Jumat, 03 Juni 2016

Pendidikan untuk Kemanusiaan

Pendidikan untuk Kemanusiaan

Marthunis  ;   Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
                                               MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

INDONESIA sedang mengalami darurat moral. Kasus-kasus pencabulan dan pemerkosaan yang diikuti pembunuhan menjadi cerita kelam dalam beberapa waktu terakhir, mulai kisah Yuyun, Eno, hingga salah satu guru olahraga di Kota Serang yang baru-baru ini didapati tega memerkosa siswinya. Ironisnya, para pelaku pemerkosaan mayoritas berasal dari kalangan pelajar dan guru.

Fenomena itu seolah menampar dunia pendidikan kita dan menyiratkan sebuah pesan bahwa internalisasi nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik, bahkan pendidik itu, mengalami kegagalan. Penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat orang lain seharusnya menjadi salah satu substansi dasar nilai pendidikan yang diajarkan di bangku sekolah. Namun, implementasinya kini menguap entah ke mana. Sekolah seyogianya menjadi potret miniatur dalam membangun peradaban, tetapi malah menjadi tempat yang melahirkan orang-orang dengan perilaku tak beradab.

Di sisi lain, orientasi terhadap nilai akademik dalam tatanan sistem pendidikan Indonesia telah menjelma menjadi bom waktu yang meledak dalam dekade ini dan akhirnya melenyapkan wujud rasa simpati dan empati dalam komunitas pendidikan kita. Padahal, Chuck Grassley, senator senior dari Iowa (US) yang merupakan anggota Partai Republik, pernah berujar, "What makes a child gifted and talented may not always be good grades in school, but a different way of looking at the world and learning."  Faktanya, sekolah-sekolah di negeri ini hanya menghasilkan keluaran pendidikan yang kompetitif secara akademik, tapi cacat moral.

Mereka gagal memaknai pendidikan sebagai sarana transformasi untuk berkontribusi terhadap komunitas masyarakat di sekitar mereka. Alih-alih memberikan kontribusi, sebaliknya, mereka malah menjadi penyakit dalam sistem sosial masyarakat. Euforia semu dalam bentuk tradisi coret-coret baju dan konvoi secara ugal-ugalan saat merayakan kelulusan beberapa waktu lalu setidaknya menjadi cermin wajah pendidikan kita.

Namun, apa yang dilakukan siswa-siswi SMA Negeri 3 Yogyakarta atau SMA Padmanaba dengan lebih memilih membagikan nasi bungkus kepada masyarakat sebagai bentuk rasa syukur dalam merayakan kelulusan menyisakan sedikit kelegaan terhadap nilai yang berusaha ditularkan institusi pendidikan di negeri ini. Semoga hal baik itu dapat menjadi teladan yang dapat ditiru yang lain.

Pendidikan yang membebaskan

Dalam konteks yang lebih komprehensif, pendidikan pada dasarnya ialah proses yang mampu membawa pengaruh positif secara holistis untuk kemanusiaan. Abraham Maslow, tokoh psikologi humanis, mendasari teorinya bahwa fondasi pendidikan berbasis pada pengalaman belajar. Memperoleh pengalaman yang dekat dengan kehidupan nyata dalam proses belajar merupakan akses aktualisasi dan penyadaran diri untuk menginternalisasi nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang pada akhirnya memiliki kemampuan melakukan transformasi dan kontribusi bagi pemberdayaan kemanusiaan itu secara berkelanjutan, baik dalam konteks lokal maupun global. Hal itu senada dengan apa yang diutarakan mantan sekjen PBB Kofi Annan, "Education is a human right with immense power to transform. On its foundation rest the cornerstones of freedom, democracy and sustainable human development."

Di tengah isu moral yang menerpa pendidikan negeri ini, terselip cerita pembebasan 14 WNI yang ditawan kelompok Abu Sayyaf beberapa pekan lalu. Drama pembebasan yang sempat diwarnai dengan isu-isu politis dan saling klaim siapa paling berjasa di balik pembebasan itu menyisakan cerita tersendiri. Tulisan Ahmad Baedowi Negosiator itu Pendidik (Media Indonesia, 4/5/2016) yang juga merupakan salah satu aktor di balik pembebasan itu memberikan gambaran menarik tentang bagaimana kronologi perundingan pembebasan sandera yang ditempuh melalui jalur pendidikan mampu menaklukkan salah satu kelompok bersenjata yang paling ditakuti di Asia Tenggara.

Banyak pihak merasa skeptis dengan jalur pendidikan yang ditempuh meskipun pada akhirnya fakta membuktikan jalur itu mampu menjadi senjata utama dalam melakukan proses perundingan. Hal itu mengindikasikan pemahaman masyarakat terhadap proses perundingan yang dilakukan dengan kelompok bersenjata hanya dihadapkan dengan pilihan military approach atau transaksi tebu-menebus ala pedagang.

Banyak orang lupa bahwa pendidikan ialah bahasa universal yang dapat dipahami tanpa melihat sekat tapal batas negara, bangsa, ras, suku, bahkan agama. Nelson Mandela pernah berujar, "If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language that goes to his heart." Mungkin landasan itu pula yang menjadi jurus jitu Baedowi dan timnya dalam melakukan proses negosiasi ketika bahasa pendidikan mampu menjadi bahasa negosiasi dalam misi kemanusiaan itu.

Setelah proses negosiasi berlalu dan berhasil membawa pulang para sandera, ada implikasi positif yang kemudian mengemuka, yaitu tawaran jasa beasiswa untuk bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa Aceh bagi anak-anak mereka ditanggapi dengan cukup serius dan positif. Yayasan Sukma Bangsa dalam hal ini langsung mengambil langkah konkret dengan mengirimkan tim yang akan berangkat minggu ini guna menjaring dan menyeleksi anak-anak Filipina Selatan itu untuk bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa Aceh.

Program ini adalah sebuah upaya jangka panjang untuk menjembatani masa depan anak-anak Filipina Selatan agar menjadi lebih baik. Hal itu menunjukkan dimensi pendidikan yang terlibat dalam proses negosiasi sebelumnya telah memberikan warna baru, bahkan mampu meruntuhkan dinding arogansi kelompok bersenjata itu. Sumbangsih pendidikan telah menembus batas sekat sebuah negara. Ia menjelma menjadi lokomotif yang terus bergerak untuk memberikan perubahan.

Semoga kontribusi global melalui pendidikan yang dimotori Yayasan Sukma Bangsa dapat membuka pandangan semua kalangan untuk memaknai pendidikan sebagai proses transformasi yang membawa faedah bagi kemanusiaan. Semoga lembaga-lembaga pendidikan serta para tenaga pendidik dapat melawan kuatnya arus demoralisasi yang terjadi akhir-akhir ini dengan implementasi proses pengajaran yang mengarahkan para peserta didik dengan esensi-esensi nilai kemanusiaan. Dengan demikian, mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang mampu bertransformasi dan berkontribusi untuk melakukan sesuatu yang memberikan kemaslahatan bagi kemanusiaan.

Mungkin benar adanya ketika Hellen Keller berujar, "I am only one; but still am one. I cannot do everything, but still can do something. I will not refuse to do the something I can do." Jika pendidikan mampu memberikan sebanyak mungkin ruang empati di relung jiwa para siswa, akan ada banyak sekali anak-anak Indonesia di masa depan yang mampu melakukan sesuatu yang berguna bagi kemaslahatan kemanusiaan. Pendidikan harus membebaskan banyak sekat karena hanya pendidikan yang mampu memberikan seseorang jalan pembebasan yang sebenarnya. Wallahualambissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar