akan pernah menjadi anak yatim. Fenomena Partai Golkar misalnya, sejak Pilpres 2004, calon yang diajukan partai ini selalu kalah (Wiranto 2004, Jusuf Kalla 2009, dan Prabowo 2014), tetapi selalu saja menjadi bagian pemerintahan. Golkar selalu ikut dalam koalisi pemerintahan pascakekalahan calon mereka.

Dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial, bukan banyaknya dukungan yang diperlukan, melainkan bagaimana kita mengurangi jumlah parpol secara konstitusional. Sudah ada beberapa rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang dilakukan dalam mengurangi jumlah parpol. Yang bisa saya catat, antara lain, memperberat syarat pendirian parpol, memperberat syarat parpol ikut pemilu, penerapan electoral threshold (yang saat ini sudah dihilangkan), dan penerapan parliamentary threshold.

Penerapan parliamentary threshold, terutama, sangat ampuh untuk mengurangi jumlah partai politik baik sebagai peserta pemilu (karena partai menjadi ragu-ragu untuk ikut pemilu) maupun sebagai partai yang mendapatkan kursi di parlemen nasional. Saat ini jumlah parpol yang ada DPR 10 partai, lebih sedikit dibandingkan hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Kendati lebih banyak satu partai ketimbang hasil Pemilu 2009, yang hanya menempatkan 9 parpol di DPR.

Dalam konteks ini, sudah tepat putusan MK yang pernah menolak penghapusan parliamentary threshold pada 13 Februari 2009. PT ialah upaya konstitusional untuk penyederhanaan parpol. Dengan PT 3,5%, diperkirakan, jumlah parpol di DPR stabil pada 10 parpol saja. Di masa depan, secara alamiah diharapkan jumlah parpol hanya 3-5, yang betul-betul mencerminkan aliran politik yang ada di Indonesia.

Dengan jumlah parpol yang lebih sedikit di DPR, lebih mudah bagi presiden untuk mengontrol dan bernegosiasi dengan parlemen. Karena itu, apa yang dikatakan Scott Mainwarning (1993), bahwa ‘the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain’ dengan mengambil contoh pengalaman Amerika Latin ialah lebih tepat pada konteks penyederhanaan jumlah parpol, bukan pada besar-tidaknya dukungan nominasi kepada presiden dan wakil presiden.

Keadilan pemilu

MK juga tidak konsisten dalam mengonstruksikan prinsip keadilan pemilu atau election fairness. Di satu sisi, MK menyatakan ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu 2017 inkonstitusional (bertentangan dengan konstitusi) karena tidak mencerminkan prinsip keadilan pemilu dengan adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta pemilu.

Menurut MK, perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi. Bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan pemilu. Dengan dasar berpikir seperti itu, MK membatalkan ketentuan yang menguntungkan parpol-parpol yang saat ini bercokol di DPR, yaitu langsung dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu 2019 tanpa verifikasi terlebih dulu.

Dengan paradigma keadilan pemilu, putusan tersebut kiranya sudah sangat tepat. Perhelatan pemilu akan menjadi tidak adil bila ada partai yang terlebih dulu berdarah-darah untuk menjadi peserta pemilu, sementara partai lain melenggang begitu saja. Hakikat pemilu yang jujur dan adil tidak akan tercapai bila ada pembedaan perlakuan antarpeserta pemilu.

Di sinilah paradoks terjadi pada MK. Ketentuan PT yang jelas-jelas tidak adil, karena telah menghilangkan hak partai politik baru untuk dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden, malah dipertahankan. Saya bolak-balik membaca putusan MK tersebut dan sama sekali tidak menemukan nalar komprehensif ketika MK mempertahankan ketentuan PT.

Meski sejak lama tidak menerima ketentuan PT, saya masih bisa ‘berkompromi’ ketika pemilu legislatif dan pilpres tidak serentak. Perumusan PT tidak akan diskriminatif karena berlaku untuk semua peserta pemilu.

Ketika ketentuan PT dirumuskan, belum diketahui hasil pemilunya sehingga semua parpol memiliki kesempatan yang sama baik dalam mendulang suara maupun kursi legislatif, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Ketika pemilu sudah dilaksanakan serentak, secara logika sudah tidak ada dasar lagi untuk menetapkan PT. Ternyata DPR nekat menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai basis PT untuk Pemilu 2019. Pada awalnya saya sangat yakin ketentuan yang tidak rasional itu dibatalkan. Ternyata, keyakinan itu bertemu dengan fakta bahwa MK malah mengukuhkan irasionlitas tersebut. Bolak-balik saya membaca dasar pertimbangan MK, dan hanya satu kesimpulan yang bisa saya dapatkan: sulit untuk tidak menyatakan bahwa putusan itu terkait dengan calon-calon presiden pada Pilpres 2019.

Pada titik inilah, saya memandang tujuh hakim konstitusi yang menolak penghapusan PT gagal memahami hakikat demokrasi. Salah satu tiang demokrasi ialah pemilu yang adil dan demokratis (fair and democratic election). Pemilu yang adil dan demokratis tersebut kini telah terbajak di tahap awal karena putusan MK.

Untuk pemilu presiden dan wakil presiden mendatang, tokoh-tokoh yang saat ini sibuk berkampanye untuk merebut pole position barangkali harus menghentikan upaya mereka. Race pemilu presiden mendatang rasanya hampir pasti diisi dua nama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto atau nama selain Prabowo. Bukan tidak mungkin pula hanya terdapat satu pasangan calon melenggang alias calon tunggal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar