Kolaborasi untuk Pendidikan Bermutu
Elin Driana ;
Dosen Program Studi Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr
HAMKA Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
11 April 2016
DUNIA terus berubah.
Perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, khususnya teknologi informasi
dan komunikasi, telah mengubah berbagai bidang kehidupan, termasuk interaksi
antarmanusia, pola kerja, dan ragam pekerjaan. Transaksi perbankan ataupun
jual beli, misalnya, cukup dilakukan dengan sentuhan jari pada gawai. Tak
pelak lagi, perkembangan teknologi telah menuntut dunia pendidikan untuk
berubah dan beradaptasi agar tidak menjadi usang dan tertinggal.
Dalam perhelatan
tahunan The Global Education and Skills
Forum (GESF) keempat (12-13 Maret 2016) di Dubai atas inisiatif Varkey
Foundation, pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sektor swasta,
akademisi, guru, LSM, masyarakat sipil, dan media dari berbagai negara
berbagi gagasan dan pengalaman untuk lebih memahami berbagai masalah dan
tantangan di dunia pendidikan serta mencari alternatif-alternatif solusi. GESF
tahun ini mengambil tema Taking greater
collective responsibility for public education.
Mutu pendidikan
Perbincangan kritis
dalam berbagai aktivitas yang dikemas dalam forum itu mengonfirmasi berbagai
kebijakan pendidikan di berbagai negara telah berhasil meningkatkan akses
pendidikan meskipun belum sepenuhnya.
Di Indonesia,
misalnya, angka partisipasi murni (APM) SD/MI, SMP/MTs, dan SM/MA telah
meningkat dari 92,11%, 50,03%, dan 33,22% pada 1994 menjadi 96,20%, 77,45%,
dan 59,46% pada 2015. Di jenjang pendidikan tinggi, APM meningkat dari 7,92%
pada 1994 menjadi 17,34% pada 2015 (Badan Pusat Statistik, 2015).
Akan tetapi, mutu
pendidikan masih belum memenuhi harapan para pemangku kepentingan di dunia
pendidikan. Kesenjangan antara pendidikan yang ditawarkan sekolah dan yang
diharapkan masyarakat masih cukup lebar. Sebagai gambaran, data Badan
Akreditasi Sekolah dan Madrasah (2015) menunjukkan 44,57% SMA di seluruh
Indonesia terakreditasi A, 38,48% terakreditasi B, 15,87% terakrediatsi C,
dan 1,08% tidak terakreditasi. Presentasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Anies Baswedan berjudul Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia menyebutkan
pada 2012, 75% sekolah di Indonesia belum memenuhi standar pelayanan minimal.
Hingga saat ini masyarakat kita pun masih memandang adanya sekolah unggulan
dan bukan unggulan. Perguruan tinggi pun tampaknya menjadikan reputasi sekolah
sebagai salah satu kriteria dalam seleksi calon mahasiswa baru melalui jalur
seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).
Tidak mengherankan
bila siswa berlomba-lomba untuk dapat diterima di sekolah yang dipandang
bermutu itu. Terbatasnya daya tampung sekolah-sekolah yang dipandang bermutu
mau tidak mau akhirnya melahirkan sistem seleksi yang antara lain ditentukan
kemampuan akademik siswa melalui hasil tes terstandar, seperti UN. Sistem
zonasi yang mulai diperkenalkan di beberapa daerah untuk memberikan
kesempatan kepada siswa bersekolah di lingkungan tempat tinggal ternyata
tidak selalu disambut positif. Tidak jarang orangtua ataupun siswa sendiri
yang berpandangan bahwa sistem zonasi itu tidak adil karena membuka peluang
siswa dengan nilai UN lebih rendah justru dapat diterima di sekolah unggulan
karena diuntungkan lokasi rumah yang berada di zona sekolah unggulan itu. Meskipun
perlu diteliti lebih lanjut, tampaknya ada pandangan di tengah-tengah
masyarakat bahwa siswa-siswa yang lebih mampu secara akademiklah yang lebih
berhak bersekolah di sekolah-sekolah bermutu. Padahal, Pasal 5 Ayat (1) UU No
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan 'Setiap
warga negara berhak atas pendidikan bermutu'.
Kolaborasi
Salah satu kata kunci
yang kerap dilontarkan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di tengah
berbagai keterbatasan ialah kolaborasi. Andreas Schleicher, Direktur
Pendidikan dan Kecakapan OECD yang menjadi salah satu pembicara dalam
rangkaian acara pembukaan dan pembicara dalam forum Meet the Mentor,
menyatakan peningkatan mutu pendidikan dapat diupayakan, antara lain melalui
peningkatan profesionalisme guru dengan membangun jejaring antarguru sehingga
mereka dapat saling berbagi pengalaman dan saling mendukung untuk mencapai
standar yang tinggi dalam pengajaran. Menarik minat lulusan-lulusan terbaik
untuk memperkuat dunia pendidikan merupakan langkah yang penting, menurut
Schleicher, tetapi akan terlalu lama. Investasi kolektif dapat segera
dilakukan dengan membangun kolaborasi antarguru untuk meningkatkan
profesionalisme mereka.
Merujuk pada
penelitian-penelitian yang dilakukan OECD, kolaborasi profesional antarguru,
menurut Schleicher, dapat dilakukan melalui team teaching, pengembangan
profesional secara kolaboratif, aktivitas-aktivitas bersama, ataupun
observasi kelas. Schleicher mencontohkan Shanghai, Tiongkok, yang berhasil
meningkatkan kinerja pendidikan sebagaimana tecermin dalam hasil PISA (Programme for International Student
Assessment) melalui peningkatan profesionalisme guru melalui
kegiatan-kegiatan kolaboratif. Guru-guru di Shanghai, misalnya, mengajar
sekitar 12 jam-16 jam per minggu dan menggunakan banyak waktu mereka untuk
saling berbagi dengan guru-guru lain ataupun menjalin komunikasi yang intensif
dengan orangtua siswa demi kesuksesan belajar anak-anak mereka.
Guru-guru di Indonesia
sebenarnya telah memiliki wadah yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi,
antara lain melalui kelompok kerja guru (KKG) dan musyawarah guru mata
pelajaran (MGMP). Evaluasi tentunya perlu dilakukan untuk memastikan apakah
KKG dan MGMP telah terlaksana sebagaimana mestinya.
Kolaborasi juga
merupakan salah satu kecakapan yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran. Schleicher
menyebutnya sebagai salah satu kecakapan yang relevan dengan kebutuhan abad
21, selain kreativitas, berpikir kritis, penyelesaian masalah, inovasi,
pengumpulan data, dan komunikasi. Mengacu ke beberapa penelitian yang pernah
dilakukan, Fadel, Bialik, dan Trilling dalam buku mereka Four-Dimensional Education: The Competencies Learners Need to Succeed
(2015) menyatakan kolaborasi yang melibatkan orang-orang dengan beragam latar
belakang, kecakapan, dan perspektif akan semakin dibutuhkan karena masalah
dan tantangan yang dihadapi dunia menjadi semakin kompleks. Kajian
metaanalisis yang dilakukan Johnson, Johnson, dan Stanne (2000) menyimpulkan
pembelajaran kolaboratif lebih efektif dalam peningkatan capaian akademik
daripada pembelajaran individual ataupun kompetitif. Dengan demikian,
kecakapan dalam berkolaborasi semestinya dikembangkan sejak dini melalui
berbagai aktivitas pembelajaran dan penilaian.
Di samping itu,
kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan
masyarakat sipil dapat menjadi katalisator dalam mempercepat pemerataan
pendidikan yang bermutu sebagaimana disampaikan Rebecca Winthrop, Direktur
Pusat Pendidikan Universal Brookings Institute, AS, yang tampil sebagai salah
satu pembicara dalam panel dengan topik Millions
Learning: Is technology or politics more important for scaling quality
learning?. Hasil kajian menunjukkan upaya-upaya percepatan pemerataan
mutu pendidikan itu sebagian besar dimulai dari daerah-daerah pinggiran yang
bisa dilakukan siapa saja, kemudian ide ataupun inovasi dalam pembelajaran
diadopsi dan disebarkan. Inisiatif-inisiatif semacam ini tentunya dapat kita
amati juga di Indonesia, baik yang dilakukan sektor swasta melalui CSR
ataupun komunitas-komunitas peduli pendidikan lainnya, misalnya,
pelatihan-pelatihan bagi guru ataupun pengembangan beragam materi dan media
pembelajaran.
Making education everybody's own business merupakan semangat
yang diusung dalam The Global Education
and Skills Forum 2016 yang telah usai. Semangat itu tampaknya sejalan
dengan apa yang disampaikan Menteri Anies Baswedan untuk menjadikan
pendidikan sebagai sebuah 'gerakan', sebuah ikhtiar kolektif bangsa.
Akan tetapi,
keterlibatan masyarakat sipil, sektor swasta, ataupun lembaga swadana
masyarakat semestinya tidak membuat pemerintah pusat dan daerah terlena dan
melepaskan tanggung jawab konstitusional yang diemban dalam menyelenggarakan
pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar