Aroma
Politik dalam Putusan MK
Refly Harun ; Ahli Hukum Tata Negara; Ketua Pusat Studi Ketatanegaraan Fakultas
Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta
|
MEDIA
INDONESI, 15 Januari 2018
PUTUSAN Mahkamah
Konstitusi (MK) harus dihormati. Putusan MK ialah solusi dari perdebatan
banyak pihak terhadap materi undang-undang tertentu, tak terkecuali di
dalamnya perdebatan tentang ambang batas untuk mengajukan pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden, atau yang lebih dikenal dengan
presidential threshold (PT).
Sikap itulah yang ingin
saya sorongkan sebagai penghormatan atas putusan MK kendati, hingga detik
ini, sangat sukar untuk tidak mengatakan bahwa sungguh menyengat aroma
politik dalam putusan MK terkait dengan PT tersebut.
Setelah pengesahan UU
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu 2017), banyak pihak
mengajukan pengujian pasal yang masih mengadopsi pemberlakuan PT, yaitu 20%
kursi atau 25% suara. Mulai partai politik baru seperti Partai Idaman hingga
aktivis-aktivis pemilu berbondong-bondong mengajukan pengujian pasal-pasal
tentang PT tersebut.
Mereka yang menginginkan
penghapusan ketentuan PT dilandasi setidaknya pada argumentasi sebagai
berikut. Pertama, kursi dan suara di Pemilu Legislatif 2014 sudah pernah
dipakai untuk penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014. Kedua, Pemilu 2014 dan
Pemilu 2019 ialah dua pemilu yang terpisah, bukan sebuah rangkaian seperti
Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Dengan demikian, tidak logis
menjadikannya dasar penyelenggaraan Pemilu Presiden 2019. Ketiga, jika
menjadikan Pemilu Legislatif 2014 sebagai dasar untuk Pemilu Presiden 2019,
belum tentu peserta pemilu (partai politik) di dua pemilu itu sama. Jika ada
peserta yang berbeda, sudah pasti tercipta ketidakadilan pemilu.
Alasan mereka yang menolak
PT dalam rezim pemilu serentak terlihat sangat kuat. Namun, hasilnya, pada 11
Januari lalu, MK tetap berkukuh mengenai pemberlakuan PT sebagai sebuah legal
policy (politik hukum) pembentuk undang-undang dalam rangka mencapai tujuan
memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Bagi MK, PT tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
Logika
sesat
Dalam pertimbangan
putusan, MK menyatakan bahwa persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan
suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan
calon presiden dan calon wakil presiden bukan diturunkan dari logika
disatukan atau dipisahkannya pemilu presiden dengan pemilu legislatif,
melainkan dari argumentasi teoretis untuk memperkuat sistem presidensial,
dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin
mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan presidensial sehingga
tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem parlementer.
Mantra memperkuat sistem
pemerintahan presidensial bisa dikatakan sebagai argumen kunci MK dalam
menolak permohonan pemberlakuan PT. Presiden tidak boleh menjadi minority
president karena akan lemah bila berhadapan dengan DPR. Logika itu bagi saya
sangat sesat baik dari segi teoretis maupun fakta. Penguatan sistem
presidensial bukan bergantung pada besarnya persentase dukungan pengajuan
capres, melainkan pada besarnya fraksi pendukung presiden di parlemen. Fraksi
tersebut harus bersifat tetap, tidak bergantung dari satu isu ke isu lain.
Ketika diajukan sebagai
calon presiden, Presiden Jokowi malah diajukan lebih sedikit jumlah kursi
anggota DPR, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Prabowo
bahkan lebih banyak pendukungnya, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih
(KMP). Tidak mengherankan, di awal-awal pemerintahan, KMP mampu merebut semua
kepemimpinan di parlemen baik DPR maupun MPR. Tahun kedua masa jabatannya
(2016), Presiden Jokowi mampu menarik beberapa partai ke dalam koalisi pemerintah,
yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan
Partai Golongan Karya (Golkar). Hal tersebut bisa dimungkinkan karena terjadi
perubahan kepemimpinan di partai-partai tersebut.
Presiden Jokowi sendiri
sebenarnya tidak memiliki dukungan loyal 100%, termasuk dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), yang secara formal merupakan partai tempat
bernaung Presiden Jokowi. Terbukti dalam kasus penggunaan hak angket terhadap
Pelindo II, PDIP yang justru menjadi sponsor utama.
Bahkan, hingga saat ini,
dalam kaitan dengan angket Pelindo II ini, DPR yang dimotori PDIP masih
melarang kehadiran Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Penguatan sistem
presidensial karenanya tidak bisa dicapai dengan persentase jumlah kursi atau
suara yang mendukung pencalonan presiden, tetapi seberapa besar dan seberapa
loyal pendukung presiden di parlemen, yang bisa saja berubah dari waktu ke
waktu, bergantung pada dinamika politik yang ada. Bisa saja pada saat
dicalonkan, Presiden Jokowi lebih minoritas dukungannya ketimbang Prabowo,
tetapi yang paling penting ia bisa menarik pendukung-pendukung baru di kubu
Prabowo ketika sudah terpilih.
Sudah jamak dipahami,
pemenang akan diikuti, tidak akan ditinggalkan. Pemenang tidak akan pernah
menjadi anak yatim. Fenomena Partai Golkar misalnya, sejak Pilpres 2004,
calon yang diajukan partai ini selalu kalah (Wiranto 2004, Jusuf Kalla 2009,
dan Prabowo 2014), tetapi selalu saja menjadi bagian pemerintahan. Golkar
selalu ikut dalam koalisi pemerintahan pascakekalahan calon mereka.
Dalam konteks penguatan
sistem pemerintahan presidensial, bukan banyaknya dukungan yang diperlukan,
melainkan bagaimana kita mengurangi jumlah parpol secara konstitusional.
Sudah ada beberapa rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang
dilakukan dalam mengurangi jumlah parpol. Yang bisa saya catat, antara lain,
memperberat syarat pendirian parpol, memperberat syarat parpol ikut pemilu,
penerapan electoral threshold (yang saat ini sudah dihilangkan), dan
penerapan parliamentary threshold.
Penerapan parliamentary
threshold, terutama, sangat ampuh untuk mengurangi jumlah partai politik baik
sebagai peserta pemilu (karena partai menjadi ragu-ragu untuk ikut pemilu)
maupun sebagai partai yang mendapatkan kursi di parlemen nasional. Saat ini
jumlah parpol yang ada DPR 10 partai, lebih sedikit dibandingkan hasil Pemilu
1999 dan Pemilu 2004. Kendati lebih banyak satu partai ketimbang hasil Pemilu
2009, yang hanya menempatkan 9 parpol di DPR.
Dalam konteks ini, sudah
tepat putusan MK yang pernah menolak penghapusan parliamentary threshold pada
13 Februari 2009. PT ialah upaya konstitusional untuk penyederhanaan parpol.
Dengan PT 3,5%, diperkirakan, jumlah parpol di DPR stabil pada 10 parpol
saja. Di masa depan, secara alamiah diharapkan jumlah parpol hanya 3-5, yang
betul-betul mencerminkan aliran politik yang ada di Indonesia.
Dengan jumlah parpol yang
lebih sedikit di DPR, lebih mudah bagi presiden untuk mengontrol dan
bernegosiasi dengan parlemen. Karena itu, apa yang dikatakan Scott
Mainwarning (1993), bahwa ‘the combination of presidentialism and
multipartism makes stable democracy difficult to sustain’ dengan mengambil
contoh pengalaman Amerika Latin ialah lebih tepat pada konteks penyederhanaan
jumlah parpol, bukan pada besar-tidaknya dukungan nominasi kepada presiden
dan wakil presiden.
Keadilan
pemilu
MK juga tidak konsisten
dalam mengonstruksikan prinsip keadilan pemilu atau election fairness. Di
satu sisi, MK menyatakan ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu
2017 inkonstitusional (bertentangan dengan konstitusi) karena tidak
mencerminkan prinsip keadilan pemilu dengan adanya perlakuan berbeda terhadap
partai politik calon peserta pemilu.
Menurut MK, perlakuan
berbeda terhadap calon peserta pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan
konstitusi. Bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat
kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan
berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan pemilu. Dengan dasar
berpikir seperti itu, MK membatalkan ketentuan yang menguntungkan
parpol-parpol yang saat ini bercokol di DPR, yaitu langsung dinyatakan lolos
sebagai peserta Pemilu 2019 tanpa verifikasi terlebih dulu.
Dengan paradigma keadilan
pemilu, putusan tersebut kiranya sudah sangat tepat. Perhelatan pemilu akan
menjadi tidak adil bila ada partai yang terlebih dulu berdarah-darah untuk
menjadi peserta pemilu, sementara partai lain melenggang begitu saja. Hakikat
pemilu yang jujur dan adil tidak akan tercapai bila ada pembedaan perlakuan
antarpeserta pemilu.
Di sinilah paradoks
terjadi pada MK. Ketentuan PT yang jelas-jelas tidak adil, karena telah
menghilangkan hak partai politik baru untuk dapat mengajukan calon presiden
dan calon wakil presiden, malah dipertahankan. Saya bolak-balik membaca
putusan MK tersebut dan sama sekali tidak menemukan nalar komprehensif ketika
MK mempertahankan ketentuan PT.
Meski sejak lama tidak
menerima ketentuan PT, saya masih bisa ‘berkompromi’ ketika pemilu legislatif
dan pilpres tidak serentak. Perumusan PT tidak akan diskriminatif karena
berlaku untuk semua peserta pemilu.
Ketika ketentuan PT
dirumuskan, belum diketahui hasil pemilunya sehingga semua parpol memiliki
kesempatan yang sama baik dalam mendulang suara maupun kursi legislatif, yang
pada gilirannya dapat digunakan untuk mencalonkan presiden dan wakil
presiden.
Ketika pemilu sudah
dilaksanakan serentak, secara logika sudah tidak ada dasar lagi untuk
menetapkan PT. Ternyata DPR nekat menggunakan hasil Pemilu 2014 sebagai basis
PT untuk Pemilu 2019. Pada awalnya saya sangat yakin ketentuan yang tidak
rasional itu dibatalkan. Ternyata, keyakinan itu bertemu dengan fakta bahwa
MK malah mengukuhkan irasionlitas tersebut. Bolak-balik saya membaca dasar
pertimbangan MK, dan hanya satu kesimpulan yang bisa saya dapatkan: sulit
untuk tidak menyatakan bahwa putusan itu terkait dengan calon-calon presiden
pada Pilpres 2019.
Pada titik inilah, saya
memandang tujuh hakim konstitusi yang menolak penghapusan PT gagal memahami
hakikat demokrasi. Salah satu tiang demokrasi ialah pemilu yang adil dan
demokratis (fair and democratic election). Pemilu yang adil dan demokratis
tersebut kini telah terbajak di tahap awal karena putusan MK.
Untuk pemilu presiden dan
wakil presiden mendatang, tokoh-tokoh yang saat ini sibuk berkampanye untuk
merebut pole position barangkali harus menghentikan upaya mereka. Race pemilu
presiden mendatang rasanya hampir pasti diisi dua nama, Joko Widodo dan
Prabowo Subianto atau nama selain Prabowo. Bukan tidak mungkin pula hanya
terdapat satu pasangan calon melenggang alias calon tunggal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar