Runtuhnya Pilar Moral Pendidikan Kita?
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
30 Mei 2016
ADA banyak alasan bagi
kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti
dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk
anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa,
penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, maupun
penistaan peran guru melalui Facebook, misalnya, selalu disikapi dengan
pendekatan serbaformal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat
model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti.
Selain kurikulum,
sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku siswa
menyimpang. Pertanyaannya ialah kurikulum yang bagaimana lagi yang ingin kita
buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah?
Para penggiat dan
pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang
berlangsung di sekolah. Orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire bahkan
mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa
seperti robot karena kurangnya mereka dilatih untuk memberikan respons
kreatif.
Lebih hebat lagi,
bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan, kreativitas,
serta membunuh daya pikir anak. Sejak lama sistem sekolah lebih banyak
menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai menumbuhkan dan melatih aspek
afektif dan psikomotorik siswa secara tajam.
Jalan kemanusiaan
Pendidikan itu harus
berguna bagi kemanusiaan karena sejatinya memang dimaksudkan untuk
memanusiakan manusia. Prosesnya harus menghargai nilai-nilai dasar
kemanusiaan, seperti rasa hormat, menghargai sesama, toleran, dan mau
berbagi. Hal-hal sederhana ini mungkin dianggap ringan oleh para guru kita
ketika interaksi belajar-mengajar berlangsung di ruang kelas. Orientasi
proses belajar-mengajar kita lebih serius memikirkan hasil akhir, kompetisi,
dan penghargaan akademik yang bersifat individual. Padahal, seharusnya proses
belajar mengajar menumbuhkan semangat kebersamaan, bukan kompetisi yang
didasarkan pada capaian akademik semata.
Pendidikan,
sebagaimana yang pernah ditulis dan dipraktikkan Ki Hadjar Dewantara, harus
berorientasi pada Panca Darma, yaitu dasar-dasar pendidikan yang meliputi
dasar kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan dasar
kemanusiaan. Bagi Ki Hadjar Dewantara, penguatan penanaman nilai-nilai luhur
yang dimiliki bangsa sendiri secara masif dalam kehidupan anak didik harus menjadi
tujuan utama.
Dikutip dari Mohammad
Yamin (1996) dalam sebuah penggambaran proses humanisasi, Ki Hadjar Dewantara
berujar, "Berilah kemerdekaan kepada anak-anak didik kita; bukan
kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat
alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan
hidup manusia. Agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan
hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, perlulah dipakai dasar kebangsaan.
Tetapi, jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar
yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan."
Tiga pilar moral
Isu soal moral dan
budi pekerti sesungguhnya hampir menjadi barang usang karena perdebatan
tentangnya selalu hanya sampai pada tingkat wacana. Karena itu, penting
melakukan identifikasi tentang siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab
melakukan proses penanaman moral dan budi pekerti di sekolah.
Hasil studi di banyak
negara yang memiliki pendidikan maju menyebutkan keberhasilan proses
pendidikan yang bermakna lebih banyak ditentukan segitiga emas pendidikan,
yaitu guru, orangtua, dan pemerintah. Ketiga pilar moral itu jangan sampai
runtuh seruntuh-runtuhnya seperti terlihat dari beberapa kejadian mutakhir
yang menunjukkan gagalnya para penjaga moral ini melakukan tugas dan peran
yang sesungguhnya dalam proses pendidikan.
Pertanyaan kita
sekarang ialah masih adakah contoh tipe guru yang otoritatif dan penuh
keikhlasan dalam mengajar sehingga mampu menciptakan anak didik yang berhasil
secara emosional dan material?
Sangat banyak tipe
guru seperti itu, salah satu contohnya ialah sosok Harfan Effendy Noor dan
Muslimah Hafsari atau Bu Mus, yang digambarkan secara kasatmata oleh Andrea
Hirata dalam buku dan film Laskar Pelangi.
Bagi Andrea, kedua
sosok gurunya itu selalu tampak berbahagia ketika mengajar, pandai bercerita,
tegas, dan berwibawa. "Mereka
kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan
di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan
pohon filicium yang menaungi atap kelas dan memberi napas kehidupan bagi
ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem."
Selain guru,
masyarakat dan pemerintah jelas harus memiliki visi dan misi yang sama dalam
penyelenggaraan pendidikan. Kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah
jangan sampai mati hanya karena proses politik yang menginginkan mereka untuk
terus saling menyalahkan.
Kebanyakan masyarakat
kita saat ini sangat permisif dan menganggap pemerintah sebagai penanggung
jawab tunggal terhadap apa yang terjadi di dunia pendidikan. Sebaliknya,
pemerintah masih sangat kurang memberikan porsi bagi masyarakat untuk secara
bersama-sama memperkuat sekolah. Posisi ini sangat tidak menguntungkan bagi
sistem pendidikan kita karena berpengaruh langsung terhadap keberlangsungan
proses interaksi siswa dengan guru dan orangtua mereka.
Dari beberapa fakta
dan uraian di atas, sementara dapat kita simpulkan bahwa peran negara untuk
menjadikan pendidikan sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang cerdas dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa masih kurang maksimal. Pendekatan yang
digunakan negara dalam merumuskan kebijakan tentang sistem pendidikan
nasional kita terlihat sekali masih sangat formalistis.
Efektivitas kebijakan
pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan pemantauan yang memadai.
Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan hanya
salah satu bukti yang menunjukkan reformasi birokrasi yang kita inginkan tak
pernah berjalan.
Penyebabnya antara
lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak
diakuisisi ke bentuk program. Padahal, sejatinya kesempatan masyarakat untuk
terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka.
Mari satukan dan kembalikan pilar moral pendidikan kita ke jalan yang benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar