Jumat, 10 November 2017

Kisruh Persoalan Gula

Kisruh Persoalan Gula
Sapuan Gafar ;  Mantan Sekretaris Menteri Negara Pangan dan Wakil Kepala Bulog
                                                    KOMPAS, 08 November 2017



                                                           
Dalam rangka mengatasi menumpuknya gula petani, pemerintah telah melakukan regulasi, dengan menerbitkan peraturan tingkat menteri koordinator, menteri, dan direktorat jenderal, tetapi tetap saja dianggap belum bisa memenuhi keinginan petani (Kompas, 28/10). Kisruh gula terjadi karena kita tidak melihat persoalan secara komprehensif.

Terdapat tiga persoalan utama dalam pergulaan Indonesia yang ketiganya saling memengaruhi. Pertama, struktur industri gula yang terbebani oleh pabrik gula (PG) berkapasitas kecil, berumur tua, dan teknologinya ketinggalan zaman. Kedua, faktor pengaturan pergulaan yang sering berubah, tak konsisten, dan terkesan tambal sulam. Ketiga, dampak pelaksanaan harga eceran tertinggi (HET), dibarengi melemahnya daya beli golongan masyarakat bawah.

Struktur industri dan revitalisasi

Menurut M Ikhsan Modjo (Kompas, 2/11), dalam jangka pendek ekonomi kita menerima imbas dari stagnannya pertumbuhan konsumsi dan daya beli masyarakat. Tulisan ini mencoba melihat ketiga faktor tersebut secara menyeluruh, hal ini dimaksudkan sebagai masukan pihak yang berkepentingan untuk memahami persoalan secara jernih.

Pertama, tentang struktur industri gula, apabila ditinjau dari bahan baku PG, PG di Indonesia terdiri dari PG berbahan baku tebu dan PG rafinasi yang berbahan baku gula mentah (raw sugar). PG yang berbahan baku tebu menghasilkan gula kristal putih (GKP) jumlahnya mendekati 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan PG rafinasi berkapasitas sekitar 5 juta ton.

Untuk PG yang berbahan baku tebu, sebagian besar merupakan PG milik pemerintah. PG tersebut umumnya PG tua dengan teknologi yang sudah ketinggalan zaman. Di antara PG milik pemerintah, sekitar 50 persen berkapasitas kecil. PG milik pemerintah yang berkapasitas besar umumnya masih kompetitif, tetapi yang berkapasitas kecil menjadi beban ekonomi pergulaan nasional.

Sebenarnya sudah lama pemerintah berkeinginan merevitalisasi PG miliknya, bahkan sudah disediakan skema pembiayaannya. Pertanyaannya, mengapa tak bisa terlaksana atau tak terlaksana penuh? Sedangkan untuk PG swasta, seperti PG Kebonagung di Malang dan PG Trangkil di Pati bisa terlaksana dengan baik dan berhasil meningkatkan kapasitas tiga kali lipat. PG ini juga sudah menjadi pundi-pundi pemasukan yang besar bagi pemegang sahamnya. Hal serupa juga terjadi pada PG swasta di Lampung yang kini mampu memproduksi gula secara efisien dengan biaya produksi di bawah rata-rata dunia.

Dari pengalaman revitalisasi PG swasta ini, diperlukan biaya besar, dengan jangka waktu pelaksanaan 8-10 tahun. Manajemen PG pemerintah yang setiap waktu dapat diganti membuat revitalisasi tak berjalan mulus. Apabila revitalisasi PG pemerintah terlaksana dan penentuan nasib PG pemerintah yang kapasitasnya kecil juga dilakukan, persoalan pergulaan yang sering timbul kemungkinan tidak terjadi.

Banyak usulan terkait penyelesaian masalah PG berkapasitas kecil, antara lain, usulan penggabungan atau ditutup untuk daerah yang tak potensial untuk penanaman tebu. Namun, pengembangan PG tersebut akan terkendala pada tata kelola PG pemerintah yang tak kondusif untuk program revitalisasi yang memerlukan kredit yang besar dan jangka waktu panjang. Seorang pakar dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pabrik Gula Indonesia pernah menyarankan agar manajemen PT Perkebunan Negara diswastakan.

Sedangkan untuk PG rafinasi berbahan baku raw sugar impor, lokasi umumnya di dekat pelabuhan, dalam rangka efisiensi angkutan. Persoalan kelebihan kapasitas yang dihadapi PG rafinasi-di atas kebutuhan gula industri sekitar 2,7 juta ton-menambah kekisruhan pergulaan nasional. Seharusnya kelebihan kapasitas ini dapat didayagunakan untuk ekspor gula rafinasi, seperti di Malaysia di mana ada kewajiban ekspor bagi PG yang memperoleh izin impor raw sugar. Usulan lain, PG rafinasi yang mendapat fasilitas impor raw sugar wajib membeli gula petani dengan harga dan rasio tertentu.

Masalah pengaturan pergulaan

Faktor kedua, pengaturan pergulaan seperti ketentuan tentang harga patokan pembelian (HPP), tata niaga gula, dan HET, serta perpajakan. Pengaturan pemerintah tersebut sering berubah, tak konsisten, dan terkesan tambal sulam. Ambil contoh, sejak tahun 2000, ketentuan HPP umumnya dikeluarkan karena ada desakan dari petani tebu sehingga terkesan tak jelas arahnya.

Selanjutnya, lembaga mana yang ditugaskan untuk melakukan intervensi? Hal ini juga tak jelas. Perum Bulog pernah diminta terjun menangani, tetapi penugasannya sekadar untuk sementara (ad hoc), padahal bagi suatu perusahaan seperti Bulog, keberlanjutan merupakan hal penting. Karena itu, tugas membeli gula milik petani oleh Bulog saat ini bukan merupakan peluang bisnis yang baik, malahan cenderung menjadi tameng kelemahan industri dan perdagangan gula.

Kemudian, arah kebijakan pergulaan itu sendiri juga bias, apakah pro kepada petani tebu ataukah pro kepada konsumen, khususnya industri pengguna gula, seperti industri makanan dan minuman. Untuk petani tebu, orientasinya adalah harga yang tinggi, apalagi di tengah mahalnya upah tenaga kerja saat ini. Untuk konsumen, terutama industri makanan dan minuman yang butuh gula sebagai bahan baku, yang penting bagi mereka adalah harga murah dan mudah didapat. Dalam budidaya tebu, juga diperlukan skala usaha yang luas agar hasilnya menguntungkan dan hasil tebunya kompetitif.

Karena itu, agar keberpihakan pemerintah lebih terarah dan jelas, sebaiknya dilakukan job audit bagi yang terlibat dalam budidaya tebu dan pengguna gula.

Faktor ketiga, dampak pelaksanaan HET gula yang kebetulan dibarengi melemahnya daya beli masyarakat kecil. Hal ini menjadi salah satu penyebab penumpukan gula petani yang sulit terjual sesuai harapan. Penetapan HET gula Rp 12.500 per kilogram diperkirakan ikut menekan harga di tingkat petani. Apabila margin antara harga di tingkat eceran dan pabrik/petani sebesar 30 persen (karena harus menanggung beban bunga bank, pajak, biaya transportasi, dan lain-lain), maka harga di tingkat petani adalah sekitar Rp 9.750 per kg. Sebagai perbandingan, margin harga gula di petani dan di tingkat eceran di era pemerintahan Presiden Soeharto sekitar 40 persen.

Dampak kebijakan HET dan melemahnya daya beli masyarakat diperkirakan sebentar lagi juga akan terjadi pada perdagangan beras dengan panen yang akan terjadi mulai Februari tahun depan.

Pada awal 1980-an, ketika siklus pelemahan ekonomi terjadi, pemerintahan Soeharto melakukan program pengencangan ikat pinggang. Anggaran pemerintah difokuskan untuk proyek-proyek padat karya, termasuk pengadaan Bulog diintensifkan untuk beras, gula, jagung, kedelai, dan sebagainya, tetapi segala konsekuensinya ditanggung pemerintah. Kini, dengan raskin menurut rencana digantikan dengan kupon, ini akan membatasi kemampuan Bulog menyerap gabah/beras.

Program penggantian raskin dengan kupon memang dapat dikategorikan sebagai program padat karya, tetapi sebenarnya ini bukan program baru karena hanya mengalihkan dari kantong kanan ke kiri. Padahal, sekarang masyarakat kecil perlu ditolong untuk dapat segera mengangkat daya belinya, sementara pemerintah sendiri dituntut untuk menggenjot ekonomi dari sisi permintaan.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian dan klarifikasi adalah tentang status gula yang oleh pemerintah masih dimasukkan ke dalam barang kebutuhan pokok hasil industri. Bahan pokok atau barang kebutuhan pokok adalah barang atau bahan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perlu ada kajian kembali, seberapa jauh gula menyangkut hajat hidup orang banyak. Yang jelas, apabila gula tak termasuk barang kebutuhan pokok lagi, pemerintah tak perlu melakukan intervensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar