Jumat, 13 November 2015

Kegembiraan dalam Belajar

Kegembiraan dalam Belajar

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 09 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAYA sering memberikan pertanyaan kepada guru dan siswa tentang makna pengalaman belajar (learning experience). Rata-rata jawaban mereka ialah kurangnya kegembiraan dalam belajar. Memang, baik guru maupun siswa mengenal istilah fun learning, tetapi implementasinya jauh dari memadai. Banyak guru sekadar mencari kesenangan dalam belajar dengan cara mengajak siswa bermain, menari, dan bernyanyi, tetapi jarang sekali dari mereka memahami hakikat kegembiraan dalam belajar (joyful learning). Pasalnya, apa yang mereka rekayasa dalam bentuk permainan tidak nyambung (out of context) dengan bidang studi yang diajarkan.

Kegembiraan anak dalam belajar sebenarnya merupakan hak fundamental yang harus diberikan sepenuhnya. Kegembiraan bukan semata-mata memberikan mereka permainan di luar ketika mereka belajar tanpa tujuan yang jelas, melainkan sebuah cara yang menyatu dengan tujuan pembelajaran berjangka panjang. Banyak sekolah, misalnya, menghabiskan begitu banyak waktu untuk bermain, tetapi tak bertujuan serta membuat program kunjungan sekolah hanya pada waktu libur. Kegembiraan hanya berlangsung sesaat. Bagi para siswa, tentu saja permainan dan kunjungan wisata yang hanya sesekali itu malah memberikan mereka beban karena begitu mereka kembali ke sekolah, hanya kebosanan yang mereka dapatkan.

Salah satu contoh kebosanan mereka dalam belajar dapat terlihat, misalnya, ketika jam belajar selesai. Semuanya bersorak dan ingin cepat pulang, atau ketika mereka mendapatkan hari libur. Semuanya merupakan penanda bahwa sekolah dan belajar merupakan kegiatan yang melelahkan, membosankan, bahkan menyebalkan. Jika kenyataan-kenyataan ini diperoleh anak-anak kita, apa yang akan terjadi dengan perkembangan jiwa mereka di masa datang.

Beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan anak-anak yang dialami ketika mereka belajar menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa kurangnya keceriaan dan kegembiraan dalam belajar berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing Child (2007) ditunjukkan secara khusus bahwa efek belajar yang menggembirakan dapat meningkatkan kapasitas arsitektur otak anak, yaitu pada saatnya otak tersebut akan memberikan pengaruh yang baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang cerdas. Ini artinya, pengalaman belajar anak, jika terjadi secara benar, dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar.

Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan kesalehan sosial yang kuat pada diri seorang anak, pendampingan terhadap proses belajar yang menggembirakan dan menyatu dengan tema yang diajarkan secara kontekstual penting dilakukan. Penelusuran secara longitudinal terhadap keberhasilan seorang anak menunjukkan jejak yang kuat bahwa pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal yang signifi kan untuk dilakukan secara benar.

Dengan demikian, belajar dengan gembira dan ceria yang terprogram dan terencana secara baik dan berkesinambungan harus ditata secara baik dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dengan setiap bidang studi yang diajarkan (Schweinhart et al, 2005). Namun demikian, masih banyak kita lihat kesalahan fundamental terjadi dalam proses meletakkan kegembiraan dalam belajar.

Beberapa kesalahan itu terlihat dalam proses belajar yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya. Selain itu, tak sedikit dijumpai paradigma yang salah dari para pendidik yang memandang pengalaman belajar (learning experience) sebagai sebuah kondisi yang sepenuhnya di bawah kendali dan dipegang guru.

Jika secara definitif makna pengalaman belajar ialah sebuah proses belajar itu selalu sesuai dengan kondisi aktual yang dialami para siswa, kegembiraan dalam belajar yang terstruktur dan inovatif merupakan kebutuhan yang harus dimiliki setiap guru. Ralph Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1926) mendefinisikan pengalaman belajar dengan kalimat berikut, “The term learning experience is not the same as the content with which a course deal nor the activities performed by the teacher. The term learning experience refers to the interaction between the learner and the external conditions of the environment to which he can react. Learning takes place through the active behavior of the student; it is what he does that he learns, not what the teacher does”. Jelas sekali bahwa pemaknaan pengalaman belajar yang salah lebih banyak disebabkan faktor guru yang tak memiliki kreativitas dalam merancang pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan.

Pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan. Jika anak dididik berda sarkan target perkembangan kognisinya semata, kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia akan memiliki cukup alasan. Meskipun dalam naskah akademik Kemendikbud tentang pendidikan anak usia dini, misalya, menyitir paradigma filsafat pendidikan pragmatisme, pemerintah dengan tegas meminta agar para pendidik tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. 
Dari sisi ini, evaluasi terhadap tenaga pengajar yang tidak memahami makna pengalaman belajar dan arti pentingnya bagi masa depan pertumbuhan anak menjadi wajib untuk dilakukan.

Dengan berkaca pada hasil-hasil riset tersebut, jelas sekali harus ada niat baik dari para penggagas dan praktisi pendidikan untuk mengubah gaya mengajar mereka menjadi lebih kreatif. Contextual based learning harus menjadi acuan dalam proses belajar mengajar yang menggembirakan agar anak-anak tumbuh dan berkembang dengan karakter yang kuat, kecerdasan yang memikat, serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar