Tantangan
Jadi Negara Maju
Fahruddin Salim ; Dosen Program Magister
Manajemen Universitas Pancasila
|
KORAN
JAKARTA, 21 Desember 2017
Abad ini diyakini menjadi
era kebangkitan ekonomi Asia. Ini dimotori Tiongkok dan India. Asia akan
menjadi pusat perhatian dunia. Jika abad ke-19 menjadi kebangkitan ekonomi
Eropa, abad ke-20 milik Amerika Serikat, kini di abad ke-21 akan menjadi
milik Asia. Faktor utama kebangkitan ekonomi Asia didorong industrialisasi,
arus urbanisasi dan perdagangan dunia yang tumbuh pesat.
Tiongkok dan India paling
banyak memanfaatkan potensi ini dan menjadi lokomotif dalam industrialisasi.
Urbanisasi kerap dipandang negatif karena menimbulkan masalah sosial. Namun
jika dapat dikelola dengan baik justru mendorong laju pertumbuhan ekonomi
kota berkesinambungan. Urbanisasi dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga
dan investasi. Kedua negara tadi, menurut Goldman Sachs, diperkirakan menjadi
terbesar nomor satu dan tiga dunia pada 2050 dan menjadi rival G-7.
Sementara itu, menurut
laporan Standard Chartered dalam The Super Cycle Report (2010), Tiongkok akan
menjadi superpower ekonomi pada 2020, negara ekonomi terbesar dunia.
Sedangkan India menjadi kekuatan ekonomi nomor 3 dunia pada 2030, menggeser
Jepang dan Jerman.
Optimisme tersebut telah
menumbuhkan percaya diri bangsa Asia lainnya, khususnya emerging economy
untuk bangkit. Semua ingin menjadi bagian dari kebangkitan Asia, termasuk
Indonesia. Survei McKinsey Global Institute (2012) menyebutkan, Indonesia
berpotensi menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi terbesar ke-7 dunia
pada 2030. Komite Ekonomi Indonesia (KEN) pada era SBY, juga memperkirakan
Indonesia masuk lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030.
Menurut McKinsey Global
Institute (2012), ada beberapa faktor yang mendorong Indonesia menjadi negara
industri maju. Di antaranya, tingkat pertumbuhan ekonomi dinilai paling
stabil. Sekitar 90 persen pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari wilayah
di luar Jawa. Jadi, pertumbuhan ekonomi ini bukan hanya di Jawa atau Jakarta.
Sekitar 11 persen ekspor
komoditas berasal dari nonmigas. Pemakaian sumber daya sudah berkurang hingga
7 persen. Ada 60 persen pertumbuhan ekonomi ditopang peningkatan
produktivitas. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari pertumbuhan
angkatan kerja, tetapi juga produktivitas.
Jika proyeksi McKinsey
Global Institute (2012) menjadi kenyataan, Indonesia hanya memerlukan waktu
85 tahun untuk bisa menjadi negara maju. Inggris memerlukan waktu 250 tahun.
Sementara itu, Tiongkok hanya perlu 12 tahun untuk melipatgandakan PDB-nya
menjadi negara industri maju.
Landasan
Indonesia selama ini
berada di kelompok negara kelas menengah. Untuk bisa beralih ke maju, tidak
hanya didorong optimism. Indonesia perlu landasan kokoh. Selama ini, kemajuan
masih bertumpu pada sesuatu yang menjadi kekhususan (endowment factor). Ini
tidak dimiliki negara lain. Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang
merupakan input produksi dalam penciptaan nilai tambah. Letak geografisnya
juga di jantung perdagangan Asia Pasifik, sehingga memiliki peluang
memanfaatkan rantai produksi global.
Namun dalam jangka
panjang, SDA akan menyusut karena tidak dapat diperbarui. Indonesia harus
memiliki daya saing berkelanjutan untuk menopang kemajuan ekonominya. Untuk
bisa beralih menjadi negara maju, Indonesia harus membangun infrastruktur dan
meningkatkan kualitas SDM sehingga mampu meningkatkan daya saing.
Selain bertumpu pada
faktor SDA, pertumbuhan juga ditopang konsumsi domestik yang besar. Di negara
maju, kontribusi ekspor dan investasi sangat penting seperti Malaysia,
Singapura, Tiongkok, atau Jepang. Meski perekonomian bangsa akan terus tumbuh
ditopang konsumsi domestik, produktivitas juga harus meningkat. Produktivitas
bisa melalui peningkatan kualitas SDM. Sedang industrialisasi bersinergi
dengan SDA dan tenaga kerja. Sayangnya, industrialisasi cenderung berjalan di
tempat. Misalnya, industri manufaktur (pengolahan) yang dianggap menjadi
sektor unggulan untuk mendorong daya saing nasional masih belum optimal,
bahkan cenderung growth recession dan kontribusinya tidak naik.
Pertumbuhan konsumsi
domestik juga harus mempertimbangkan aspek kesenjangan dan pemerataan. Selama
ini, ada indikasi pertumbuhan kelas menengah cukup pesat, namun pada sisi
lain masih ada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Menurut McKinsey
Global Institute, tahun 2030 pertumbuhan kelas konsumen Indonesia
diperkirakan mencapai 135 juta dari 45 juta penduduk yang saat ini
berpendapatan 3.600 dollar AS per kapita per tahun.
Kesuksesan menjadi negara
industri maju sangat tergantung pada kemampuan bangsa mengeliminasi berbagai
hambatan dan sekaligus meningkatkan daya saing. Negara harus menciptakan
pusat-pusat pertumbuhan baru dengan human capital, teknologi, dan peningkatan
jumlah pengusaha (wirausahawan). Pemerintah juga harus meningkatkan peran
sektor fiskal, keuangan, dan iklim bisnis yang mampu mendorong pertumbuhan
dunia usaha. Tantangan dunia usaha akan makin berat jika dukungan sektor
keuangan dan perbankan tidak efisien.
Sementara itu, dunia usaha
hingga kini masih dicengkeram berbagai masalah strategis yang menghambat daya
saing. Aturan bisnis masih seringkali berubah. Bahkan banyak regulasi daerah
dan nasional justru menghambat kemajuan dunia usaha. Ketertiban hukum dan
keamanan bisnis juga belum terjamin. Pungli masih terjadi di mana-mana.
Kestabilan ekonomi juga
rentan dipengaruhi ekonomi global seperti tampak dari kondisi perekonomian
terdampak pengaruh global. Rendahnya kemampuan membangun infrastruktur ikut
melemahkan daya saing bisnis. Dampaknya investasi asing banyak didominasi
dalam sektor SDA. Sementara itu, investasi asing sektor manufaktur hanya
membidik pasar domestik, bukan berorientasi ekspor.
Rendahnya dukungan perbankan
terhadap kemajuan sektor usaha kecil dan menengah menyebabkan struktur
industri lemah dalam mendukung daya saing. Sedang dunia industri dihadapkan
pada rendahnya tenaga kerja terlatih. Ini sudah sering dikeluhkan dunia
industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar