Kamis, 18 Januari 2018

Limitasi Imunitas Advokat

Limitasi Imunitas Advokat
Bahrul Ilmi Yakup  ;  Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum BUMN FH Unsri
                                                      KOMPAS, 17 Januari 2018



                                                           
Penangkapan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap Fredrich Yunadi yang berprofesi sebagai advokat telah memantik kisruh, baik antara KPK selaku penyidik yang menangkap dan menahan versus kalangan advokat, antarsesama advokat, maupun kalangan masyarakat.

Pro-kontra pendapat bermunculan. Kekisruhan itu dapat menjernihkan masalah atau, sebaliknya, menjadikan masalah semakin ruwet tidak berujung.

 Penolakan para advokat terhadap tindakan penangkapan dan penahanan Fredrich oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dipilah ke dalam tiga  alasan. Pertama, Fredrich selaku advokat dilindungi dengan hak imunitas (kekebalan). Kedua,  secara prosedural, Fredrich harus diperiksa lebih dahulu di peradilan etik. Hanya, jika dalam pemeriksaan sidang peradilan etik ditemukan fakta bahwa Fredrich melanggar hukum,  organisasi advokat tempat Fredrich bernaung akan melimpahkan masalah itu ke penegak hukum untuk diproses lebih lanjut. Ketiga, kalangan advokat mempertanyakan wewenang KPK untuk melakukan penyidikan terhadap Fredrich yang diduga melanggar Pasal 21 UU  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20/2001.

Pertama, advokat Indonesia memang memiliki  hak imunitas ex Pasal 16 UU Advokat (UU No 18/2003), yaitu advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Norma Pasal 16 itu kemudian diafirmasi  dan diekstensi oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013, yang mengatur advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam ataupun di luar sidang pengadilan.

Hak imunitas advokat senyatanya tidak berdiri sendiri yang menisbahkannya  berlaku untuk semua kondisi. Apabila dipahami secara saksama dan sistemik, sejatinya  UU No 18/2003 justru melimitasi hak imunitas Advokat dengan dua legal premise, yakni (i) advokat dilindungi hak imunitas sepanjang tak melanggar peraturan perundang-undangan  atau perbuatan tercela ex Pasal 6 huruf d, (ii) advokat dilindungi hak imunitas sepanjang melaksanakan tugas profesinya dengan itikad baik (good faith) ex Putusan MK No 26/PUU-XI/2013.

Oleh karena itu, berdasarkan UU No 18/2003, advokat tidak dilindungi hak imunitas apabila melakukan tindakan melanggar peraturan perundang-undangan, melakukan perbuatan tercela, dan/atau melakukan tugas profesinya dengan itikad buruk. Dengan demikian, advokat tak  boleh bertindak semaunya, mengingkari peraturan perundang-undangan, etika, atau itikad baik. Justru advokat mestinya jadi  garda depan dalam menegakkan hukum, etika, dan itikad baik. Inilah hakikat   advokat sebagai profesi mulia (officium nobile).

Subsumsi peradilan etik

Kedua, UU Advokat memang mengatur penindakan dan penjatuhan sanksi terhadap advokat. Pasal 6  UU ini mengatur tujuh jenis  alasan  untuk menindak dan menjatuhkan sanksi terhadap advokat. Selanjutnya,  Pasal 7  Ayat (1) mengatur jenis sanksi yang dapat dijatuhkan, yaitu peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara, dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Selanjutnya,  Pasal 7 Ayat (2) dan  8 Ayat (1)  mengatur lembaga yang  berwenang mengenakan sanksi kepada advokat, yaitu Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.

UU Advokat tidak mengatur secara khusus mekanisme penindakan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan terhadap  advokat yang melakukan tindak pidana. Dengan demikian, penindakan advokat yang melakukan tindak pidana dilaksanakan sepenuhnya pada proses hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait, seperti UU No 8/1981 tentang KUHAP atau  UU organik lain yang memuat norma hukum acara.

Pasal  16 dan 17 KUHAP mengatur penyidik atau penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan KUHAP, penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana tidak harus didahului dengan pemanggilan. Hanya terhadap tersangka pelaku pelanggaran yang harus didahului dengan pemanggilan secara sah sebanyak dua kali berturut-turut ex Pasal 19 Ayat (2).

Dengan demikian, proses penindakan advokat yang dilakukan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dalam proses persidangan etik  tidak menunda atau mengecualikan proses hukum yang hendak dilakukan penyidik  sesuai wewenang yang dimilikinya. Bahkan, dapat dipahami bahwa proses penindakan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat bersifat subsumsi atau afirmasi  terhadap proses penindakan oleh penyidik.

Praksis selama ini memang memberi pemahaman bahwa proses peradilan etik terhadap advokat menunda proses hukum oleh penyidik. Pemahaman ini sesungguhnya tidak berdasarkan UU yang bersifat memaksa dan mengikat, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan antara organisasi advokat dan penyidik tertentu. Karena itu, isu hukum tersebut semestinya  menjadi  fokus usulan organisasi advokat dalam proses revisi UU No 18/2003.  

Di luar lingkup KPK

Ketiga, apakah penangkapan dan penahanan Fredrich masuk dalam lingkup tugas dan wewenang KPK?  Pasal 6 UU No 3/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara limitatif telah mengatur tugas KPK, yakni (a) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (b) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (c) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (d) melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan (e) melakukan pemonitoran terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Berdasarkan Pasal 11  UU No 30/2002, KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindakan pidana korupsi, yaitu (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Terlepas dari kategorinya,  menurut Pasal 11, KPK hanya berwenang menyelidik, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi.

UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTKP) mengatur tindakan merintangi atau menggagalkan penyidikan dan  penuntutan yang  sebetulnya masuk kategori obstruction of due process of law—secara latah sering disebut  sebagai obstruction of justice—diatur dalam Bab III Pasal 21 UU PTKP. Dengan demikian, UU PTKP sendiri secara tegas mengatur dan menyatakan Pasal 21 bukan delik korupsi.

Oleh karena Pasal 21 bukan merupakan delik korupsi, menurut Pasal 6 jo Pasal 11 UU KPK No 30/2002, tindakan obstruction of due process of law  yang diatur  Pasal 21 UU PTKP tidak masuk dalam tugas KPK. Bahwa faktanya  KPK pernah menyidik dan menuntut delik berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU PTKP merupakan suatu yang niscaya.

Meski demikian,  sebagai lembaga penegak hukum yang mengemban amanat dan kepercayaan masyarakat, KPK seyogianya menimbang  dan menguji kembali   tindakan itu terhadap asas  kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas yang menjadi landasan kiprah dan kinerja KPK.

Oleh karena itu, KPK tidak boleh semena-mena melakukan penindakan terhadap tersangka tanpa  berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Walaupun mekanisme  due process of law mengatur bahwa  setiap orang yang merasa diperlakukan semena-mena atau  tidak adil oleh KPK dapat memperjuangkan hak hukum dan hak konstitusionalnya ke lembaga peradilan.

Apakah pengadilan  mampu  menyelesaikan setiap sengketa hukum secara obyektif, cermat,  dan adil?  Inilah masalah laten yang terus menghantui penegakan hukum di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar