Pendidikan untuk Kemanusiaan
Marthunis ; Guru
Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
|
MEDIA INDONESIA,
30 Mei 2016
INDONESIA sedang
mengalami darurat moral. Kasus-kasus pencabulan dan pemerkosaan yang diikuti
pembunuhan menjadi cerita kelam dalam beberapa waktu terakhir, mulai kisah
Yuyun, Eno, hingga salah satu guru olahraga di Kota Serang yang baru-baru ini
didapati tega memerkosa siswinya. Ironisnya, para pelaku pemerkosaan
mayoritas berasal dari kalangan pelajar dan guru.
Fenomena itu seolah
menampar dunia pendidikan kita dan menyiratkan sebuah pesan bahwa
internalisasi nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik, bahkan pendidik
itu, mengalami kegagalan. Penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat
orang lain seharusnya menjadi salah satu substansi dasar nilai pendidikan
yang diajarkan di bangku sekolah. Namun, implementasinya kini menguap entah
ke mana. Sekolah seyogianya menjadi potret miniatur dalam membangun
peradaban, tetapi malah menjadi tempat yang melahirkan orang-orang dengan
perilaku tak beradab.
Di sisi lain,
orientasi terhadap nilai akademik dalam tatanan sistem pendidikan Indonesia
telah menjelma menjadi bom waktu yang meledak dalam dekade ini dan akhirnya
melenyapkan wujud rasa simpati dan empati dalam komunitas pendidikan kita.
Padahal, Chuck Grassley, senator senior dari Iowa (US) yang merupakan anggota
Partai Republik, pernah berujar, "What
makes a child gifted and talented may not always be good grades in school,
but a different way of looking at the world and learning." Faktanya, sekolah-sekolah di negeri ini
hanya menghasilkan keluaran pendidikan yang kompetitif secara akademik, tapi
cacat moral.
Mereka gagal memaknai
pendidikan sebagai sarana transformasi untuk berkontribusi terhadap komunitas
masyarakat di sekitar mereka. Alih-alih memberikan kontribusi, sebaliknya,
mereka malah menjadi penyakit dalam sistem sosial masyarakat. Euforia semu
dalam bentuk tradisi coret-coret baju dan konvoi secara ugal-ugalan saat
merayakan kelulusan beberapa waktu lalu setidaknya menjadi cermin wajah
pendidikan kita.
Namun, apa yang
dilakukan siswa-siswi SMA Negeri 3 Yogyakarta atau SMA Padmanaba dengan lebih
memilih membagikan nasi bungkus kepada masyarakat sebagai bentuk rasa syukur
dalam merayakan kelulusan menyisakan sedikit kelegaan terhadap nilai yang
berusaha ditularkan institusi pendidikan di negeri ini. Semoga hal baik itu
dapat menjadi teladan yang dapat ditiru yang lain.
Pendidikan yang membebaskan
Dalam konteks yang
lebih komprehensif, pendidikan pada dasarnya ialah proses yang mampu membawa
pengaruh positif secara holistis untuk kemanusiaan. Abraham Maslow, tokoh
psikologi humanis, mendasari teorinya bahwa fondasi pendidikan berbasis pada
pengalaman belajar. Memperoleh pengalaman yang dekat dengan kehidupan nyata
dalam proses belajar merupakan akses aktualisasi dan penyadaran diri untuk
menginternalisasi nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang pada akhirnya memiliki
kemampuan melakukan transformasi dan kontribusi bagi pemberdayaan kemanusiaan
itu secara berkelanjutan, baik dalam konteks lokal maupun global. Hal itu
senada dengan apa yang diutarakan mantan sekjen PBB Kofi Annan, "Education is a human right with
immense power to transform. On its foundation rest the cornerstones of
freedom, democracy and sustainable human development."
Di tengah isu moral
yang menerpa pendidikan negeri ini, terselip cerita pembebasan 14 WNI yang
ditawan kelompok Abu Sayyaf beberapa pekan lalu. Drama pembebasan yang sempat
diwarnai dengan isu-isu politis dan saling klaim siapa paling berjasa di balik
pembebasan itu menyisakan cerita tersendiri. Tulisan Ahmad Baedowi Negosiator
itu Pendidik (Media Indonesia, 4/5/2016)
yang juga merupakan salah satu aktor di balik pembebasan itu memberikan
gambaran menarik tentang bagaimana kronologi perundingan pembebasan sandera
yang ditempuh melalui jalur pendidikan mampu menaklukkan salah satu kelompok
bersenjata yang paling ditakuti di Asia Tenggara.
Banyak pihak merasa
skeptis dengan jalur pendidikan yang ditempuh meskipun pada akhirnya fakta
membuktikan jalur itu mampu menjadi senjata utama dalam melakukan proses
perundingan. Hal itu mengindikasikan pemahaman masyarakat terhadap proses
perundingan yang dilakukan dengan kelompok bersenjata hanya dihadapkan dengan
pilihan military approach atau
transaksi tebu-menebus ala pedagang.
Banyak orang lupa
bahwa pendidikan ialah bahasa universal yang dapat dipahami tanpa melihat
sekat tapal batas negara, bangsa, ras, suku, bahkan agama. Nelson Mandela
pernah berujar, "If you talk to a
man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him
in his language that goes to his heart." Mungkin landasan itu pula
yang menjadi jurus jitu Baedowi dan timnya dalam melakukan proses negosiasi ketika bahasa
pendidikan mampu menjadi bahasa negosiasi dalam misi kemanusiaan itu.
Setelah proses
negosiasi berlalu dan berhasil membawa pulang para sandera, ada implikasi
positif yang kemudian mengemuka, yaitu tawaran jasa beasiswa untuk bersekolah
di Sekolah Sukma Bangsa Aceh bagi anak-anak mereka ditanggapi dengan cukup
serius dan positif. Yayasan Sukma Bangsa dalam hal ini langsung mengambil
langkah konkret dengan mengirimkan tim yang akan berangkat minggu ini guna
menjaring dan menyeleksi anak-anak Filipina Selatan itu untuk bersekolah di
Sekolah Sukma Bangsa Aceh.
Program ini adalah
sebuah upaya jangka panjang untuk menjembatani masa depan anak-anak Filipina
Selatan agar menjadi lebih baik. Hal itu menunjukkan dimensi pendidikan yang
terlibat dalam proses negosiasi sebelumnya telah memberikan warna baru,
bahkan mampu meruntuhkan dinding arogansi kelompok bersenjata itu. Sumbangsih
pendidikan telah menembus batas sekat sebuah negara. Ia menjelma menjadi
lokomotif yang terus bergerak untuk memberikan perubahan.
Semoga kontribusi
global melalui pendidikan yang dimotori Yayasan Sukma Bangsa dapat membuka
pandangan semua kalangan untuk memaknai pendidikan sebagai proses
transformasi yang membawa faedah bagi kemanusiaan. Semoga lembaga-lembaga
pendidikan serta para tenaga pendidik dapat melawan kuatnya arus demoralisasi
yang terjadi akhir-akhir ini dengan implementasi proses pengajaran yang
mengarahkan para peserta didik dengan esensi-esensi nilai kemanusiaan. Dengan
demikian, mereka dapat tumbuh menjadi pribadi yang mampu bertransformasi dan
berkontribusi untuk melakukan sesuatu yang memberikan kemaslahatan bagi
kemanusiaan.
Mungkin benar adanya
ketika Hellen Keller berujar, "I
am only one; but still am one. I cannot do everything, but still can do
something. I will not refuse to do the something I can do." Jika
pendidikan mampu memberikan sebanyak mungkin ruang empati di relung jiwa para
siswa, akan ada banyak sekali anak-anak Indonesia di masa depan yang mampu
melakukan sesuatu yang berguna bagi kemaslahatan kemanusiaan. Pendidikan
harus membebaskan banyak sekat karena hanya pendidikan yang mampu memberikan
seseorang jalan pembebasan yang sebenarnya. Wallahualambissawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar