Kisruh
Persoalan Gula
Sapuan Gafar ; Mantan Sekretaris Menteri Negara Pangan dan
Wakil Kepala Bulog
|
KOMPAS,
08 November
2017
Dalam rangka mengatasi
menumpuknya gula petani, pemerintah telah melakukan regulasi, dengan
menerbitkan peraturan tingkat menteri koordinator, menteri, dan direktorat
jenderal, tetapi tetap saja dianggap belum bisa memenuhi keinginan petani
(Kompas, 28/10). Kisruh gula terjadi karena kita tidak melihat persoalan
secara komprehensif.
Terdapat tiga persoalan utama
dalam pergulaan Indonesia yang ketiganya saling memengaruhi. Pertama,
struktur industri gula yang terbebani oleh pabrik gula (PG) berkapasitas
kecil, berumur tua, dan teknologinya ketinggalan zaman. Kedua, faktor
pengaturan pergulaan yang sering berubah, tak konsisten, dan terkesan tambal
sulam. Ketiga, dampak pelaksanaan harga eceran tertinggi (HET), dibarengi
melemahnya daya beli golongan masyarakat bawah.
Struktur industri dan revitalisasi
Menurut M Ikhsan Modjo (Kompas,
2/11), dalam jangka pendek ekonomi kita menerima imbas dari stagnannya
pertumbuhan konsumsi dan daya beli masyarakat. Tulisan ini mencoba melihat
ketiga faktor tersebut secara menyeluruh, hal ini dimaksudkan sebagai masukan
pihak yang berkepentingan untuk memahami persoalan secara jernih.
Pertama, tentang struktur
industri gula, apabila ditinjau dari bahan baku PG, PG di Indonesia terdiri
dari PG berbahan baku tebu dan PG rafinasi yang berbahan baku gula mentah
(raw sugar). PG yang berbahan baku tebu menghasilkan gula kristal putih (GKP)
jumlahnya mendekati 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan PG rafinasi
berkapasitas sekitar 5 juta ton.
Untuk PG yang berbahan baku
tebu, sebagian besar merupakan PG milik pemerintah. PG tersebut umumnya PG
tua dengan teknologi yang sudah ketinggalan zaman. Di antara PG milik
pemerintah, sekitar 50 persen berkapasitas kecil. PG milik pemerintah yang
berkapasitas besar umumnya masih kompetitif, tetapi yang berkapasitas kecil
menjadi beban ekonomi pergulaan nasional.
Sebenarnya sudah lama
pemerintah berkeinginan merevitalisasi PG miliknya, bahkan sudah disediakan
skema pembiayaannya. Pertanyaannya, mengapa tak bisa terlaksana atau tak
terlaksana penuh? Sedangkan untuk PG swasta, seperti PG Kebonagung di Malang
dan PG Trangkil di Pati bisa terlaksana dengan baik dan berhasil meningkatkan
kapasitas tiga kali lipat. PG ini juga sudah menjadi pundi-pundi pemasukan
yang besar bagi pemegang sahamnya. Hal serupa juga terjadi pada PG swasta di
Lampung yang kini mampu memproduksi gula secara efisien dengan biaya produksi
di bawah rata-rata dunia.
Dari pengalaman revitalisasi PG
swasta ini, diperlukan biaya besar, dengan jangka waktu pelaksanaan 8-10
tahun. Manajemen PG pemerintah yang setiap waktu dapat diganti membuat
revitalisasi tak berjalan mulus. Apabila revitalisasi PG pemerintah
terlaksana dan penentuan nasib PG pemerintah yang kapasitasnya kecil juga
dilakukan, persoalan pergulaan yang sering timbul kemungkinan tidak terjadi.
Banyak usulan terkait penyelesaian
masalah PG berkapasitas kecil, antara lain, usulan penggabungan atau ditutup
untuk daerah yang tak potensial untuk penanaman tebu. Namun, pengembangan PG
tersebut akan terkendala pada tata kelola PG pemerintah yang tak kondusif
untuk program revitalisasi yang memerlukan kredit yang besar dan jangka waktu
panjang. Seorang pakar dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pabrik Gula
Indonesia pernah menyarankan agar manajemen PT Perkebunan Negara diswastakan.
Sedangkan untuk PG rafinasi
berbahan baku raw sugar impor, lokasi umumnya di dekat pelabuhan, dalam
rangka efisiensi angkutan. Persoalan kelebihan kapasitas yang dihadapi PG
rafinasi-di atas kebutuhan gula industri sekitar 2,7 juta ton-menambah
kekisruhan pergulaan nasional. Seharusnya kelebihan kapasitas ini dapat
didayagunakan untuk ekspor gula rafinasi, seperti di Malaysia di mana ada
kewajiban ekspor bagi PG yang memperoleh izin impor raw sugar. Usulan lain,
PG rafinasi yang mendapat fasilitas impor raw sugar wajib membeli gula petani
dengan harga dan rasio tertentu.
Masalah pengaturan pergulaan
Faktor kedua, pengaturan
pergulaan seperti ketentuan tentang harga patokan pembelian (HPP), tata niaga
gula, dan HET, serta perpajakan. Pengaturan pemerintah tersebut sering
berubah, tak konsisten, dan terkesan tambal sulam. Ambil contoh, sejak tahun
2000, ketentuan HPP umumnya dikeluarkan karena ada desakan dari petani tebu
sehingga terkesan tak jelas arahnya.
Selanjutnya, lembaga mana yang
ditugaskan untuk melakukan intervensi? Hal ini juga tak jelas. Perum Bulog
pernah diminta terjun menangani, tetapi penugasannya sekadar untuk sementara
(ad hoc), padahal bagi suatu perusahaan seperti Bulog, keberlanjutan
merupakan hal penting. Karena itu, tugas membeli gula milik petani oleh Bulog
saat ini bukan merupakan peluang bisnis yang baik, malahan cenderung menjadi
tameng kelemahan industri dan perdagangan gula.
Kemudian, arah kebijakan
pergulaan itu sendiri juga bias, apakah pro kepada petani tebu ataukah pro
kepada konsumen, khususnya industri pengguna gula, seperti industri makanan
dan minuman. Untuk petani tebu, orientasinya adalah harga yang tinggi,
apalagi di tengah mahalnya upah tenaga kerja saat ini. Untuk konsumen,
terutama industri makanan dan minuman yang butuh gula sebagai bahan baku,
yang penting bagi mereka adalah harga murah dan mudah didapat. Dalam budidaya
tebu, juga diperlukan skala usaha yang luas agar hasilnya menguntungkan dan
hasil tebunya kompetitif.
Karena itu, agar keberpihakan
pemerintah lebih terarah dan jelas, sebaiknya dilakukan job audit bagi yang
terlibat dalam budidaya tebu dan pengguna gula.
Faktor ketiga, dampak
pelaksanaan HET gula yang kebetulan dibarengi melemahnya daya beli masyarakat
kecil. Hal ini menjadi salah satu penyebab penumpukan gula petani yang sulit
terjual sesuai harapan. Penetapan HET gula Rp 12.500 per kilogram
diperkirakan ikut menekan harga di tingkat petani. Apabila margin antara
harga di tingkat eceran dan pabrik/petani sebesar 30 persen (karena harus
menanggung beban bunga bank, pajak, biaya transportasi, dan lain-lain), maka
harga di tingkat petani adalah sekitar Rp 9.750 per kg. Sebagai perbandingan,
margin harga gula di petani dan di tingkat eceran di era pemerintahan
Presiden Soeharto sekitar 40 persen.
Dampak kebijakan HET dan
melemahnya daya beli masyarakat diperkirakan sebentar lagi juga akan terjadi
pada perdagangan beras dengan panen yang akan terjadi mulai Februari tahun
depan.
Pada awal 1980-an, ketika
siklus pelemahan ekonomi terjadi, pemerintahan Soeharto melakukan program
pengencangan ikat pinggang. Anggaran pemerintah difokuskan untuk
proyek-proyek padat karya, termasuk pengadaan Bulog diintensifkan untuk
beras, gula, jagung, kedelai, dan sebagainya, tetapi segala konsekuensinya
ditanggung pemerintah. Kini, dengan raskin menurut rencana digantikan dengan
kupon, ini akan membatasi kemampuan Bulog menyerap gabah/beras.
Program penggantian raskin
dengan kupon memang dapat dikategorikan sebagai program padat karya, tetapi
sebenarnya ini bukan program baru karena hanya mengalihkan dari kantong kanan
ke kiri. Padahal, sekarang masyarakat kecil perlu ditolong untuk dapat segera
mengangkat daya belinya, sementara pemerintah sendiri dituntut untuk
menggenjot ekonomi dari sisi permintaan.
Hal lain yang perlu mendapat
perhatian dan klarifikasi adalah tentang status gula yang oleh pemerintah
masih dimasukkan ke dalam barang kebutuhan pokok hasil industri. Bahan pokok
atau barang kebutuhan pokok adalah barang atau bahan yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. Perlu ada kajian kembali, seberapa jauh gula menyangkut
hajat hidup orang banyak. Yang jelas, apabila gula tak termasuk barang
kebutuhan pokok lagi, pemerintah tak perlu melakukan intervensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar