Senin, 08 Januari 2018

Politikus, Dengarkanlah Natsir!

Politikus, Dengarkanlah Natsir!
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 06 Januari 2018



                                                           
Apa yang bisa diharapkan dari tahun politik 2018? Mari men-stabilo apa yang terjadi di tahun 2017 atau tahun-tahun sebelumnya sebagai siklus waktu dan peristiwa. Karena angka-angka tahun itu sebenarnya adalah sebuah rentetan yang tak putus. Hal penting yang perlu disadari adalah bahwa politik terlalu keras dengan drama perebutan kekuasaan. Koalisi, manuver, dan intrik terlalu telanjang dilihat oleh mata publik. Bukan cuma zamannya yang begitu terbuka, tetapi manusianya juga semakin berani dan tidak malu-malu. Kalau bicara tak memperhitungkan nada, intonasi, atau efeknya. Jika bertindak, sensitivitasnya juga imun.

Menu politik di negeri ini terlalu dominan rivalitas perebutan kekuasaan. Kekuasaan menjadi tujuan akhir, yang ironisnya syahwat politik tak pernah terpuaskan. Demi kekuasaan, segala cara dihalalkan. Isu primordial atau SARA berpotensi muncul saat pilkada ketika ambisi untuk merebut kekuasaan begitu besar, meniadakan cara-cara sportif. Walaupun sudah diingatkan agar semua kandidat di pilkada tidak menggunakan isu SARA, siapa yang bisa menjamin isu itu benar-benar terkubur dalam-dalam. Apalagi jika dipahami bahwa isu SARA adalah senjata pamungkas yang bisa mengalahkan prinsip-prinsip demokrasi. Siapa yang tahan godaan, dialah yang merebut panggung politik sejati.

Jika demikian, masa suram demokrasi akan berkepanjangan. Kalau demokrasi diartikan naiknya tingkat partisipasi dan keterlibatan publik terhadap politik, itu sebetulnya baru berada di beranda depan demokrasi. Demokrasi bukan sebatas orang berani bicara. Demokrasi justru mendidik agar orang bertanggung jawab dengan apa yang diucapkannya. Mengumbar kebencian bukan watak demokratis. Demokrasi tidak pula ditandai dengan makin banyak orang aktif di partai politik. Demokrasi itu justru makin masif kader partai politik bekerja lebih giat untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk partai. Masyarakat bukanlah bunga wangi yang cuma diincar di musim pilkada atau pemilu.

”Apabila para pemimpin rakyat suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyat, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan, bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam negara kita ialah demokrasi tenggelam…,” kata tokoh bangsa Sjafrudin Prawiranegara (1911-1989). Kekeliruan dalam berpolitik sekarang adalah makin menipisnya nilai-nilai pengabdian kepada masyarakat karena terlalu besar mengabdi pada kekuasaan. Berpolitik berhenti ketika kekuasaan sudah berada di genggaman tangan. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat perjuangan. Inilah episode demokrasi yang masih centang perenang.

Tokoh bangsa Mohammad Natsir (1908-1993) pernah menggambarkan situasi politik dan kebangsaan yang sangat menyulitkan. Pertama, melunturnya idealisme sehingga yang merajalela adalah nafsu-amarah, yakni nafsu-nafsu materi yang rendah dan kasar dalam bermacam-macam bentuknya. Kedua, kaburnya batas antara patut dan tak patut, halal dan haram. Pelanggaran batas-batas itu dilakukan dengan cara yang sangat sinis. Ketiga, kaburnya nilai-nilai keadilan yang zakelijk dan obyektif sehingga hitam menjadi putih, putih dihitamkan.

Seperti gambaran zaman kemelut dalam kitab Nitisastra bahwa ”pada saat Kali (siklus waktu) berakhir di suatu abad, hanya harta benda sajalah yang akan dihargai, orang-orang bijaksana, pemberani, yang khusyuk, dan yang berpengetahuan, semuanya lebih rendah daripada harta benda…. Pengaruh zaman Kali membuat orang menjadi beringas dan memperebutkan kedudukan tinggi”. Beringas memburu kuasa, sikut sana sikut sini, tuding sana tuding sini.

Maka, memasuki tahun politik 2018, simaklah Natsir. ”Seluruh pendukung demokrasi yang memikul tanggung jawab, baik yang berada dalam lapangan perlengkapan negara dari atas sampai ke bawah, ataupun yang berada dalam aparatur, baik sipil maupun militer, ataupun pemikul tanggung jawab di partai-partai yang mana pun juga, baiklah sama-sama kita mencari bahwa pokok persoalan tidak akan terjawab dengan menunjuk-nunjuk. Pihak lain seolah-olah yang mempunyai telunjuk itu terlepas sama sekali dari kesalahan dan kekeliruan… baiklah masing-masing kita, kalau perlu dalam kamar, memeriksa apakah sesungguhnya tindakan yang telah kita lakukan atas nama demokrasi, apakah benar-benar diri kita masing-masing sudah bersih dan murni. Apakah memang telunjuk runcing kita yang kita amat gemar menunjukkannya ke kiri ke kanan sekelilingnya kita itu betul-betul tidak pernah perlu sekali-sekali dibelokkan arahnya kepada diri pribadi atau golongan kita sendiri.” Politikus, dengarkanlah Natsir! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar