Collaborative Schooling
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
11 April 2016
ISTILAH collaborative schooling sebenarnya
kurang banyak digunakan dalam praktik kependidikan di Indonesia. Yang sering
didengar ialah istilah collaborative
teaching, yakni praktik mengajar dikemas sedemikian rupa melalui sebuah
proses kerja sama antarguru, siswa, dan stakeholders lain yang dipandang
baik. Praktik ini semata merupakan bagian dari strategi pengajaran yang
berusaha ingin lebih mendekatkan siswa terhadap fakta-fakta sosial yang ada
di sekitar mereka. Proses kolaborasi hanya terjadi di antara para guru dan
siswa secara terus-menerus, yakni akhir dari proses ini diharapkan akan
menumbuhkan kesadaran siswa untuk mau bekerja sama.
Terminologi collaborative schooling sebenarnya
merupakan kritik dari kondisi aktual kualitas pendidikan kita di Tanah Air
yang belum merata hingga saat ini. Sekolah-sekolah yang dianggap baik oleh
masyarakat, setidaknya dalam 25 tahun terakhir ini, tak pernah berubah. Dalam
satu kota/kabupaten, biasanya sekolah yang dianggap baik kualitas atau
mutunya oleh masyarakat hanya satu atau dua sekolah. Ini artinya
sekolah-sekolah unggulan itu tidak pernah mempraktikan terminologi collaborative schooling karena tak
ingin dikalahkan oleh sekolah lain.
Sistem pendidikan kita
lebih mengedepankan kompetensi antarsiswa dan sekolah daripada mempraktikkan
kolaborasi antarsiswa dan sekolah.
Praktik kecil
Praktik kecil
ketiadaan kolaborasi antarsekolah yang berimbas kepada ketiadaan kolaborasi
antarsiswa sebenarnya bisa dilihat dari kebijakan rangking siswa pada setiap
kelas dan sekolah. Sekolah dan bahkan orangtua, jika mereka pergi ke sekolah
untuk menerima rapor dan evaluasi hasil belajar anak-anak mereka, hal
tersering yang ditanyakan adalah anaknya rangking berapa di dalam kelas. Praktik
kecil ini sesungguhnya seperti sedang menanamkan kompetisi yang tidak sehat
di tingkat sekolah dan siswa karena mereka memandang siswa lain sebagai kompetitor
dan sekolah lain sebagai saingan. Efeknya ialah setiap sekolah berusaha
mempertahankan posisi tersebut secara membabi buta karena tak ingin tersaingi
oleh siswa lain dan bahkan sekolah lain.
Kondisi sini harus terus kita
kritik dan ingatkan bahwa sistem pendidikan nasional tidak boleh
memperlakukan siswa secara diskriminatif berdasarkan rangking kognisi semata,
dan pada waktu yang bersamaan menilai sekolah lain rendah kualitasnya karena
capaian akademik mereka berbeda-beda dalam waktu yang cukup lama. Ini artinya
rata-rata sekolah kita, dalam hal yang menyangkut proses belajar-mengajar
kurang menghargai proses yang positif. Pendidikan di sekolah sepertinya sama
saja dengan industri yang bak sebuah mesin, memperlakukan anak-anak sebagai
bahan baku yang siap dicetak menjadi orang yang hanya siap bekerja di pabrik.
Karena lebih mementingkan pendekatan kognitif, sekolah dalam sistem
pendidikan kita saat ini sangat mendorong para siswa untuk menjadi
manusia-manusia individualis yang lupa bahwa sesungguhnya mereka ialah
makhluk sosial.
Di sekolah, pendekatan
pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek daya saing (competitive), sebuah budaya untuk
mengalahkan dan menyisihkan orang lain sehingga menimbulkan banyak sekali
pelabelan seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus,
sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh
menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi. Karena
itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire mengganggap bahwa
proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat para guru
membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka.
Padahal, menciptakan
jejaring (networking) dan
kolaborasi antarsekolah sangat dibutuhkan dalam rangka menciptakan partnership antara satu sekolah dan
sekolah yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber
belajar bersama (common learning
resources center), misalnya, sebuah sekolah harus menawarkan diri kepada
sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar
mengajar. Tujuan dari strategi ini ialah dalam rangka memberikan ruang yang
luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari
lingkungan sekitar, yang akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai
lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses
pendidikan.
Investasi
Mari kita bersama-sama
mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan
denga cara kompetisi menjadi kesadaran yang menghargai kolaborasi. Pendidikan
kita membutuhkan kesadaran sekaligus kesediaan para guru dan orangtua untuk
terlibat secara aktif dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan
anak-anak kita secara benar dan bertanggung jawab. Kesadaran dan kesediaan
untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan adalah proses investasi berjangka
panjang yang membutuhkan kerja sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras.
Ada banyak bukti yang
dapat membawa kita pada kesimpulan, bahwa bangsa ini mencintai kerja keras
dan kesungguhan untuk terus mau belajar. James Tooley (2013) dalam The Beautiful Tree: a personal journey
into how the world's poorest people are educating themselves,
mengonfirmasi beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem
pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka.
Kehidupan adalah soal
menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang, dan
sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan,
termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak agar mau bekerja sama,
bekerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh.
Selain itu, jika kita
melihat tools dalam mekanisme system
thinking, jelas sekali kebijakan pemerataan kualitas berbasis kompetisi
harus dievaluasi secara komprehensif berdasarkan tangga inferensi (ladder of inference) agar kebijakan
tersebut terhindari dari jumping to
conclusions terlalu dini, tanpa menimbang aspek assessment dan analisis data yang valid. Karena seringkali
terlihat bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh Kemendikbud terkesan tanpa
data, tetapi cenderung lebih memercayai asumsi dan konklusi personal
tertentu, apakah itu menteri, dirjen dan para direktur.
Kita perlu tahu secara
sederhana, apakah kebijakan tersebut memang merupakan kebutuhan mendasar bagi
setiap peserta didik.
Dengan menggunakan the ladder of inference sebagai tool untuk melihat logika di balik
setiap kebijakan publik, kita berharap Kemendikbud memiliki wisdom yang cukup untuk rela dan
ikhlas dikritik dan mau berubah. Meskipun alat ini sangat berbau psikologis
karena memang diperkenalkan oleh seorang psikolog bernama Chris Argyris,
tetapi pendekatan the ladder of inference menjadi begitu dinamis ketika
digunakan oleh Peter Senge (2001) dalam The
Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. Tools ini sangat berguna bagi setiap
pengambil kebijakan publik karena menggambarkan proses berpikir kita yang
terkadang tanpa menimbang data, melihat fakta, dan mendengar berita, tetapi
langsung menjadi keputusan dan aksi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar