Semangat Bela Negara Para Ilmuwan
Nanang Martono ;
Dosen Sosiologi Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
|
KORAN SINDO, 19 April
2016
Saya agak ”terganggu”
dengan pernyataan Menristek- Dikti M Nasir yang pada intinya menyatakan bahwa
pendidikan bela negara bisa mencegah lulusan terbaik bangsa Indonesia,
peneliti, dan ilmuwan di perguruan tinggi dalam negeri ”lari” ke luar negeri
atau memilih bekerja di sana.
Pernyataan tersebut
disampaikan dalam seminar ”Implementasi Revolusi Mental melalui Pemahaman
Nilai-Nilai Bela Negara di Perguruan Tinggi untuk Mewujudkan Kader
Intelektual Bela Negara” di Kemenhan, Jakarta, (29/3/2016). Atas dasar ini
pula, rencananya kurikulum bela negara akan diberikan di perguruan tinggi
(PT). Kegundahan Menristek ini memang wajar.
Dalam beberapa tahun
ke depan, Indonesia akan mengalami perubahan cukup fantastis. Negara ini akan
dibanjiri warga negara bergelar doktor, baik doktor lulusan dalam negeri
maupun luar negeri. Banyak orang pilihan yang cerdas pulang setelah mengais
ilmu dari berbagai negara, termasuk dari PT dalam negeri.
Angka statistik yang
menunjukkan jumlah warga bergelar doktor akan meningkat beberapa persen. Ini
adalah perubahan positif dan sangat membanggakan sebagai imbas alokasi
anggaran beasiswa yang terbuka sangat lebar dan ”mudah diakses” masyarakat
umum. Namun, benarkah demikian?
Kesempatan Luas
Mendapatkan beasiswa
bukanlah hal sulit bagi penduduk usia sekolah. Setelah sukses dengan program
sekolah gratis melalui BOS, pemerintah melanjutkan visinya meningkatkan
kualitas pendidikan dengan memberikan beasiswa Bidikmisi untuk sarjana.
Memang, dari sisi kuantitas, jumlah siswa miskin yang berhasil masuk ke
perguruan tinggi belum mengalami peningkatan signifikan.
Perguruan tinggi
negeri (PTN) tidak mau rugi, sehingga mereka memilih membuka kuota lebih
banyak untuk mahasiswa melalui jalur mandiri nonbeasiswa. Jalur mandiri
notabene adalah jalur yang diperuntukkan bagi mahasiswa kelas atas. Melalui
jalur ini, PTN bisa meraup anggaran puluhan hingga ratusan juta per
mahasiswa. Sementara itu, banyak PTN mengurangi jatah masuk siswa miskin
melalui jalur undangan (yang dulu disebut jalur PMDK) dan SBMPTN yang
diseleksi secara nasional.
Ini menunjukkan bahwa
PTN belum mengakomodasi kelompok siswa dari keluarga kurang mampu. SBMPTN
yang menjadi jalur masuk bagi siswa miskin pada akhirnyatetapdimonopolisiswa
dari keluarga kaya. Banyak siswa miskin tidak mampu mengikuti SBMPTN karena
biaya pendaftaran dan biaya transportasi ke lokasi ujian yang cukup mahal.
Selain itu, mekanisme
pendaftaran online juga masih menjadi kendala utama bagi sebagian besar siswa
miskin, terutama siswa di wilayah pedesaan. Kemudian, mulai 2013, pemerintah
menggulirkan anggaran triliunan rupiah yang dialokasikan untuk beasiswa
pascasarjana: program master dan doktor. Kementerian Keuangan adalah lembaga
yang mengelola anggaran tersebut melalui LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan).
Beasiswa untuk Siapa?
Jika sebelumnya
beasiswa pascasarjana hanya dimonopoli untuk dosen PT, kini masyarakat umum
dapat memanfaatkan beasiswa pascasarjana. Ini adalah angin segar bagi warga
negara yang memiliki motivasi tinggi melanjutkan studi ke jenjang master dan
doktor.
Sejatinya beasiswa
diperuntukkan bagi semua warga masyarakat yang memerlukan biaya untuk
melanjutkan studinya. Jadi, di sini sebenarnya ada dua pertimbangan pokok,
yaitu ”kemampuan ekonomi” serta ”motivasi” yang didukung dengan kecerdasan
kandidat. Kelompok masyarakat dari golongan kurang mampu seharusnya
mendapatkan alokasi yang lebih besar dalam seleksi penerima beasiswa ini.
Namun apa daya, penerima beasiswa justru masih didominasi kelompok kelas atas
(baca: orang kaya).
Dari mana saya
mendapatkan kesimpulan ini? Dengan logika sederhana; pertama, seleksi
administratif beasiswa menyaratkan nilai TOEFL/ IELTS. Masalahnya, bagaimana
masyarakat miskin bisa mengikuti ujian TOEFL/IELTS? Untuk dapat berhasil
mengikuti kedua tes tersebut, mereka perlu mengikuti pelatihan bahasa karena
kemampuan ini sedikit dipelajari di sekolah. Bahkan, mereka juga harus
mengikuti kursus persiapan TOEFL/IELTS karena kurikulum bahasa Inggris di
sekolah dan PT tidak menyiapkan mahasiswa yang ingin mengikuti tes tersebut.
Sementara untuk
masyarakat miskin, dari mana mereka mendapatkan biaya untuk ”sekadar lulus
TOEFL/IELTS”? Biaya IELTS standar internasional bisa mencapai 2,5 juta lebih.
Kemudian, tempat penyelenggaraan tes tersebut hanya ada di kota-kota
tertentu. Dengan demikian, beasiswa juga mengandung bias kelas dan ”bias
kota”. Kedua, sistem pendaftaran online. Di satu sisi, sistem ini memudahkan
tim seleksi karena mempercepat tugas mereka.
Namun di sisi lain,
ini menjadi penghambat bagi masyarakat miskin, apalagibagi merekayang tinggal
di wilayah yang belum tersentuh internet. Mereka juga memerlukan scanner
untuk mengunggah berkas pendaftaran serta harus mengakses internet atau email
untuk sekadar mengetahui pemberitahuan dari panitia serta banyak kendala
teknis lainnya. Masalah tidak berhenti di sini.
Sebelumnya, para
pelamar beasiswa harus bersusah payah mencari informasi mengenai kampus
tujuan serta mencari calon pembimbing. Ini tentu memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ini. Lembaga
penyedia beasiswa perlu mengalokasikan anggaran untuk biaya pelatihan bahasa
serta biaya tes untuk kelompok masyarakat miskin. Intinya, harus ada
”pembedaan fasilitas” yang diberikan untuk masyarakat mampu dan masyarakat
tidak mampu agar mereka samasama bisa mengakses dana beasiswa tersebut.
Sekolah memang gratis, namun untuk mendapatkan biaya gratis itu mereka
memerlukan biaya tinggi.
”Doktor Boom”
Kembali pada masalah
bela negara, setiap kebijakan tentu memberikan dampak sosial. Program
beasiswa diharapkan dapat menghasilkan lulusan berkualitas dari berbagai
disiplin ilmu dan akan kembali ”mengabdi” untuk kepentingan bangsa. Namun,
sudah siapkah pemerintah menuai benih yang mereka tanam sendiri? Apakah
kurikulum bela negara cukup ampuh menarik mereka kembali ke Tanah Air?
Dalam beberapa tahun
ke depan, Indonesia akan dipenuhi warga negara bergelar doktor. Sebagian di
antara mereka telah menempati pos-pos pekerjaan yang mapan: dosen, peneliti,
guru, dan lainnya. Masalah akan muncul ketika output penerima beasiswa
tersebut belum memiliki karier yang jelas. Mereka datang membawa gelar dan
segudang ilmu yang telah diperolehnya selama studi.
Pemerintah harus
memberdayakan kemampuan mereka. Lulusan master dan doktor dituntut mampu
mengembangkan pemikirannya. Ini tentu saja berbeda dengan kemampuan
lulusanSMA/SMKdansarjana. Posisi mereka bukanlah untuk ”pekerja teknis”.
Kemampuan berpikir seorang master dan doktor adalah lebih tinggi. Jika mereka
dituntut membuka lapangan pekerjaan baru, pemerintah juga perlu memberikan
fasilitas. Jangan salahkan mereka bila memilih berkarya di luar negeri.
Ini bukan sebatas
tuntutan gaji yang lebih besar, bukan masalah ”mereka tidak cinta Tanah Air”,
namun lebih pada penghargaan akan kemampuan personal serta penghargaan atas
hasil pemikiran anak bangsa. Sudahkah negara menghargai hasil pemikiran
mereka dan memberdayakan mereka? Salahkah bila mereka berkarya di luar
negeri? Tentu tidak asal mereka tetap berupaya keras mengabdi untuk
kepentingan bangsa.
Mereka bisa
mengembangkan pemikiran dan meluaskan jaringan sosialnya di luar negeri untuk
membangun negara. Jangan sampai jumlah doktor hanya menjadi penghias data
statistik di BPS atau sekadar memenuhi target sekian ribu doktor. Atau
pemerintah memanfaatkannya untuk mendongkrak jumlah publikasi internasional,
padahal sebenarnya negara tidak memiliki perhatian atas hasil pemikiran
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar