Politikus,
Dengarkanlah Natsir!
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
06 Januari
2018
Apa yang bisa diharapkan
dari tahun politik 2018? Mari men-stabilo apa yang terjadi di tahun 2017 atau
tahun-tahun sebelumnya sebagai siklus waktu dan peristiwa. Karena angka-angka
tahun itu sebenarnya adalah sebuah rentetan yang tak putus. Hal penting yang
perlu disadari adalah bahwa politik terlalu keras dengan drama perebutan
kekuasaan. Koalisi, manuver, dan intrik terlalu telanjang dilihat oleh mata
publik. Bukan cuma zamannya yang begitu terbuka, tetapi manusianya juga
semakin berani dan tidak malu-malu. Kalau bicara tak memperhitungkan nada,
intonasi, atau efeknya. Jika bertindak, sensitivitasnya juga imun.
Menu politik di negeri ini
terlalu dominan rivalitas perebutan kekuasaan. Kekuasaan menjadi tujuan
akhir, yang ironisnya syahwat politik tak pernah terpuaskan. Demi kekuasaan,
segala cara dihalalkan. Isu primordial atau SARA berpotensi muncul saat
pilkada ketika ambisi untuk merebut kekuasaan begitu besar, meniadakan
cara-cara sportif. Walaupun sudah diingatkan agar semua kandidat di pilkada
tidak menggunakan isu SARA, siapa yang bisa menjamin isu itu benar-benar
terkubur dalam-dalam. Apalagi jika dipahami bahwa isu SARA adalah senjata
pamungkas yang bisa mengalahkan prinsip-prinsip demokrasi. Siapa yang tahan
godaan, dialah yang merebut panggung politik sejati.
Jika demikian, masa suram
demokrasi akan berkepanjangan. Kalau demokrasi diartikan naiknya tingkat
partisipasi dan keterlibatan publik terhadap politik, itu sebetulnya baru
berada di beranda depan demokrasi. Demokrasi bukan sebatas orang berani
bicara. Demokrasi justru mendidik agar orang bertanggung jawab dengan apa
yang diucapkannya. Mengumbar kebencian bukan watak demokratis. Demokrasi
tidak pula ditandai dengan makin banyak orang aktif di partai politik.
Demokrasi itu justru makin masif kader partai politik bekerja lebih giat
untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk partai. Masyarakat bukanlah bunga
wangi yang cuma diincar di musim pilkada atau pemilu.
”Apabila
para pemimpin rakyat suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk
kepentingan rakyat, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan, bukan
lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam negara kita ialah demokrasi
tenggelam…,” kata tokoh bangsa Sjafrudin Prawiranegara
(1911-1989). Kekeliruan dalam berpolitik sekarang adalah makin menipisnya
nilai-nilai pengabdian kepada masyarakat karena terlalu besar mengabdi pada
kekuasaan. Berpolitik berhenti ketika kekuasaan sudah berada di genggaman
tangan. Kekuasaan menjadi tujuan, bukan alat perjuangan. Inilah episode
demokrasi yang masih centang perenang.
Tokoh bangsa Mohammad
Natsir (1908-1993) pernah menggambarkan situasi politik dan kebangsaan yang
sangat menyulitkan. Pertama, melunturnya idealisme sehingga yang merajalela
adalah nafsu-amarah, yakni nafsu-nafsu materi yang rendah dan kasar dalam
bermacam-macam bentuknya. Kedua, kaburnya batas antara patut dan tak patut,
halal dan haram. Pelanggaran batas-batas itu dilakukan dengan cara yang
sangat sinis. Ketiga, kaburnya nilai-nilai keadilan yang zakelijk dan
obyektif sehingga hitam menjadi putih, putih dihitamkan.
Seperti gambaran zaman
kemelut dalam kitab Nitisastra bahwa ”pada saat Kali (siklus waktu) berakhir
di suatu abad, hanya harta benda sajalah yang akan dihargai, orang-orang
bijaksana, pemberani, yang khusyuk, dan yang berpengetahuan, semuanya lebih
rendah daripada harta benda…. Pengaruh zaman Kali membuat orang menjadi
beringas dan memperebutkan kedudukan tinggi”. Beringas memburu kuasa, sikut
sana sikut sini, tuding sana tuding sini.
Maka, memasuki tahun
politik 2018, simaklah Natsir. ”Seluruh
pendukung demokrasi yang memikul tanggung jawab, baik yang berada dalam
lapangan perlengkapan negara dari atas sampai ke bawah, ataupun yang berada
dalam aparatur, baik sipil maupun militer, ataupun pemikul tanggung jawab di
partai-partai yang mana pun juga, baiklah sama-sama kita mencari bahwa pokok
persoalan tidak akan terjawab dengan menunjuk-nunjuk. Pihak lain seolah-olah
yang mempunyai telunjuk itu terlepas sama sekali dari kesalahan dan
kekeliruan… baiklah masing-masing kita, kalau perlu dalam kamar, memeriksa
apakah sesungguhnya tindakan yang telah kita lakukan atas nama demokrasi,
apakah benar-benar diri kita masing-masing sudah bersih dan murni. Apakah
memang telunjuk runcing kita yang kita amat gemar menunjukkannya ke kiri ke
kanan sekelilingnya kita itu betul-betul tidak pernah perlu sekali-sekali dibelokkan
arahnya kepada diri pribadi atau golongan kita sendiri.” Politikus,
dengarkanlah Natsir! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar