Kegembiraan dalam Belajar
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2015
SAYA sering memberikan pertanyaan kepada guru
dan siswa tentang makna pengalaman belajar (learning experience). Rata-rata jawaban mereka ialah kurangnya
kegembiraan dalam belajar. Memang, baik guru maupun siswa mengenal istilah fun learning, tetapi implementasinya
jauh dari memadai. Banyak guru sekadar mencari kesenangan dalam belajar
dengan cara mengajak siswa bermain, menari, dan bernyanyi, tetapi jarang
sekali dari mereka memahami hakikat kegembiraan dalam belajar (joyful learning). Pasalnya, apa yang
mereka rekayasa dalam bentuk permainan tidak nyambung (out of context) dengan bidang studi yang diajarkan.
Kegembiraan anak dalam belajar sebenarnya
merupakan hak fundamental yang harus diberikan sepenuhnya. Kegembiraan bukan
semata-mata memberikan mereka permainan di luar ketika mereka belajar tanpa
tujuan yang jelas, melainkan sebuah cara yang menyatu dengan tujuan pembelajaran
berjangka panjang. Banyak sekolah, misalnya, menghabiskan begitu banyak waktu
untuk bermain, tetapi tak bertujuan serta membuat program kunjungan sekolah
hanya pada waktu libur. Kegembiraan hanya berlangsung sesaat. Bagi para
siswa, tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu
malah memberikan mereka beban karena begitu mereka kembali ke sekolah, hanya
kebosanan yang mereka dapatkan.
Salah satu contoh kebosanan mereka dalam
belajar dapat terlihat, misalnya, ketika jam belajar selesai. Semuanya
bersorak dan ingin cepat pulang, atau ketika mereka mendapatkan hari libur.
Semuanya merupakan penanda bahwa sekolah dan belajar merupakan kegiatan yang
melelahkan, membosankan, bahkan menyebalkan. Jika kenyataan-kenyataan ini
diperoleh anak-anak kita, apa yang akan terjadi dengan perkembangan jiwa
mereka di masa datang.
Beberapa hasil riset tentang perkembangan
mental dan kejiwaan anak-anak yang dialami ketika mereka belajar menunjukkan
secara konsisten dan kuat bahwa kurangnya keceriaan dan kegembiraan dalam
belajar berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam
laporan Center on the Developing Child
(2007) ditunjukkan secara khusus bahwa efek belajar yang menggembirakan dapat
meningkatkan kapasitas arsitektur otak anak, yaitu pada saatnya otak tersebut
akan memberikan pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi
anak yang cerdas. Ini artinya, pengalaman belajar anak, jika terjadi secara
benar, dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar.
Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya
karakter jujur dan kesalehan sosial yang kuat pada diri seorang anak,
pendampingan terhadap proses belajar yang menggembirakan dan menyatu dengan
tema yang diajarkan secara kontekstual penting dilakukan. Penelusuran secara
longitudinal terhadap keberhasilan seorang anak menunjukkan jejak yang kuat
bahwa pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal
yang signifi kan untuk dilakukan secara benar.
Dengan demikian, belajar dengan gembira dan
ceria yang terprogram dan terencana secara baik dan berkesinambungan harus
ditata secara baik dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan
dengan setiap bidang studi yang diajarkan (Schweinhart et al, 2005). Namun demikian, masih banyak kita lihat
kesalahan fundamental terjadi dalam proses meletakkan kegembiraan dalam
belajar.
Beberapa kesalahan itu terlihat dalam proses
belajar yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik
anak sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar yang autentik
berdasarkan konteks sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah
kehidupannya. Selain itu, tak sedikit dijumpai paradigma yang salah dari para
pendidik yang memandang pengalaman belajar (learning experience) sebagai sebuah kondisi yang sepenuhnya di
bawah kendali dan dipegang guru.
Jika secara definitif makna pengalaman belajar
ialah sebuah proses belajar itu selalu sesuai dengan kondisi aktual yang
dialami para siswa, kegembiraan dalam belajar yang terstruktur dan inovatif
merupakan kebutuhan yang harus dimiliki setiap guru. Ralph Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and
Instruction (1926) mendefinisikan pengalaman belajar dengan kalimat
berikut, “The term learning experience
is not the same as the content with which a course deal nor the activities
performed by the teacher. The term learning experience refers to the
interaction between the learner and the external conditions of the
environment to which he can react. Learning takes place through the active
behavior of the student; it is what he does that he learns, not what the
teacher does”. Jelas sekali bahwa pemaknaan pengalaman belajar yang salah
lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak memiliki kreativitas dalam
merancang pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan.
Pentingnya pemahaman yang benar tentang
pengalaman belajar anak jelas akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan
anak di masa depan. Jika anak dididik berda sarkan target perkembangan
kognisinya semata, kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia akan memiliki
cukup alasan. Meskipun dalam naskah akademik Kemendikbud tentang pendidikan
anak usia dini, misalya, menyitir paradigma filsafat pendidikan pragmatisme,
pemerintah dengan tegas meminta agar para pendidik tidak boleh memaksakan
suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta
didik.
Dari sisi ini, evaluasi terhadap tenaga pengajar yang tidak memahami
makna pengalaman belajar dan arti pentingnya bagi masa depan pertumbuhan anak
menjadi wajib untuk dilakukan.
Dengan berkaca pada hasil-hasil riset
tersebut, jelas sekali harus ada niat baik dari para penggagas dan praktisi
pendidikan untuk mengubah gaya mengajar mereka menjadi lebih kreatif. Contextual based learning harus
menjadi acuan dalam proses belajar mengajar yang menggembirakan agar
anak-anak tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat, kecerdasan yang
memikat, serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat rasa persatuan dan
kesatuan sebagai anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar