Memperkuat Kualitas Buruh Indonesia
Triyono ;
Peneliti Ketenagakerjaan Pusat
Penelitian Kependudukan LIPI
|
MEDIA INDONESIA,
03 Mei 2016
AKHIR-AKHIR ini dunia
ketenagakerjaan menghadapi berbagai ancaman yang cukup besar dengan
membanjirnya buruh asing, terutama dari Tiongkok. Hal ini tentunya menjadi
tantangan tersendiri bagi pemerintah, pengusaha, buruh, dan serikat buruh
untuk menyikapi persoalan ini.
Fenomena ini tentunya
menambah peta persaingan buruh Indonesia dengan Tiongkok.
Di samping itu,
situasi ini semakin meneguhkan bahwa buruh Tiongkok tetaplah menjadi ancaman
yang sangat nyata bagi koleganya di Indonesia. Betapa tidak, disinyalir buruh
Tiongkok yang hadir di Indonesia bukan hanya yang terampil, melainkan juga
yang tidak terampil, semestinya menjadi porsi bagi buruh Indonesia. Selain
itu, jumlah buruh Tiongkok merupakan terbesar jika dibandingkan dengan jumlah
buruh negara lain yang bekerja di Indonesia.
Berdasarkan data
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada Agustus 2014, jumlah pekerja
asing mencapai 64.604 orang dan Tiongkok menempati posisi pertama dengan
jumlah buruh atau pekerja 15.345 orang. Jumlah tersebut saat ini diduga lebih
banyak lagi apalagi beberapa proyek telah terjalin antara pemerintah
Indonesia dan Tiongkok.
Kualitas persaingan
Hadirnya buruh
Tiongkok tentunya akan merebut pasar kerja nasional.
Hal ini jika dibiarkan
akan membuat buruh lokal menjadi penonton di negeri sendiri. Dampaknya sudah
jelas, yaitu jumlah pengangguran akan meningkat. Pertanyaan mendasar ialah
bagaimana kesiapan buruh Indonesia menghadapi 'serbuan' dari Tiongkok? Kondisi
buruh Indonesia saat ini belum siap menghadapi persaingan dengan buruh
Tiongkok.
Hal ini dilihat dari
rendahnya kualitas pendidikan buruh Indonesia.
Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) Agustus 2015, tingkat pendidikan angkatan kerja
Indonesia mayoritas merupakan lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah dengan
jumlah 44,27%. Hal ini jelas memberikan beban cukup besar dalam persaingan
pasar kerja.
Buruh Indonesia selain
banyak yang belum siap dari segi pendidikan, juga cukup menyedihkan dalam hal
keterampilan. Hal ini dikarenakan pemerintah belum melakukan penyiapan secara
konkret bagi buruh, khususnya mengenai sertifikasi. Buruh Indonesia masih
belum siap, bahkan masih bingung apa yang harus dilakukan dalam menghadapi
persaingan dengan Tiongkok. Hal ini tidak beralasan karena penyiapan yang
dilakukan pemerintah masih kurang menyasar ke buruh secara masif.
Oleh karena itu, perlu
segera memperkuat kualitas buruh Indonesia dengan pelatihan dan pendidikan
meskipun di sisi lain, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai
kebijakan. Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan, di antaranya Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan No 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia untuk menggantikan Permen No 8 Tahun
2012.
Selain itu,
melaksanakan kebijakan klinik produktivitas yang tersebar di 13 wilayah di
Indonesia, dan meningkatkan pelatihan bagi buruh Indonesia melalui Balai
Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun
demikian, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, kebijakan tersebut belum
menunjukkan hasil maksimal.
Manfaatkan dana asing
Dengan melihat
sekelumit persoalan tersebut, langkah yang harus dilakukan segera ialah
membenahi sistem pelatihan dan pendidikan berupa kurikulum. Kemudian,
berkaitan dengan peserta pelatihan dan keterampilan ialah seluruh angkatan
kerja. Dalam pelatihan dan pendidikan ini perlu dibedakan antara buruh yang
sudah bekerja dan yang akan memasuki dunia kerja. Bagi buruh yang sudah
bekerja dapat dilakukan dengan training.
Kemudian, bagi buruh yang akan memasuki dunia kerja dapat dilakukan dengan
pelatihan formal melalui sekolah dan lembaga profesi.
Potret persoalan
pelaksanaan pelatihan dan pendidikan seyogianya bukan menjadi masalah utama
bagi pemerintah daerah (pemda).
Permasalahan krusial
seperti anggaran, menurut penulis, bukan menjadi alasan untuk mengurangi
program pelatihan dan pendidikan bagi buruh Indonesia.
Solusi yang dapat
dijalankan ialah memaksimalkan uang retribusi Tenaga Kerja Asing (TKA)
sebesar US$100 per orang. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 97
Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA), bahwa uang retribusi salah
satunya dimanfaatkan untuk peningkatan pelatihan buruh Indonesia.
Uang retribusi TKA ini
cukup besar. Untuk gambaran saja, pada Agustus 2014, jumlah TKA yang tercatat
di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencapai 64.640 orang. Kemudian,
dana retribusi TKA tersebut dikelola pemda. Oleh karena itu, jika pengelolaan
dana TKA ini dapat dilakukan secara terukur untuk peningkatan kualitas buruh
di daerah-daerah, output-nya ialah buruh Indonesia memiliki daya saing.
Peningkatan daya saing
buruh Indonesia merupakan satu tuntutan dari pasar kerja. Jika daya saing
tenaga kerja Indonesia rendah dan tidak mampu bersaing, bersiaplah pangsa
pasar tenaga kerja dalam negeri akan menjadi rebutan bagi buruh Tiongkok,
bahkan di kawasan ASEAN.
Hasil penelitian Pusat
Penelitian Kependudukan 2015 di Kota Batam (Devi Asiati, dkk, 2015),
menunjukkan bahwa di industri galangan kapal telah banyak menyerap buruh dari
luar seperti Singapura.
Sertifikasi
Hak yang diterima
buruh Indonesia dan Singapura, khususnya di galangan kapal berbeda jauh. Hal
ini karena buruh Singapura memiliki sertifikat. Sertifikat ini memegang
peranan penting sebagai salah satu pengakuan sebagai pekerja terampil. Fenomena
yang terjadi Kota Batam tersebut diindikasikan juga terjadi di wilayah lain,
dan dengan industri yang bervariasi.
Oleh karena itu,
penguatan keterampilan dan sertifikasi di samping sebagai alat bagi buruh
untuk bersaing juga sebagai modal untuk bernegosiasi dengan industri agar
memperoleh upah yang tinggi. Untuk meningkatkan kualitas buruh, berbagai
stakeholder mulai dari pemerintah, asosiasi lembaga profesi, dunia industri,
hingga pendidikan bersama-sama mendorong peningkatan kualitas buruh.
Kesesuaian pelatihan
dengan kebutuhan industri yang berorientasi pasar amatlah diperlukan, agar
peserta pelatihan yang ikut terserap di dunia kerja. Di samping itu,
pelatihan yang diikuti tersebut mampu berkontribusi dalam pertumbuhan
ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar