Struktur Pendidikan Tinggi Kita
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
02 Mei 2016
SEMOGA, kata awal ini
menandakan adanya kekhawatiran sekaligus doa bagi anak-anak sekolah menengah
atas agar bisa melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi. Mengapa
semoga? Karena dengan fakta bahwa angka partisipasi kasar (APK) sekitar 18%,
jelas posisi perguruan tinggi di Indonesia masih merupakan barang mewah bagi
sebagian besar lulusan SMA saat ini.
Kesempatan anak
Indonesia untuk mengenyam pendidikan tinggi masih terbilang rendah, apalagi
jika kondisi tersebut dibarengi kondisi sosial-ekonomi garis kemiskinan
masyarakat sejak 2002 hingga saat ini masih berada di kisaran 19%. Dengan
gambaran situasi seperti itu, jelas posisi perguruan tinggi kita seperti
berada di ujung jurang yang mungkin tak memiliki tepi karena biasanya
tuntutan terhadap kualitas dan rendahnya biaya pendidikan merupakan persoalan
teramat penting bagi posisi perguruan tinggi.
Dari sisi kualitas,
posisi dan status perguruan tinggi kita sangat amat beragam. Beberapa
perguruan tinggi dapat 'berbicara' di tingkat global, tetapi secara jujur
harus diakui, sebagian besarnya sulit bersuara bahkan untuk tingkat regional
sekalipun. Keadaan itu diperparah respons yang salah dari perguruan tinggi,
terutama dalam menyikapi problem survival.
Perguruan tinggi kini
sedang menghadapi situasi yang sangat tidak mudah, di satu sisi tuntutan
stakeholders terhadap kualitas perguruan tinggi sangat tinggi, pada sisi lain
kekuatan pembiayaan pengelolaan perguruan merosot tajam. Terdapat semacam
dilema, apakah perguruan tinggi harus memenuhi tuntutan kualitas dengan biaya
tinggi atau mengikuti kekuatan ekonomi pasar yang sedang tidak
menggembirakan.
Sebagai akibatnya,
tidak sedikit perguruan tinggi yang cenderung mengambil jalan pintas dalam
merespons tantangan yang demikian rumit itu. Ada asumsi pragmatis, kalau
konsumen kuatnya hanya membeli 'tempe', jangan sediakan 'fried chicken'. Mereka kemudian beramai-ramai membuat perguruan
tinggi ecek-ecek alias murahan. Dalam jangka panjang, pemilihan strategi
pragmatis sebenarnya dapat berarti menggali lubang kuburnya sendiri meski
dalam jangka pendek tampak seolah dapat menyelesaikan masalah. Dengan
'mengabaikan' kualitas, disadari atau tidak, terjadi pembusukan di tubuh
perguruan tinggi bersangkutan.
Tujuh prinsip
Salah satu penyebab
munculnya universitas 'tempe' sesungguhnya merupakan tamparan bagi daya saing
yang menjadi roh bagi perkembangan sebuah perguruan tinggi. Salah satu inti
dari daya saing ialah keinginan universitas untuk meningkatkan kapasitas
pengelolaan sumber daya keuangannya dengan prinsip yang transparan dan
akuntabel. Dalam pengelolaan keuangan dan pengembangan SDM, Michael Shattock
(2003) dalam bukunya, Managing
Successful Universities, menyarankan agar pimpinan universitas
benar-benar harus memperhatikan tujuh prinsip dasar, yaitu 1) the need to monitor earned income
streams closely and individually, 2) the need for investment and
reinvestment, 3) the need to develop pricing policies as part of an
institutional 'business' strategy, 4) the need to consider a vertical
integration of 'commercial' activities rather than outsourcing them, 5) the
need to share earned income and surpluses between the university and its
departments, 6) the need to maintain academic trust in the prosess, dan 7)
the need to develop professionalism and managerial capability.
Kemampuan universitas
dalam menyikapi tantangan dan tren yang dibawa zaman akan sangat menentukan
apakah sebuah universitas dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar. Tantangan
dan tren itulah yang memaksa dan mengharuskan universitas untuk menerapkan
logika korporasi, dengan mengedepankan prinsip-prinsip efisiensi pembiayaan,
memperhitungkan setiap risiko (calculability),
dan kemampuan memprediksi tantangan dan tren ke depan (predictability). Dalam bahasa Kezar (2000), peran seorang rektor
akan semakin menyerupai manajer perusahaan, dan manajemen universitas makin
menitikberatkan pada akuntabilitas.
Salah satu dampak dari
perubahan ini ialah bergesernya fokus pendidikan dari sasaran utamanya, yaitu
mahasiswa. Tuntutan masyarakat akan kualitas pendidikan tinggi yang bermutu
dan murah pasti akan menyulitkan universitas dalam mendesain, baik program
maupun kepastian lulusannya agar dapat diterima pasar kerja (Kovel-Jarboe,
2000).
Setiap universitas
dapat dipastikan memiliki problem sosialnya sendiri.
Pada saat bersamaan,
dalam setiap masyarakat juga memiliki masalah dan isu-isu yang berkaitan
dengan dunia universitas. Strategi yang mungkin akurat untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut sangat bergantung pada kondisi struktur dan
kepemimpinan pada tingkat lokal dan latar belakang kesejarahan masyarakat itu
sendiri. Segenap potensi sumber daya universitas seyogianya digunakan untuk
memperbaharui, memvalidasi, dan memperluas wilayah keilmuan yang bersifat
humanis dengan menggunakan metode-metode pengetahuan standar. Dalam rangka
menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka
atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta
kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu
ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring ialah kata kunci yang harus dikembangkan
secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola
kemitraan yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis,
entertainer) dan lembaga riset.
Selain itu,
universitas diharapkan jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah
umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam
rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi.
Jika strategi
kolaborasi itu berjalan, perencanaan pendidikan menjadi lebih mudah
disosialisasikan ke tingkat masyarakat. Dengan demikian, pembukaan
program-program baru yang berorientasi pada pasar atau kebutuhan masyarakat
perlu dijajaki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar