Teori
Konspirasi tentang Sampah Masyarakat
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus Sastra
yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 22
Januari 2017
Sekiranya
Anda merasa pegal-linu terhadap orang yang suka menunjukkan perangai semaunya
sendiri, saya akan menyampaikan kabar baik. Yakni, Anda tidak sendirian.
Istri saya satu barisan dengan Anda; demikian pula sopir taksi yang mengantar
saya pulang pada suatu malam sehabis hujan.
Kami
menembus jalanan macet malam itu dan Pak Sopir memberi kuliah umum sepanjang
jalan. Saya mengagumi kedalamannya soal agama. Dari dia, saya menjadi tahu
bahwa mata air zamzam tercipta karena Nabi Musa menancapkan tongkatnya ke
gurun pasir untuk memberi minum budak-budak Yahudi yang baru saja dia
selamatkan. Itu teori baru. Sama barunya dengan rumus dan persamaan
matematika yang digunakan seorang guru besar untuk menyampaikan berita
gembira bahwa Borobudur adalah bikinan Nabi Sulaiman.
Istri
saya bukan seorang penemu teori atau ahli sejarah purbakala. Namun, seperti
halnya Pak Sopir, dia benci kepada orang-orang yang suka membuat onar,
terutama mereka yang gemar meludahi muka orang lain dan memperjuangkan agenda
politik dengan cara mengamuk.
Analisisnya
tentang mereka sering mencengangkan, tetapi sekaligus jernih dan wajar
seperti kristal embun di pucuk-pucuk daun. Saya tidak heran karena dia memang
menyukai teori konspirasi, yaitu teori yang digunakan seorang satpam tua
untuk memberi tahu saya bahwa Bung Karno sebetulnya masih hidup, sekarang
sedang berada di sebuah perairan, dan akan muncul lagi nanti pada waktu yang
tepat.
Teori
itu juga menjadi senjata tajam bagi ibu rumah tangga untuk menganalisis,
dengan cara yang suaminya tak mungkin membantah, bahwa tetangga sebelah
sedang menumpuk kekayaan melalui persekongkolan keji dengan iblis. Buktinya:
’’Lihat saja sendiri! Orang itu rajin membongkar pasang rumahnya.’’
Sejarah
tidak memberi tahu kita siapa penemu teori konspirasi. Namun, saya menduga
dia adalah Don Kisot, seorang penunggang kuda yang keluar masuk kampung untuk
memerangi kincir angin. Itu sebuah misi suci. Sebab, kincir angin adalah
ancaman yang lebih menakutkan ketimbang pemanasan global atau cacar air. Jika
Pak Don tidak memeranginya, cepat atau lambat ia tentu akan membawa kerusakan
di muka bumi dan menggerogoti moral orang-orang.
Bukan
hanya kincir angin, Pak Don juga bertempur, memperlihatkan kejantanan
kesatria abad tengah, melawan sekawanan biri-biri di padang rumput,
seolah-olah mereka adalah sebuah legiun dari negeri asing yang siap melakukan
penaklukan.
Dengan
pengaruh secukupnya dari Don Kisot, pada Rabu dua pekan lalu, istri saya
menyampaikan peringatan genting tentang orang yang suka membuat onar. ’’Ia
membahayakan,’’ katanya. ’’Nanti saat kita tidur lelap tahu-tahu orang itu
menghidupkan toa dan menunjuk diri sendiri menjadi presiden Republik
Indonesia.’’
Saya
menyampaikan pandangan berbeda pada hari Kamis.
’’Tidak
selalu begitu,’’ kata saya.
’’Pasti
begitu,’’ katanya.
’’Tidak
setiap orang yang gemar meludahi muka orang selalu memiliki agenda politik,
sebagian di antara mereka mungkin hanya kurang sopan.’’
’’Kau
mengajak ribut?’’
Tentu
tidak, dan saya segera meminta maaf sebelum dia menyuruh saya meminta maaf.
Kami sudah sering ribut dan sayalah yang harus selalu meminta maaf, meskipun
kadang saya tidak menemukan alasan untuk melakukannya. Seingat saya, dia
belum pernah mengucapkan permintaan maaf; bukan karena tidak sudi, tetapi
karena dia malu. Saya heran kenapa ada orang yang malu berbuat kebajikan –itu
jika kita menganggap meminta maaf adalah sebuah kebajikan.
Namun,
semua itu ada hikmahnya. Sekarang saya menjadi cukup fasih untuk menasihati
para pemuda yang ingin menikah, tetapi tidak yakin apakah mereka sebetulnya
sudah siap atau belum. Kepada mereka, saya katakan: Jika kau sanggup meminta
maaf meskipun tidak ada alasannya, itu berarti kau sudah siap.
Pada
hari Jumat, dia membuat definisi tentang orang-orang yang suka membuat onar.
’’Mereka itu sampah masyarakat,” katanya.
Nah,
itu definisi yang membawa titik terang. Setidaknya, Anda tahu, sampah bisa
dimanfaatkan. Tetapi, sebelum memanfaatkannya, kita tentu saja perlu tahu
apakah mereka tergolong sampah organik atau anorganik. Sampah organik berasal
dari makhluk hidup dan bisa mengalami pelapukan, karena itu mereka termasuk
sampah anorganik –yaitu sampah yang kebodohannya tidak mengalami pelapukan.
Anda
bisa memanfaatkan sampah anorganik menjadi benda kerajinan, misalnya boneka,
dan menaruhnya di lemari pajangan agar mereka tidak kelayapan dan membuat
onar di jalan-jalan. Ingat, sampah anorganik tidak bisa dijadikan pakan
ternak. Tetapi, dalam sistem demokrasi, saya tidak berhak melarang jika Anda
ngotot memberi makan kerbau Anda dengan kaleng, plastik detergen, atau sampah
masyarakat.
Selain
itu, sampah anorganik bisa didaur ulang dan kita jadikan celengan. Anak-anak
bisa memasukkan koin-koin receh ke mulutnya setiap hari sehingga dia tidak
berkoar-koar dan melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan, misalnya
menunjuk diri sendiri menjadi presiden Republik Indonesia.
Pemanfaatan
yang lebih serius adalah sebagai bahan bakar alternatif. Namun, ia perlu
penanganan para ahli karena mudah meledak.
Saya
menyampaikan semua kemungkinan itu kepada istri saya. Dia menjawab tidak ada
waktu; baginya cukuplah sampah-sampah itu dibuang saja pada tempatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar