Hoax
dalam Perspektif HAM
Mimin Dwi Hartono ; Staf Senior Komnas HAM
|
INDONESIANA, 17 Januari
2017
Gencarnya
peredaran hoax (berita bohong atau palsu) di dunia maya (Internet) mendapat
perhatian besar dari Presiden Joko Widodo. Hoax sangat kencang beredar
menjelang pemilihan presiden 2014 dan kembali menghangat sejak ada kasus
dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta (kini nonaktif) Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok.
Menurut
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, angka pengguna Internet
Indonesia pada 2016 mencapai 132 juta orang. Dengan demikian, ada sekitar 60
persen penduduk yang telah memiliki akses dan memanfaatkan Internet untuk
berbagai tujuan serta penggunaan. Tapi banyaknya pengguna Internet tersebut
belum diimbangi dengan kemelekan Internet (Internet literacy) yang cukup,
sehingga mereka sangat rentan menjadi obyek hoax.
Menanggapi
derasnya peredaran hoax ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan
Informatika telah memblokir konten dan situs yang diyakini mengandung serta
menyebarkan hoax. Sampai 31 Desember 2016, Kementerian telah memblokir
773.339 konten negatif. Selain itu, pemerintah membentuk Badan Siber Nasional
dengan harapan bisa menangani peredaran konten yang membahayakan keamanan
nasional dan ketertiban masyarakat.
Namun
apakah kebijakan memblokir situs yang memuat konten hoax adalah langkah yang
tepat dan dalam koridor hak asasi manusia (HAM)? Rocky Gerung dalam kolomnya
di Koran Tempo pada 6 Januari lalu menyatakan pemerintah telah memblokir situs
secara serampangan. Kebijakan itu membuktikan bahwa pemerintah telah gagal
mengendalikan informasi dan berpihak pada media mainstream.
Sebetulnya,
pemerintah tak dapat begitu saja menutup situs-situs tersebut. Pada Maret
2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa akses atas Internet
adalah hak asasi manusia. Tindakan pemerintah memutus akses tersebut adalah
bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal
19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menegaskan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat. Hak ini
termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi serta
pemikiran apa pun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan,
tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai
dengan pilihannya.
Lebih
lanjut, pada ayat 3 dijelaskan bahwa pembatasan atas hak itu hanya dapat
dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk: a) menghormati
hak atau nama baik orang lain; dan b) melindungi keamanan nasional atau
ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lewat pasal 73 mengatur bahwa
hak asasi manusia bisa dibatasi hanya oleh dan berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, alasan pemerintah memblokir situs-situs yang dituduh
bermuatan hoax harus berbasis pada aturan yang dikukuhkan dalam bentuk
undang-undang. Selain itu, pemerintah harus menentukan ukuran dan batasan
yang jelas tentang "informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
hukum".
Dalam
criminal justice system, pihak yang paling tepat dan memiliki otoritas untuk
memutuskan apakah sebuah informasi elektronik melanggar hukum hanyalah
pengadilan. Untuk mempercepat proses pemeriksaan kasus hoax di pengadilan,
karena dipandang urgen dan menyangkut kepentingan publik serta pemerintah,
pemerintah seyogianya membentuk satuan tugas terpadu yang melibatkan penyidik
pegawai negeri sipil, Polri, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Dengan
demikian, upaya pemerintah "melawan" hoax tetap dalam koridor hukum
dan hak asasi manusia. Hal ini sekaligus bertujuan meningkatkan kemelekan
Internet masyarakat, khususnya kelompok native digital, agar mampu
memanfaatkan Internet secara benar dan bertanggung jawab untuk kemajuan
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar