Jumat, 10 November 2017

Demokrasi dan Ruang Kritik

Demokrasi dan Ruang Kritik
Geradi Yudhistira ;  Pengajar Demokrasi di Asia Tenggara
Universitas Islam Indonesia
                                                    KOMPAS, 09 November 2017



                                                           
Penangkapan Dyann Kemala Arrizqi oleh polisi atas laporan unggahan meme yang mengkritik dengan jenaka terkait sakitnya Setya Novanto membuat prihatin. Kejadian ini membuktikan bahwa kebebasan dan demokrasi yang didengungkan sejak 1998 tidaklah sekeras apa yang diimajinasikanbangsa ini.

Bahkan, hal ini malah menunjukkan kemunduran dalam kebebasan berpendapat, terutama dalam kebebasan berekspresi dalam komedi. Apakah ini merupakan pertanda bahwa bangsa ini belum siap pada demokrasi atau memang efek samping dari demokrasi itu sendiri?

Komedi satire merupakan cara yang jenaka dalam membicarakan sesuatu yang serius. Komedi satire merefleksikan keresahan masyarakat dalam bentuk yang jenaka, baik itu komik, lakon komedi panggung, musik, bahkan dalam varian komedi yang baru di dunia maya: meme.

Sebagai sebuah komedi yang berisi hal yang serius, satire bukanlah tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk memprotes sebuah kondisi yang jauh dari idealita tanpa harus melakukan sebuah protes atau unjuk rasa. Dengan begitu, masyarakat yang terpapar media-media tersebut menjadi paham akan situasi yang terjadi.

Paradoks demokrasi

Komedi satire sudah ada sejak era otoriter Orde Baru. Warkop DKI adalah salah satu kelompok komedian satire yang populer melalui Radio Prambors di era 1973-1980an, pada era Orde Baru sedang berada dalam posisi yang sangat kuat. Pemerintahan Orde Baru mengirimkan panduan bahwa komedi satire tidak boleh mengkritik jalannya pemerintahan dan personal presiden. Hal ini membuat para komedian satire perlu berpikir mengenai cara penyampaian materi yang lebih efektif agar bisa sampai kepada masyarakat.

Banyak komedian atau seniman yang tersandung masalah hukum karena isi dari produk seni yang mereka buat. Penyensoran adalah bentuk paling lembut ketika seorang seniman berurusan dengan pemerintahan Orde Baru. Sementara pencekalan adalah hal yang umum dialami dan penjara adalah tempat yang realistis jika seorang seniman nekat mengkritik pemerintah.

Sekali lagi, kasus hukum yang menjerat Dyann membawa kita berpikir kembali mengenai makna demokrasi. Demokrasi seharusnya memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berpendapat kritis mengenai kondisi sosial politik yang ada di sekelilingnya. Ruang yang terbentuk dalam demokrasi memungkinkan pertemuan ide-ide untuk bertarung dalam pencarian sebuah sintesis terbaik untuk masyarakat, dalam hal ini komedi merupakan salah satu media pertarungan ide.

Namun, kebebasan itu seakan tidak terasa walau sudah lebih dari 10 tahun angin kebebasan berembus di negeri ini. Beberapa komedian, selain Dyann, mengalami beberapa aduan terkait konten yang mereka buat. Komedian tunggal Ernest Prakasa pernah membuat tweet jenaka terkait satu partai politik, kemudian mendapat kecaman dari simpatisan parpol tersebut.

Apakah ini artinya demokrasi Indonesia berjalan mundur? Saya melihat bahwa kasus di atas menunjukkan adanya paradoks dalam fenomena demokrasi.

Demokrasi memungkinkan adanya penyebaran kekuatan dari pemerintah kepada masyarakat sipil. Jika pada era Orde Baru kekuatan itu terpusat pada pemerintah, proses demokratisasi menyebabkan penyebaran kekuatan yang lebih merata pada kelompok-kelompok masyarakat, bahkan perorangan.

Kasus yang melibatkan Dyann dan Ernest tidak menunjukkan monopoli kekuatan oleh negara, tetapi menunjukkan kekuatan baru di tangan masyarakat sipil untuk mengontrol masyarakat lain. Akibatnya, pembatasan terjadi tidak lagi banyak dari pemerintah kepada seniman dalam bentuk sensor dan tindakan hukum, melainkan dari masyarakat kepada masyarakat lain dalam bentuk kecaman, somasi, bahkan pelaporan.

Hal ini diperburuk dengan realitas demokrasi yang cenderung menggunakan identitas dalam pertempuran politik antarpartai atau antarkandidat. Mengkritik secara jenaka suatu pihak diartikan sebagai penyerangan serius terhadap identitas oleh identitas. Polarisasi masyarakat yang semakin kuat akibat politik mempertaruhkan kebebasan berekspresi.

Hal ini justru semakin menambah parah karena tidak saja mengancam kebebasan berekspresi yang membawa materi hubungan horizontal dengan masyarakat, tetapi juga secara vertikal dengan pemerintah. Dalam level yang lebih jauh, kondisi ini akan memengaruhi kebebasan berekspresi para komedian satire.

Membentuk ruang ekspresi

Kedua hal ini bukanlah kondisi ideal. Saya menekankan sebuah evaluasi dalam dua arah jika ingin membuat iklim kebebasan komedi bisa dicapai.

Pertama, dalam jangka panjang, kedewasaan masyarakat sangat diperlukan untuk menerima komedi satire sebagai realitas dalam demokrasi. Pendidikan politik masyarakat yang komprehensif menjadi kunci dan bukan pada pendidikan politik yang partisan belaka. Masyarakat harus terbiasa bahwa ruang kritik itu biasa dalam iklim demokrasi sehingga tidak perlu berperilaku disruptif terhadap kritikan-kritikan dalam sebuah komedi satire. Tentu saja jika kita refleksi pada situasi sekarang ini, perubahan ini merupakan perubahan yang sifatnya jangka panjang.

Kedua, dalam kondisi seperti ini, hal tersebut tidak berarti bahwa ruang kritik komedi satire telah hilang. Dalam hal ini selalu ada cara bagi para komedian untuk membuka ruang ekspresinya sendiri tanpa mengabaikan sensitivitas sosial.

Jika berkaca pada eksistensi lawakan satire grup Warkop DKI di era Orde Baru, eksistensi tersebut seyogianya dapat dicontoh bagi para komedian di masa sekarang. Warkop DKI menunjukkan bahwa lawak kritis mampu bertahan dalam segala kondisi yang sangat mengancam sekalipun jika dibungkus dengan konteks yang tepat dan cara penyampaian yang cerdas. Sebab, satire merupakan sebuah komedi cerdas, baik dalam materi maupun penyampaian.

Saya mengkritik beberapa komedian justru mengambil materi yang kritis justru terhadap lawan-lawan politiknya, bukan dalam kerangka konteks yang lebih luas terhadap kondisi bangsa tanpa memandang aspirasi pilihan politik yang dibawanya.

Komedian harus menjadi reflektor obyektif kondisi masyarakat dan suara masyarakat. Dengan begitu, eksistensi komedian perlu dipertahankan baik oleh masyarakat maupun oleh komedian itu sendiri sebagai sarana penyadaran masyarakat.

Saya pribadi memandang bahwa masyarakat yang tidak mampu menertawakan dirinya sendiri akan mengalami disfungsi kepekaan, yang pada jangka panjang akan menarik ketegangan konflik masyarakat.

Bangsa ini harus terbiasa menertawakan dirinya sendiri karena sejatinya tertawa tersebut merupakan sinyal kita berpikir bahwa kita memiliki masalah yang patut ditertawakan bersama-sama. Dan, hal tersebut bukan hanya pekerjaan rumah bagi pemerintah, melainkan juga bagi para komedian dan masyarakat. Seperti sebuah pernyataan dari penulis satire Perancis: “Hidup adalah komedi bagi yang berpikir dan tragedi bagi para perasa”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar