Sopan Santun Politik pada Masyarakat Kritis
Saidiman Ahmad ; Peneliti
Saiful Mujani Research and Consulting
|
MEDIA INDONESIA,
28 Mei 2016
Amin Rais menyatakan
Ahok tidak pantas menjadi pemimpin karena gaya bicaranya yang tidak sopan dan
kasar. Ada beberapa pertanyaan yang bisa diajukan pada Prof. Amin Rais
terkait dengan pernyataan itu.
Pertanyaan pertama
adalah apakah kesopanan atau kesantunan merupakan kriteria yang bisa
menggugurkan orang jadi pemimpin? Pertanyaan kedua, bagaimana menetapkan
standar kesopanan di tengah masyarakat yang majemuk? Bagi masyarakat
tertentu, basa-basi adalah bagian dari sopan-santun. Tapi untuk masyarakat
lain, basa-basi bisa jadi dimaknai sebagai bentuk kekurang-ajaran.
Pertanyaan ketiga,
apakah publik, terutama warga DKI Jakarta, menganggap tutur kata dan gaya
bicara calon pemimpin mereka penting untuk dijadikan dasar bagi pilihan
mereka? Saya akan membahas lebih banyak pertanyaan ketiga ini.
Evaluasi Publik
Cara paling valid
sejauh ini untuk mengetahui aspirasi publik tentang pemimpin idaman adalah
bertanya langsung ke warga pemilih. Kita biarkan pemilih berbicara atas
namanya sendiri. Suara publik ini bisa dijaring melalui survei opini publik
dengan metodologi ilmiah.
Dari survei-survei
yang dilakukan Saiful Mujani Research
and Consulting (SMRC) di pelbagai daerah, ada kecenderungan bahwa
pemimpin harapan publik adalah yang memiliki ketegasan, perhatian pada
rakyat, amanah, dan jujur. Hal-hal lain, seperti agama dan sopan santun tidak
mendapat porsi pertimbangan utama warga dalam menentukan pilihan.
Dalam kasus DKI
Jakarta, sekalipun media bisa tiap hari menampilkan pernyataan Ahok yang
keras, spontan, tak berfilter, namun pada saat yang sama tingkat kepuasan
warga atas pemerintahannya cukup tinggi dan cenderung meningkat.
Pada oktober 2015,
menurut survei SMRC, tingkat kepuasan publik mencapai 64%. Untuk seorang
pemimpin yang dianggap tidak sopan dan suka berkata kasar, tingkat kepuasan
publik ini sangat tinggi. Sebagai pembanding, pada tahun pemerintahan yang
sama (tahun ketiga) di masa sebelumnya, November 2010, tingkat kepuasan
publik DKI pada jalannya pemerintahan hanya sebesar 43%.
Tingkat kepuasan
publik atas pemerintahan gubernur DKI juga direkam dalam beberapa survei yang
dilakukan tiga lembaga survei lain. Center
for Strategic and International Studies (CSIS), pada Januari 2016
menemukan 67% publik Jakarta puas atas kinerja pemerintahan DKI. Pada Maret
2016, Charta Politica merilis survei yang merekam bahwa 82,8% publik merasa
puas dan sangat puas atas kinerja gubernur DKI. Sementara survei terakhir
Populi Center, April 2016, menyatakan bahwa kepuasan publik mencapai 73,3%.
Jika ditarik garis lurus dari empat survei berbeda itu, terlihat pola
kepuasan publik pada pemerintahan DKI Jakarta semakin meningkat.
Lalu kenapa publik
begitu tinggi mengapresiasi kinerja gubernur, walaupun dianggap kasar dan
tidak santun? Kemungkinan jawaban ada dua, pertama, publik memiliki persepsi
berbeda dengan Amin Rais mengenai ketidak-santunan. Kedua, publik tidak peduli
pada sopan santun atau tata krama pemimpinnya.
Ketika ditanya, apa
yang anda ingat ketika mendengar nama Basuki Cahaya Purnama, 39,8% publik
Jakarta, menurut survei Populi Center, menjawab tegas. Hanya ada 11,6% yang
menjawab kasar. Jangan-jangan apa yang Amin Rais anggap sebagai
ketidak-santunan, oleh warga Jakarta justru dianggap sebagai ketegasan,
keberanian, dan seterusnya.
Critical Citizens
John F. Kennedy School
of Government memfasilitasi suatu forum para ilmuan untuk mencari jawaban
atas pertanyaan besar, apa yang diinginkan publik dari pemerintahan. Tahun
1997, mereka menerbitkan buku dengan judul ‘Why people don’t trust government?’ Dua tahun setelahnya,
diterbitkan buku kedua, kali ini berjudul ‘Critical
citizens: global support for democratic government.’
Dengan menggunakan
data-data World Values Survey dan
hasil penelitian lainnya, dua buku ini memotret gejala sinisme publik pada
pemerintahan, baik di Amerika Serikat maupun di negara-negara demokratis
lain. Walaupun sinisme publik begitu besar dan cenderung meningkat pada
pemerintahan dan lembaga-lembaga politik, tapi hal itu tidak memberi dampak
pada tingginya keyakinan publik pada demokrasi. Kombinasi antara sinisme atau
kritisisme publik pada pemerintahan dan keyakinan pada demokrasi ini, oleh
Pippa Norris dan kawan-kawan, dinamai critical
citizens.
Fenomena critical citizens tidak hanya terjadi
di negara-negara demokratis yang mapan seperti Amerika Serikat dan Inggris,
tapi juga melanda negara-negara demokrasi baru. Publikasi Saiful Mujani dan
R. William Liddle di Japanese Journal
of Political Science, Indonesia’s Democratic Performance: A Popular
Assessment, juga memotret fenomena itu dalam konteks Indonesia.
Bagaimana critical citizens ini muncul? Jawaban
yang diberikan para peneliti itu adalah terkait dengan pendidikan. Pendidikan
terkait pula dengan peningkatan pendapatan. Meningkatnya akses pendidikan
secara global juga meningkatkan pula daya kritis masyarakat terhadap
penyelenggaraan negara. Gejala ini semakin besar, terutama di perkotaan.
Dengan semakin membesarnya akses pendidikan, kesehatan, pertumbuhan ekonomi,
dan urbanisasi, maka munculnya warga yang kritis tidak lagi bisa ditawar. Itu
adalah kemestian yang harus disyukuri.
Menghadapi fenomena critical citizens, evaluasi publik
pada pemerintahan juga semakin rasional. Penilaian publik yang didasarkan
pada charisma tradisional pemimpin secara radikal bergeser pada penilaian
berdasarkan kinerja. Tokoh seperti Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, dan
lain-lain muncul dari pola ini. Lebih jauh dari itu, penilaian publik sangat
tergantung pada bagaimana mereka mempersepsi keadaan yang mereka alami
sendiri. Persepsi mengenai kondisi ekonomi, lapangan pekerjaan, keamanan,
akses pendidikan, kesehatan, dan seterusnya didasarkan pada pengalaman mereka
secara langsung.
Evaluasi berdasarkan
pengalaman riil warga mendorong para pengambil kebijakan yang dipilih oleh
publik untuk bekerja maksimal. Jika ada pemimpin yang memberi manfaat
langsung pada kehidupan warga, misalnya ada jembatan yang nyata dibangun,
jalan yang nyata diperbaiki, sungai yang benar-benar bisa dilihat
kebersihannya, taman yang nyata menjadi indah, pengurusan surat di kantor
pemerintahan yang bisa dibuktikan kemudahannya, dll, maka tidak ada alasan
bagi mayoritas warga untuk tidak mempertahankannya. Adapun alasan-alasan lain
di luar persoalan mendasar itu, misalnya agama, cara bicara, potongan rambut,
ukuran mata, tinggi badan, dst, hanya persoalan yang sangat sekunder.
Tentu saja,
masalah-masalah seperti agama, ukuran mata dan potongan rambut bukan berarti
tidak ada peminat sama sekali. Selalu ada warga yang berminat memilih orang
berdasarkan kriteria yang sebetulnya tidak penting itu. Tetapi jumlah mereka
semakin menyusut seiring dengan semakin terbukanya akses pendidikan dan
informasi yang mencerdaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar