Antara
Hukum Besi Oligarki dan Matinya Ideologi
Firman Noor ; Kepala Pusat Peneliti
Politik-LIPI
|
KORAN
SINDO, 16 Januari 2018
Ingar-bingar peresmian
nama-nama calon kepala daerah oleh partai-partai politik (parpol) telah
berlangsung dengan cukup semarak dan penuh kejutan. Beberapa figur atau kader
partai bermunculan dan bermanuver untuk mendapatkan tiket maju di Pilkada
2018. Sebagian dari mereka akhirnya berhasil mendapatkan mandat. Sementara
sebagian lainnya gagal atau mengundurkan diri. Fenomena keriuhan penuh drama
ini merupakan sesuatu yang cukup baru di era Reformasi dan merupakan
konsekuensi dari diterapkannya kebijakan pilkada serentak yang telah dimulai
sejak 2015 lalu. Namun di balik keriuhan itu, terdapat persoalan mendasar
yang sedikit banyak menunjukkan kondisi dan perilaku parpol-parpol saat ini
serta potensinya bagi pembangunan demokrasi dan kedaulatan rakyat itu sendiri.
Secara umum dapat
dikatakan bahwa hingga kini masih berlangsung fenomena oligarkis yang berpadu
padan dengan kuatnya nuansa pragmatisme dalam prosesi pilkada, yang tentu
saja bukan kondisi yang kompatibel bagi pembangunan demokrasi yang
sesungguhnya.
Crème
de la Crème
Secara normatif, dalam
menentukan siapakah kandidat yang akan diusung oleh sebuah partai,
kader-kader memang dilibatkan. Namun, pelibatannya sejatinya terbatas, yakni
dalam proses penjaringan aspirasi. Setelahnya tidak lagi berperan dan kerap
hasil dari jaring aspirasi itu pun bukan elemen yang lagi menentukan.
Eliteelite partailah, atau persisnya elitenya elite (Crème de la Crème) yang
sebenarnya menjadi penentu. Tanpa harus menelaah terlalu canggih atau
mendalam, tampak cukup terlihat di permukaan bahwa penentuan seorang kandidat
adalah hasil pandangan segelintir orang saja.
Perbincangan seorang ketua
umum dan sekretaris jenderal (sekjen) partai dapat menjadi sebuah kebijakan
yang harus dilakukan. Atau keputusan oleh apa yang disebut “badan
pertimbangan” atau semacamnya dengan melibatkan orang-orang yang jumlahnya
dapat dihitung dengan jari menjadi kata putus bagi partai. Partai kerap
membenarkan dirinya pada aturan main yang memberikan kuasa pada pimpinan.
Namun, justru di situlah letak salah satu sumber dari penguatan dominasi
Crème de la Crème karena aspirasi akar rumput amat mungkin tereliminasi.
Situasi elitis ini semakin
nyata terjadi dalam proses bargaining position dalam menentukan siapa
kandidat jadi dan mana saja partai koalisi pengusungnya. Pengakuan beberapa
elite partai dan juga hasil amatan empiris penulis, penentuan siapa yang
akhirnya didukung kerap terjadi dalam hitungan hari atau bahkan jam saja.
Penentuan akan dua hal tersebut sudah murni urusan elite dengan kalkulasi
oligarkis, yang bersifat top-down dan sentralistis. Tidak jarang kader
menjadi bertanya-tanya, namun tidak punya banyak pilihan atau hak menanyakan
hal itu.
Kondisi ini membenarkan
pandangan Rober Michels sejak puluhan tahun lalu dalam bukunya Zur Soziologie
des Parteiwesens in der Modernen Demokratie, Untersuchungen ber die
oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens. Sedemokratis apa pun dia
mengklaim, tidak dapat menghindar dari sebuah fenomena yang disebutnya
sebagai sebuah “Hukum Besi Oligarki” (The Iron Law of Oligarchy), di mana
pada akhirnya Crème de la Crème pengatur segalanya. Kajian kekinian tentang
partai politik atau kehidupan politik di Tanah Air, sebut saja misalnya,
personalized party, presidentialized party, post democracy party , atau
cartel party , tampak sejalan dengan pandangan Michels mengenai fenomena
oligarki itu. Meski teori-teori tentang perilaku partai itu semakin beragam,
baik hasil penelitian langsung atau aplikasinya mengindikasikan masih kuatnya
kecenderungan oligarki di Indonesia.
Kalkulasi
Pragmatisme
Sayangnya, dalam
menentukan keputusannya para elite itu tidak selamanya menyandarkan diri pada
kalkulasi ideologis. Bisa jadi karena ideologi telah punah atau pemahaman
ideologis telah “disesuaikan dengan kebutuhan praktis”. Lepas dari itu, dalam
rentang 20 tahun reformasi tidak banyak partai di Indonesia saat ini yang
benar-benar menjadikan ideologi sebagai rujukannya.
Studi Pusat Kajian Politik
FISP UI satu dekade lalu telah menyimpulkan bahwa ada keterasingan cukup
serius kader dengan ideologi partainya. Ini bahkan terjadi sejak di periode
awal reformasi, di mana banyak orang percaya masamasa itu masih merupakan era
ideologis bagi partai-partai. Dalam konteks pilkada, sudah banyak catatan
yang menyinggung bahwa parameter utama yang paling sering digunakan oleh
partai dalam menentukan kandidat adalah pragmatisme, terutama sekali faktor
popularitas.
Beragam apologetik
kemudian disampaikan oleh partaipartai, yang paling umum adalah partai merasa
belum cukup populer, begitu pula dengan para kadernya. Alasan klasik ini
justru memperlihatkan bahwa partai-partai tidak juga mampu menjelmakan
dirinya sebagai institusi pencetak kader-kader pemimpin masyarakat atau
bangsa, meski pada level lokal sekalipun. Sayangnya selama dua puluh tahun
(sebagian lainnya sekitar satu dekade) keberadaan mereka lagu lama ini tetap
terdengar. Dampaknya adalah kalkulasi politik menjadi berorientasi jangka
pendek, dan instan saja.
Drama pragmatisme untuk
ini bahkan menyebabkan kontestasi pilkada, terutama pada saat pencalonan
kandidat tidak memiliki pola yang jelas, di mana pertarungan di antara sesama
kubu pendukung pemerintah maupun di antara kelompok oposisi terlihat.
Partai-partai pendukung pemerintah saling berhadapan di ketiga wilayah
lumbung suara (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), begitu pula dengan
kelompok oposisi yang mengalaminya di wilayah Jawa Timur. Dapat dikatakan
bahwa pilkada merupakan ajang pembuktian bahwa pembelahan ideologis
Nasionalisme Islam dan Nasionalisme Sekuler menemui titik nadir mengingat
pengubuan yang ada tidak didasarkan lagi padanya (the end of ideology).
Situasi semacam ini jelas
sulit ditemui di negara-negara yang masih mengedepankan manifesto
ideologisnya, di mana keberpihakan politik dan pembentukan koalisinya lebih
ditentukan oleh irisan-irisan ideologi. Itulah mengapa misalnya, Theresa May
(Partai Konservatif) memilih bekerja sama dengan Democratic Unionist Party,
sebuah partai kecil di wilayah Irlandia Utara yang berideologi sama,
ketimbang bekerja sama dengan Partai Buruh atau Partai Demokrat Liberal.
May pun sadar bahwa
tawaran berkoalisi itu akan ditolak mentah-mentah oleh kedua partai yang
berideologi berbeda itu. Apa yang terjadi saat pilkada ini adalah sebuah
catatan lama yang tidak kunjung pudar. Peran segelintir orang dengan kecenderungan
dominasi pragmatisme tetap menggejala. Kedua hal itu tentu saja tidak
kompatibel dengan upaya-upaya membangun demokrasi yang lebih substansial dan
menyebabkan upaya membangun kedaulatan rakyat ke takhta yang paling tinggi di
negara ini menjadi hanya tinggal pemanis bibir semata. Sampai kapankah hal
ini akan terus terjadi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar