Rabu, 13 April 2016

Kolaborasi untuk Pendidikan Bermutu

Kolaborasi untuk Pendidikan Bermutu

Elin Driana ;   Dosen Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 11 April 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DUNIA terus berubah. Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah mengubah berbagai bidang kehidupan, termasuk interaksi antarmanusia, pola kerja, dan ragam pekerjaan. Transaksi perbankan ataupun jual beli, misalnya, cukup dilakukan dengan sentuhan jari pada gawai. Tak pelak lagi, perkembangan teknologi telah menuntut dunia pendidikan untuk berubah dan beradaptasi agar tidak menjadi usang dan tertinggal.

Dalam perhelatan tahunan The Global Education and Skills Forum (GESF) keempat (12-13 Maret 2016) di Dubai atas inisiatif Varkey Foundation, pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sektor swasta, akademisi, guru, LSM, masyarakat sipil, dan media dari berbagai negara berbagi gagasan dan pengalaman untuk lebih memahami berbagai masalah dan tantangan di dunia pendidikan serta mencari alternatif-alternatif solusi. GESF tahun ini mengambil tema Taking greater collective responsibility for public education.

Mutu pendidikan

Perbincangan kritis dalam berbagai aktivitas yang dikemas dalam forum itu mengonfirmasi berbagai kebijakan pendidikan di berbagai negara telah berhasil meningkatkan akses pendidikan meskipun belum sepenuhnya.
Di Indonesia, misalnya, angka partisipasi murni (APM) SD/MI, SMP/MTs, dan SM/MA telah meningkat dari 92,11%, 50,03%, dan 33,22% pada 1994 menjadi 96,20%, 77,45%, dan 59,46% pada 2015. Di jenjang pendidikan tinggi, APM meningkat dari 7,92% pada 1994 menjadi 17,34% pada 2015 (Badan Pusat Statistik, 2015).

Akan tetapi, mutu pendidikan masih belum memenuhi harapan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Kesenjangan antara pendidikan yang ditawarkan sekolah dan yang diharapkan masyarakat masih cukup lebar. Sebagai gambaran, data Badan Akreditasi Sekolah dan Madrasah (2015) menunjukkan 44,57% SMA di seluruh Indonesia terakreditasi A, 38,48% terakreditasi B, 15,87% terakrediatsi C, dan 1,08% tidak terakreditasi. Presentasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berjudul Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia menyebutkan pada 2012, 75% sekolah di Indonesia belum memenuhi standar pelayanan minimal. Hingga saat ini masyarakat kita pun masih memandang adanya sekolah unggulan dan bukan unggulan. Perguruan tinggi pun tampaknya menjadikan reputasi sekolah sebagai salah satu kriteria dalam seleksi calon mahasiswa baru melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).

Tidak mengherankan bila siswa berlomba-lomba untuk dapat diterima di sekolah yang dipandang bermutu itu. Terbatasnya daya tampung sekolah-sekolah yang dipandang bermutu mau tidak mau akhirnya melahirkan sistem seleksi yang antara lain ditentukan kemampuan akademik siswa melalui hasil tes terstandar, seperti UN. Sistem zonasi yang mulai diperkenalkan di beberapa daerah untuk memberikan kesempatan kepada siswa bersekolah di lingkungan tempat tinggal ternyata tidak selalu disambut positif. Tidak jarang orangtua ataupun siswa sendiri yang berpandangan bahwa sistem zonasi itu tidak adil karena membuka peluang siswa dengan nilai UN lebih rendah justru dapat diterima di sekolah unggulan karena diuntungkan lokasi rumah yang berada di zona sekolah unggulan itu. Meskipun perlu diteliti lebih lanjut, tampaknya ada pandangan di tengah-tengah masyarakat bahwa siswa-siswa yang lebih mampu secara akademiklah yang lebih berhak bersekolah di sekolah-sekolah bermutu. Padahal, Pasal 5 Ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan 'Setiap warga negara berhak atas pendidikan bermutu'.

Kolaborasi

Salah satu kata kunci yang kerap dilontarkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di tengah berbagai keterbatasan ialah kolaborasi. Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan dan Kecakapan OECD yang menjadi salah satu pembicara dalam rangkaian acara pembukaan dan pembicara dalam forum Meet the Mentor, menyatakan peningkatan mutu pendidikan dapat diupayakan, antara lain melalui peningkatan profesionalisme guru dengan membangun jejaring antarguru sehingga mereka dapat saling berbagi pengalaman dan saling mendukung untuk mencapai standar yang tinggi dalam pengajaran. Menarik minat lulusan-lulusan terbaik untuk memperkuat dunia pendidikan merupakan langkah yang penting, menurut Schleicher, tetapi akan terlalu lama. Investasi kolektif dapat segera dilakukan dengan membangun kolaborasi antarguru untuk meningkatkan profesionalisme mereka.

Merujuk pada penelitian-penelitian yang dilakukan OECD, kolaborasi profesional antarguru, menurut Schleicher, dapat dilakukan melalui team teaching, pengembangan profesional secara kolaboratif, aktivitas-aktivitas bersama, ataupun observasi kelas. Schleicher mencontohkan Shanghai, Tiongkok, yang berhasil meningkatkan kinerja pendidikan sebagaimana tecermin dalam hasil PISA (Programme for International Student Assessment) melalui peningkatan profesionalisme guru melalui kegiatan-kegiatan kolaboratif. Guru-guru di Shanghai, misalnya, mengajar sekitar 12 jam-16 jam per minggu dan menggunakan banyak waktu mereka untuk saling berbagi dengan guru-guru lain ataupun menjalin komunikasi yang intensif dengan orangtua siswa demi kesuksesan belajar anak-anak mereka.

Guru-guru di Indonesia sebenarnya telah memiliki wadah yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi, antara lain melalui kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP). Evaluasi tentunya perlu dilakukan untuk memastikan apakah KKG dan MGMP telah terlaksana sebagaimana mestinya.

Kolaborasi juga merupakan salah satu kecakapan yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran. Schleicher menyebutnya sebagai salah satu kecakapan yang relevan dengan kebutuhan abad 21, selain kreativitas, berpikir kritis, penyelesaian masalah, inovasi, pengumpulan data, dan komunikasi. Mengacu ke beberapa penelitian yang pernah dilakukan, Fadel, Bialik, dan Trilling dalam buku mereka Four-Dimensional Education: The Competencies Learners Need to Succeed (2015) menyatakan kolaborasi yang melibatkan orang-orang dengan beragam latar belakang, kecakapan, dan perspektif akan semakin dibutuhkan karena masalah dan tantangan yang dihadapi dunia menjadi semakin kompleks. Kajian metaanalisis yang dilakukan Johnson, Johnson, dan Stanne (2000) menyimpulkan pembelajaran kolaboratif lebih efektif dalam peningkatan capaian akademik daripada pembelajaran individual ataupun kompetitif. Dengan demikian, kecakapan dalam berkolaborasi semestinya dikembangkan sejak dini melalui berbagai aktivitas pembelajaran dan penilaian.

Di samping itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat sipil dapat menjadi katalisator dalam mempercepat pemerataan pendidikan yang bermutu sebagaimana disampaikan Rebecca Winthrop, Direktur Pusat Pendidikan Universal Brookings Institute, AS, yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam panel dengan topik Millions Learning: Is technology or politics more important for scaling quality learning?. Hasil kajian menunjukkan upaya-upaya percepatan pemerataan mutu pendidikan itu sebagian besar dimulai dari daerah-daerah pinggiran yang bisa dilakukan siapa saja, kemudian ide ataupun inovasi dalam pembelajaran diadopsi dan disebarkan. Inisiatif-inisiatif semacam ini tentunya dapat kita amati juga di Indonesia, baik yang dilakukan sektor swasta melalui CSR ataupun komunitas-komunitas peduli pendidikan lainnya, misalnya, pelatihan-pelatihan bagi guru ataupun pengembangan beragam materi dan media pembelajaran.

Making education everybody's own business merupakan semangat yang diusung dalam The Global Education and Skills Forum 2016 yang telah usai. Semangat itu tampaknya sejalan dengan apa yang disampaikan Menteri Anies Baswedan untuk menjadikan pendidikan sebagai sebuah 'gerakan', sebuah ikhtiar kolektif bangsa.

Akan tetapi, keterlibatan masyarakat sipil, sektor swasta, ataupun lembaga swadana masyarakat semestinya tidak membuat pemerintah pusat dan daerah terlena dan melepaskan tanggung jawab konstitusional yang diemban dalam menyelenggarakan pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar