Salah
Paham Putusan MK
Pan Mohamad Faiz ; Peneliti Mahkamah Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2017
Di ujung 2017 Mahkamah
Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting atas pengujian
konstitusionalitas delik kesusilaan yang terkandung di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 284 (perzinaan), Pasal 285
(perkosaan), dan Pasal 292 (perbuatan cabul).
Para pemohon dalam perkara
ini pada intinya menginginkan agar MK melakukan perluasan cakupan dan ruang
lingkup serta mengubah jenisjenis perbuatan yang dapat dipidana dalam ketiga
pasal tersebut. Pertama, para pemohon meminta agar perzinaan yang dapat
dipidana mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki dan
perempuan, baik yang terikat maupun tidak terikat dalam suatu perkawinan yang
sah. Kedua, para pemohon meminta agar pemerkosaan yang dapat dipidana
mencakup kekerasan ataupun ancaman kekerasan untuk bersetubuh tidak hanya
kepada perempuan, namun juga terhadap laki-laki.
Ketiga, para pemohon
meminta agar perbuatan cabul yang dapat dipidana mencakup setiap perbuatan
cabul yang dilakukan oleh orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya
terhadap anak di bawah umur, namun juga orang dewasa. Setelah melewati proses
pemeriksaan persidangan dan pembuktian yang cukup panjang, MK mengeluarkan
putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016 pada 14 Desember dengan amar menolak permohonan
para pemohon tersebut. Alasannya, apabila menyangkut perluasan norma hukum
pidana, MK tidak dapat memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum
pidana (criminal policy ).
Alasannya, hal demikian
merupakan kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, MK
sebagai lembaga yudikatif tidak ingin mengambil alih kewenangan DPR dan
pemerintah sebagai pembentuk undang-undang berkenaan dengan politik hukum
pidana berupa perluasaan perbuatan yang dapat dipidana atau kriminalisasi.
Kesalahpahaman
Entah dari mana sumber dan
asalnya, setelah keluarnya putusan MK, tiba-tiba merebak pemberitaan di
berbagai media cetak dan elektronik dengan headline yang cukup provokatif.
Misalnya, “MK Legalkan Zina dan LGBT”, “MK: Kumpul Kebo dan LGBT Tak Bisa
Dipidana”, dan “MK Tolak Gugatan Legalitas LGBT”. Padahal, jika kita membaca
secara cermat pertimbangan dan amar putusan MK, tak ada satu pun kata LGBT
atau “kumpul kebo” disebutkan di dalamnya. Apalagi perintah untuk melegalkan
atau mengizinkannya.
Kesalahpahaman terhadap
putusan MK ini menjadi semakin serius, tatkala banyak masyarakat terpelajar
dan kalangan nonhukum yang turut memberikan komentar, tanpa sedikit pun
memahami atau setidak-tidaknya membaca isi dari putusan tersebut. Bagai efek
bola salju, kesalahpahaman ini kemudian menjadi viral melalui aplikasi media
sosial dan jaringan komunikasi. Akibatnya, berita dan komentar yang sempat
terlanjur “dipercaya” oleh publik justru mengaburkan substansi dan arah dari
putusannya itu sendiri. Secara jelas tertuang dalam putusan tersebut (halaman
452), MK sebenarnya tidak menolak gagasan pembaruan yang disampaikan oleh
para pemohon.
MK juga tidak berpendapat
bahwa norma hukum pidana yang diujimaterikan tersebut sudah lengkap. Namun,
untuk melengkapi norma kesusilaan tersebut, sepenuhnya menjadi kewenangan
pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah melalui kebijakan pidana
(criminal policy ). Oleh karena keprihatinan para pemohon dan para hakim
konstitusi pada dasarnya sama, MK secara tersirat juga menyarankan agar
gagasan pembaruan yang diajukan oleh para pemohon tersebut diajukan kepada
pembentuk undangundang. Gagasan ini seharusnya pun akan menjadi masukan yang
sangat penting dalam proses perumusan revisi normanorma kesusilaan di dalam
KUHP yang baru (halaman 453).
Perbedaan
Paradigma
Putusan yang dihasilkan
dari proses persidangan terbanyak dalam sejarah berdirinya MK ini, yakni
sejumlah 21 (dua puluh satu) kali persidangan, tidak bulat seutuhnya. Empat
orang hakim konstitusi menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinions )
dengan mayoritas lima orang hakim konstitusi lainnya.
Perbedaannya pokoknya
terletak pada isu konstitusional, apakah MK berwenang untuk memberikan
perluasan dan perumusan baru terhadap tindak pidana? Dengan menggunakan
paradigma “aktivisme yudisial” (judicial activism ), empat orang hakim
mengatakan MK dapat melakukan perluasan dan perumusan tindak pidana, manakala
norma tersebut mereduksi atau bertentangan dengan nilai agama. Sementara
mayoritas hakim lainnya menggunakan paradigma “pembatasan yudisial” (judicial
restraint ).
Artinya, mereka
berpandangan MK sebagai lembaga yudikatif harus membatasi dan mengendalikan
diri untuk tidak bertindak sebagai parlemen kecil (miniparliament ) yang
mengambil kewenangan legislatif (DPR dan pemerintah) dalam membuat kebijakan
pidana. Pertimbangan yang sama ini juga pernah dituangkan dalam perkara
sejenis beberapa bulan sebelumnya (vide putusan Nomor 132/PUU-XIII/2015, 5
April 2017). Dalam putusan tersebut, MK secara bulat menolak permohonan untuk
memperluas delik pencabulan. Perbedaan kedua pandangan di atas lebih terletak
pada perbedaan kacamata paradigma atau pendekatan yang digunakan oleh para
hakim dalam memutus perkara tersebut.
Hal yang perlu dicatat,
putusan MK ini sama sekali tidak memutuskan persoalan tentang konstitusionalitas
dan legalitas LGBT atau “Kumpul Kebo”. Sehingga, sangat disayangkan ketika
tanpa pemahaman terhadap putusan yang memadai, masyarakat awam maupun
terpelajar ramai-ramai menuding MK dan para hakimnya dengan penuh syak
wasangka. Apalagi, putusan MK yang disalahpahaminya tersebut, langsung
dikait-kaitkan dengan penyebab bencana gempa bumi yang terjadi di Tasikmalaya
belum lama ini.? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar