Bulog
Pascaberas Sejahtera
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2017
TAHUN 2017 dan 2018
merupakan tahun penting sekaligus genting bagi Bulog. Penting karena di dua
tahun inilah kebijakan pemerintah terkait dengan tugas pelayanan publik yang
diemban Bulog mengalami perubahan mendasar. Raskin yang berubah menjadi
rastra atau beras sejahtera secara gradual diganti menjadi bantuan pangan
nontunai (BPNT).
Jangkauan BPNT diperluas
dari 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) menjadi 10 juta KPM pada
Agustus 2018. Itu artinya perubahan itu membuat jumlah penerima rastra
berkurang dari 14,2 juta rumah tangga tinggal 5,4 juta. Sejalan dengan
perubahan itu, kuota penyaluran rastra berkurang drastis, dari 2,5-3 juta ton
pada 2017 hanya tinggal 960 ribu ton pada Agustus 2018. Pengurangan itu
membuat portofolio public service obligation (PSO) yang ditangani Bulog cuma
tinggal sepertiga. Sejalan dengan keinginan pemerintah untuk mengubah semua
bantuan jadi transfer tunai secara daring (online), di tahun-tahun berikutnya
jumlah PSO itu bakal terus menyusut dan hanya menyisakan daerah-daerah 3T:
tertinggal, terisolasi, dan terluar. Saat itu terjadi, rastra hanya tinggal
cerita.
Bagi Bulog, perubahan itu
jadi genting karena tugas-tugas PSO itu menyita hampir seluruh energi BUMN
ini. Sebetulnya, sejak lama Bulog telah merintis usaha komersial. Namun, sampai
saat ini divisi tersebut belum bisa jadi andalan. Perkiraan saya mungkin baru
10%-15% dari seluruh portofolio usaha yang ditekuni. Kebijakan pemerintah
yang ad hoc, dan berubah-ubah, bahkan dalam tempo cepat, membuat manajemen
sulit beradaptasi. Pucuk pimpinan Bulog mungkin pusing mengikuti irama
perubahan itu.
Sebetulnya, sejak Bulog
berubah menjadi perusahaan umum pada 2003 virus wirausaha mulai disuntikkan.
Sebagai perum, Bulog tidak hanya melaksanakan kebijakan pemerintah dalam
fungsi-fungsi sosial yang menyangkut kepentingan publik, tapi sebagai badan
usaha Bulog juga harus menghasilkan keuntungan untuk disetorkan ke pemegang
saham. Sayangnya, tuntutan perubahan kultur organisasi, dari organisasi yang
birokratis menjadi organisasi yang berorientasi entrepreneur, belum
sepenuhnya berhasil. Kebijakan yang inkonsisten dan bersifat proyek membuat
virus wirausaha sulit tumbuh.
Belum tumbuhnya sisi
komersial sedikit banyak juga disumbang desain awal Bulog. Sejak awal
berdiri, lembaga itu tidak dirancang untuk bersaing secara terbuka, terutama
dengan korporasi swasta. Dalam pengadaan gabah/beras misalnya, Bulog tidak
dirancang bersaing membeli langsung gabah dari petani, tetapi dari koperasi
unit desa (KUD) yang sebagian punya penggilingan padi. Ini agar usaha rakyat
tumbuh bersama KUD, dan Bulog. Saat KUD berguguran pada awal 2000-an, Bulog
membeli beras dari penggilingan swasta, umumnya berskala kecil yang
memproduksi beras kualitas rendah.
Apa pun masalahnya, tidak
bisa tidak, Bulog harus mengembangkan sisi komersial apabila ingin tetap
eksis. Dugaan saya, penyertaan modal Rp2 triliun ke Bulog pada 2017 merupakan
upaya diam-diam pemerintah untuk menyuntikkan virus wirausaha itu. Oleh
Bulog, dana segar itu dimanfaatkan untuk membangun gudang modern berkapasitas
45 ribu ton dan penggilingan padi modern dengan kapasitas giling 1 juta ton
gabah kering giling. Dengan infrastruktur ini, secara teoretis Bulog dapat
menyerap gabah kering panen 1,3 juta ton sehingga kejatuhan harga gabah di
level petani sebagian bisa diatasi.
Pertanyaan yang perlu
dijawab ialah bagaimana rancang bangun infrastruktur yang hendak dibuat:
apakah penggilingan padi modern Bulog akan membeli gabah langsung dari petani
atau kelompok tani, kemudian bersaing dengan penggilingan padi yang ada?
Ataukah Bulog bekerja sama dengan penggilingan-penggilingan padi kecil untuk
berbagi tugas? Pilihan kebijakan akan membuahkan dampak yang berbeda.
Cara pertama akan menambah
sengit persaingan dalam memperebutkan gabah. Akibatnya, harga gabah terangkat
naik, apalagi pada musim panen gadu. Penggilingan padi kecil yang jumlahnya
puluhan ribu kalah bersaing dalam perebutan gabah. Pelan tapi pasti,
keberadaan penggilingan padi kecil akan mati.
Cara kedua, Bulog dapat
merancang penggilingan padi kecil sebagai rekan bisnis dan penyuplai beras
pecah kulit. Selanjutnya Bulog yang mengolah menjadi beras berkualitas.
Dengan cara itu, keberadaan Bulog dapat menekan kehilangan hasil dan
perbaikan mutu beras, serta memperkecil kompetisi dalam perebutan gabah. Bulog
tetap dapat membeli gabah dari kelompok tani/koperasi.
Cara kedua itu diyakini
akan menciptakan insentif bagi penggilingan padi kecil untuk berinvestasi
pada pengering mekanis karena pemasaran beras pecah kulit telah terjamin.
Apabila hal yang sama ditempuh penggilingan padi besar modern milik swasta,
itu akan mempercepat upaya menekan kerugian nasional pada industri beras.
Seperti pepatah sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, langkah Bulog
akan mendorong terjadi efisiensi dalam industri penggilingan sekaligus
menekan kejatuhan harga gabah. Industri beras yang kuat akan memperkuat
industri padi. Ini berimbas pada kesejahteraan petani. Ujung dari semua itu
akan menciptakan efisiensi dalam industri perberasan.
Pertanyaan yang tersisa,
bagaimana stabilisasi harga beras ketika Bulog masuk ke usaha komersial?
Pertanyaan itu sangat relevan bukan saja karena perubahan rastra jadi BPNT
membuat instrumen stabilisasi harga gabah/beras jadi sirna, melainkan
juga--sesuai Perpres 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam
Rangka Ketahanan Pangan Nasional sebab Bulog harus menjaga ketersediaan
pangan dan mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen. Instrumen apa
yang bisa dimanfaatkan saat beleid harga eceran tertinggi beras yang berlaku
September 2017 ternyata belum efektif jadi peredam gejolak harga?
Alternatif tersisa ialah
memperbesar cadangan beras pemerintah (CBP), dari 350 ribu ton saat ini
menjadi 1,5–2 juta ton. CBP sebagian diisi beras kualitas premium, sesuai
penggilingan Bulog. CBP premium selain untuk operasi pasar, bisa digunakan
buat beragam program pemerintah, seperti food for work, ekspor, program
antikemiskinan, dan bantuan internasional.
Dengan CBP sebesar itu,
plus sisa kuota rastra, Bulog masih bisa jadi pengendali pasar beras.
Keberadaan Bulog sebagai pengendali jadi penting karena pasar beras rentan
gejolak, baik karena cuaca, perubahan iklim, maupun pasar yang tidak
sempurna. Masalahnya, dibutuhkan anggaran Rp15 triliun-Rp20 triliun. Itu
belum termasuk biaya pemeliharaan dan lainnya. Maukah pemerintah menempuh
cara itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar