Menakar Efektivitas 12 Paket Ekonomi
Enny Sri Hartati ;
Direktur Eksekutif Indef
|
MEDIA INDONESIA,
02 Mei 2016
PEMERINTAH telah
menggelontorkan selusin (12) paket ekonomi yang diharapkan mampu sebagai
stimulus untuk mendorong kinerja perekonomian. Sasaran utama paket kebijakan
tersebut tentu untuk mengatasi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Instrumen
yang diandalkan pemerintah ialah upaya mendorong laju investasi. Dimulai
dengan berbagai paket deregulasi dan debirokratisasi sampai pemberian
berbagai paket insentif.
Gebrakan perdana
dimulai 9 September 2015 dengan keluarnya paket stimulus 1. Pemerintah
berkomitmen untuk; 1) mendorong daya saing industri nasional, 2) mempercepat
terlaksananya proyek strategis nasional, 3) meningkatkan investor di sektor
properti, dan 4) melindungi masyarakat berpendapatan rendah.
Awalnya, paket perdana
ini ditanggapi antusias masyarakat, utamanya dunia usaha. Apalagi, pemerintah
berjanji akan segera melakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap 134 regulasi
yang tumpang-tindih, bahkan akan segera diselesaikan pada akhir Oktober 2015.
Namun, ternyata implementasinya tak sesuai target. Persoalan utamanya ialah
terlalu umum, luas, dan hampir semua instrumen dalam paket stimulus 1
bersifat normatif, bahkan antara target dan instrumen yang digunakan tidak
ada relevansinya, seperti; 1) Mengembangkan ekonomi makro yang kondusif, 2)
Menggerakkan ekonomi nasional, dan 3) Melindungi masyarakat berpendapatan
rendah serta menggerakkan ekonomi perdesaan.
Mestinya paket
kebijakan fokus, misalnya untuk tujuan mendorong daya saing industri
nasional. Instrumen yang dikeluarkan pemerintah harus jelas dan langsung
menyasar problem penyebab penurunan daya saing industri. Kritik terhadap
paket stimulus 1 yang terlalu luas dan normatif dijawab dengan keluarnya
paket ekonomi 2 (29 September 2015).
Pemerintah ingin
menarik lebih banyak investor dengan memberikan berbagai kemudahan dan
fasilitas investasi, melalui layanan yang cepat dalam pemberian izin
investasi (tiga jam).
Terdapat lima
instrumen yang dilakukan, yaitu; 1) Layanan cepat investasi tiga jam di
kawasan industri, 2) Persetujuan tax allowance dan tax holiday, 3) Insentif
PPn impor barang tertentu, melalui pemberian kelonggaran PPn tidak dipungut
untuk beberapa industri alat transportasi (galangan kapal, kereta api,
pesawat, dan suku cadangnya), 4) Insentif pajak deposito, menurunkan pajak
deposito bagi eksportir yang melaporkan devisa hasil ekspor (DHE) kepada Bank
Indonesia (BI), dan 5) Pembentukan pusat logistik berikat, menyiapkan dua
pusat logistik berikat, yaitu Cikarang untuk manufaktur dan Merak untuk BBM.
Paling konkret
Setelah paket ekonomi
2, selanjutnya secara periodik sekitar 2 minggu sekali keluar paket ekonomi
berikutnya. Paket ekonomi 3 (7 Oktober 2015) berisi penurunan tarif listrik
dan harga BBM serta gas, perluasan penerima kredit usaha rakyat (KUR), dan
penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Paket ini
dinilai paling konkret karena penurunan harga BBM dan listrik memang langsung
dirasakan. Sayangnya, janji untuk menurunkan harga gas untuk industri yang
semula dijanjikan pada awal Januari 2016 sampai April 2016 belum kunjung
terealisasi, juga perluasan penerima KUR masih sangat jauh dari target,
bahkan realisasi KUR 2015 tidak mencapai Rp10 triliun, jauh dari realisasi
penyaluran KUR 2014 yang mencapai sekitar Rp39 triliun.
Paket ekonomi 4 (15
Oktober 2015), komitmennya negara hadir memperkuat ekonomi rakyat. Instrumennya
melalui; 1) Peningkatan kesejahteraan pekerja melalui kebijakan upah minimum
dengan sistem formula untuk memastikan pekerja/buruh tidak jatuh ke dalam
upah murah, 2) Kebijakan KUR yang lebih murah dan meluas, melalui penurunan
tingkat bunga dari 22% menjadi 12%, dan 3) Mendorong ekspor untuk mencegah
PHK, melalui dukungan kepada usaha kecil menengah yang berorientasi ekspor
melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Sayangnya, upaya perbaikan
formulasi penentuan upaya yang diharapkan meningkatkan kesejahteraan pekerja
malah disambut demonstrasi buruh secara besar-besaran. Demikian juga komitmen
menurunkan suku bunga KUR, bahkan realisasi perluasan pembiayaan KUR tidak
tercapai. Upaya untuk mendorong ekspor UMKM juga belum ada instrumen yang
konkret.
Paket ekonomi 5 (22
Oktober 2015) fokus pemberian insentif perpajakan, revaluasi aset, dan
mendorong perbankan syariah. Instrumen yang menonjol ialah insentif Pajak
Revaluasi Aset yang sebelumnya kena tarif pajak 10%. Pemerintah memberikan
insentif, yakni; 1) Revaluasi aset hingga 31 Desember 2015 tarif PPh 3%, 2)
Revaluasi aset 1 Januari hingga 30 Juni 2016 (PPh 4%), dan 3) Revaluasi aset
1 Juli hingga 31 Desember 2016 (PPh 6%), juga eliminasi pajak berganda, dana
investasi, realestat, properti, dan infrastruktur, yaitu menghapuskan pajak
berganda atas kontrak kolektif, dana investasi, realestat (REITs).
Persoalannya, revaluasi aset tentu tidak serta-merta mampu meningkatkan
performa dari perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan dari lembaga
pembiayaan.
Sulit terealisasi
Paket ekonomi 6 (5
Nopember 2015) untuk menggerakkan ekonomi di wilayah pinggiran, penyediaan
air untuk rakyat, dan proses cepat impor bahan baku obat. Pemerintah
memberikan insentif kawasan ekonomi khusus, antara lain memberikan fasilitas tax holiday sampai dengan 100% untuk
jangka waktu paling lama 25 tahun dan nilai investasi minimal Rp500 juta. Kegiatan
pengolahan sumber daya utama di dalam KEK, maka akan ditawarkan fasilitas tax allowance. Kendala utama investasi
ialah ketersediaan infrastruktur dasar dan kemudahan pengurusan berbagai
perizinan. Jadi, sekalipun berbagai insentif diberikan, jika prasyarat dasar
tidak tersedia, tetap sulit untuk merealisasikan investasi.
Paket ekonomi 7 (7
Desember 2015), tujuannya untuk percepatan proses sertifikasi tanah dan
memberikan insentif pajak bagi industri padat karya.
Fasilitas yang
ditawarkan untuk industri padat karya, yaitu memperoleh fasilitas pajak di
seluruh provinsi tanpa pengecualian, juga keringanan pajak penghasilan (PPh
21) bagi pegawai yang bekerja pada industri padat karya selama jangka waktu
dua tahun, dan dapat diperpanjang.
Sasaran industri padat
karya, seperti industri alas kaki, garmen, dan industri pakaian jadi dari
kulit. Persoalan utamanya ialah kepastian masalah perburuhan dan ketersediaan
tenaga kerja terampil sehingga mampu meningkatkan produktivitas.
Paket ekonomi 8 (21
Desember 2015) menyangkut kebijakan satu peta nasional, kilang minyak, dan
pembebasan bea masuk suku cadang pesawat. Kebijakan satu peta dimaksudkan
agar pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan tidak tumpang-tindih. Basis
referensi peta yang sama akan meningkatkan keandalan informasi terkait lokasi
dari berbagai aktivitas ekonomi. Ini akan memberikan kepastian usaha
sekaligus untuk mitigasi bencana. Kebijakan satu peta dimaksudkan untuk
mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik tumpang-tindih pemanfaatan
lahan, penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.
Paket ekonomi 9 (27
Januari 2016) bertujuan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur tenaga
listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota.
Pemerintah akan mengeluarkan peraturan presiden untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur ketenagalistrikan. Di samping itu, juga menambah penyediaan
hewan dan produk hewan. Menteri Pertanian menetapkan zonasi, unit usaha atau
farm untuk pemasukan ternak dan/atau produk hewan berdasarkan analisis risiko
dengan tetap memperhatikan ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan Internasional
(OIE).
Daya saing
Paket ekonomi 10 (15
Februari 2016), pemerintah ingin melindungi pengusaha kecil dan memberi
kepastian batasan kepemilikan saham asing. Pemerintah mencadangkan usaha
dengan modal di bawah Rp10 miliar untuk UMKMK atau yang harus bermitra dengan
UMKM.
Pemerintah
melonggarkan aturan investasi asing dengan merevisi Perpres No 39 Tahun 2014
tentang Daftar Negatif Investasi (DNI).
Paket 11 (29 Maret
2016) untuk meningkatkan daya saing nasional dalam pertarungan ekonomi global
melalui; 1) Pemberian Kredit Usaha Rakyat Berorientasi Ekspor (KURBE), 2)
Fasilitas Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan
(BPHTB), yaitu untuk penerbitan Dana Investasi Real-Estat (DIRE), 3)
Pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia
Single Risk Management-ISRM), dan 4) Pengembangan Industri Farmasi dan Alat
Kesehatan.
Paket ekonomi 12 (28
April 2016) berisi kemudahan memulai usaha, terutama bagi usaha kecil dan
menengah, yaitu memperbaiki peraturan, prosedur perizinan, serta biaya untuk
memudahkan kalangan usaha.
Pemerintah bertekad
untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business), terutama berusaha mengatasi persoalan
hambatan investasi yang paling dikeluhkan dunia usaha, utamanya masalah
panjangnya prosedur, waktu, dan biaya perizinan.
Indikator paling utama
untuk mengevaluasi dari selusin paket ekonomi ialah meningkatnya arus
investasi yang masuk perekonomian Indonesia.
Selama 2015, komitmen
dan persetujuan investasi melalui BKPM mencapai Rp1.852 triliun, atau tumbuh
sebesar 45% (yoy). Namun, realisasi investasi hanya mencapai Rp545,4 triliun,
atau tumbuh sekitar 17,8% (yoy).
Dengan demikian,
sesungguhnya tidak ada perubahan yang berarti dari kinerja investasi jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya ketika belum ada paket stimulus
ekonomi.
Secara umum, 12 paket
kebijakan ekonomi ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk berusaha
memperbaiki dan mendorong iklim investasi yang kondusif.
Persoalan mendasar
belum efektifnya paket stimulus ekonomi tersebut terletak pada lemahnya
realisasi dan implementasi berbagai program tersebut. Masih banyaknya
tumpang-tindih regulasi yang belum mampu diharmonisasikan jadi faktor utama. Diperparah
lagi dengan lemahnya koordinasi baik antarsektor atau kementerian teknis
maupun antara pusat dan daerah.
Di samping itu, hal
yang paling penting ialah adanya konsistensi instrumen yang konkret menjadi
solusi permasalahan. Artinya, paket kebijakan tidak lagi berisi aturan
normatif, tetapi harus konkret berisi program yang implementatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar