Jumat, 13 November 2015

Paradoks Sekolah Lima Hari

Paradoks Sekolah Lima Hari

Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center, Semarang
                                           MEDIA INDONESIA, 09 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEKOLAH di Indonesia selama ini berlangsung enam hari, dari Senin sampai Sabtu, kendati ada sekolah-sekolah swasta yang menerapkan lima hari. Pun dengan hari kerja para orangtua, sama dengan hari sekolah. Kita melihat bahwa anak-anak di Indonesia seperti disibukkan dengan belajar secara formal di sekolah atau lembaga pendidikan nonformal. Dengan sekolah enam hari, anak-anak masih dituntut les pada sore dan malam hari. Itu dilakukan karena dirasa anak belum bisa memahami sepenuhnya materi pelajaran di sekolah.

Dari situ muncul fenomena betapa berharganya hari Minggu sebagai libur yang akan disambut anak-anak dengan gembira. Terlebih tanggal merah (hari libur) tidak terjadi pada Minggu, terutama pada akhir pekan. Minggu sering disebut hari keluarga karena pada hari itu anak dan orangtua bisa memiliki waktu bersama sehari penuh yang dimanfaatkan untuk liburan, jalan-jalan, atau menghadiri kondangan.

Karena itu, muncul wacana sekolah lima hari sebagaimana ada juga kerja lima hari. Sebagai wacana, sekolah lima hari akan selalu menarik. Asumsinya ialah meski berlangsung enam hari, pelajar masih melaksanakan pelajaran tambahan, seperti les pelajaran atau bakat-minat yang tidak difasilitasi sekolah siswa bersangkutan.

Ekstrakurikuler yang diselenggarakan dirasa belum cukup membuat anak mempunyai kemampuan yang mumpuni sesuai dengan bakat dan minatnya.
Salah satu pemerintah daerah yang coba menerapkan sekolah lima hari ialah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dia mengeluarkan Surat Edaran bernomor 420/006752/2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan pada Satuan Pendidikan di Jawa Tengah. Pelaksanaan dilakukan pada SMA dan SMK di Jawa Tengah. Meskipun bukan paksaan, kebijakan itu menuai kontroversi, bahkan ada kelompok masyarakat yang menolaknya. Sekolah lima hari yang ditawarkan Ganjar Pranowo belum menemukan formulasi yang baku. Wacana sementara masih menggunakan kurikulum lama, hanya waktu belajar diperpanjang sampai pukul 16.00 WIB. Tidak lupa dengan pemenuhan hak-hak pelaksanaan ibadah dan pengajaran agama seperti sekolah fullday yang banyak diterapkan sekolah-sekolah swasta.

Sekolah sore

Pelaksanaan sekolah lima hari bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, terutama di perdesaan. Faktanya, ada sekolah sore (madrasah diniah) di bawah LP Ma’arif NU, ataupun TPQ (taman pendidikan Alquran) yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat yang tidak bisa kita sampingkan. Itu masih ditambah anak-anak mengaji di masjid atau di musala selepas salat magrib.

Di kompleks perumahan pun banyak TPQ yang biasanya menggunakan teras masjid sebagai tempat belajar. Ini menunjukkan semakin tingginya kesadaran masyarakat tentang pendidikan agama untuk anak-anak. Yang patut cukup disesalkan, kesadaran itu hanya dilakukan untuk anak-anak usia SD. Setelah menginjak usia SMP dan SMA, mereka tidak lagi belajar di TPQ atau madrasah diniah. Padahal, pembelajaran agama untuk anak usia SD di TPQ dan madin hanya bersifat pengenalan dasar agama.

Sekolah sore pada masyarakat perdesaan ialah soal kultur yang berjalan turun-temurun, menjadi identitas dalam melaksanakan moda pendidikan agama. Peran masyarakat seperti itu mesti diapresiasi dan dihormati pemerintah karena membantu penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia. Di perdesaan, akan mudah kita temukan ustaz atau guru agama yang ikhlas mengajar di madrasah tanpa bayaran, semata demi menjaga keberlangsungan pendidikan agama Islam di masyarakat. Gedung pun dibangun dari hasil swadaya masyarakat dengan bantuan desa atau anggaran pemerintah.

Kalau alasan sekolah lima hari bertujuan memajukan pendidikan karakter, yaitu agar anak memiliki waktu lebih banyak dengan keluarga, perlu kita kaji lagi.
Pendidikan karakter bukan hanya bisa dipenuhi keluarga. Banyak aspek yang bisa menjadi medium pendidikan karakter. Salah satunya interaksi dengan orang-orang di lingkungan anak. Sekolah sore memungkinkan anakanak bergaul dengan teman-temannya yang beda sekolah pada pagi hari.

Pendidikan karakter tidak hanya bersumber dari keluarga, tapi juga nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah diniyah dan TPQ. Nilai-nilai agama tidak semata berkaitan dengan ubudiah, tapi juga pelajaran akhlak (etika, budi pekerti) pada orangtua, masyarakat, dan negara. Sekolah lima hari dari pagi sampai sore akan mengambil jam dan kesempatan anak-anak belajar di sekolah agama atau sekolah sore.

Penyamaan hari libur

Sekolah pagi dan sore selama ini seolah berjalan sendiri-sendiri dengan peraturan dan kebijakan masing-masing. Misalnya, soal pemilihan hari libur yang berbeda antara sekolah pagi dan sore. Sekolah pagi menjadikan Minggu sebagai hari libur, mengikuti kalender Masehi dan pemerintah. Sementara itu, madrasah diniah sore biasanya mengambil libur Jumat sore karena merupakan hari umat Islam.

Faktor ini sedikit banyak membuat sebagian anak-anak ada `malas' sekolah sore karena waktu mereka bebas sekolah hanya setengah hari. Dengan waktu sekolah seperti ini, anak hanya punya waktu luang sekolah pada Jumat sore dan Minggu pagi. Itu pun jika sekolah pagi tidak meng gelar ekstrakurikuler pada Jumat sore. Artinya, Jumat sore yang semestinya bisa jadi hari libur, tetap diisi dengan kegiatan di sekolah pagi. Betapa sibuknya anak-anak dengan kegiatan sekolah.

Kalau memang alasan anak dekat dengan keluarga penting, perlu adanya kesesuaian waktu antara sekolah pagi dan sekolah sore. Terutama kesamaan hari masuk dan libur. Dalam hal ini, sekolah diniah sore yang mengambil hari libur Jumat sore bisa menggantinya dengan menetapkan Minggu sebagai hari libur. Sebagaimana banyak MI, MTs, dan MA di bawah Kementerian Agama yang menjadikan Minggu sebagai hari libur. Hal ini bertujuan mengantisipasi kalau sekolah pagi akan menyelenggarakan kegiatan pada Minggu, misalnya karya wisata.

Kita patut khawatir, ketika anak sekolah lima hari, Sabtu dan Minggu justru digunakan untuk liburan ke luar kota. Pasalnya, sekolah lima hari, dari pagi sampai sore, telah menyita banyak waktu anak-anak sehingga liburan akhir pekan akan mendapatkan pembenarannya. Orangtua dan anak yang bekerja dan sekolah lima hari sama-sama akan menyambut akhir pekan dengan gembira. Anak-anak akan berpotensi membolos sekolah sore selama dua hari karena liburan keluarga ini.

Dengan sekolah lima hari, anak-anak mungkin akan menjadi lebih dekat dengan keluarga. Namun, itu mesti dibayar mahal dengan ketidakdekatan anak-anak dengan lingkungan. Pendidikan karakter semestinya bergerak pada ranah keluarga, lingkungan, masyarakat, serta agama. Integrasi ketiganya akan mencetak generasi muda yang nasionalis-religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar