Panama Papers, Tax Haven, dan
Momentum Amnesti Pajak
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM; Dosen Tamu di Universitas Osnabruck, Jerman
|
MEDIA INDONESIA,
11 April 2016
TERUNGKAPNYA dokumen Panama Papers, yakni ribuan orang
Indonesia tercantum di sana memiliki rekening dan perusahaan di luar negeri,
bisa dilihat dari dua perspektif, negatif dan positif. Dokumen Panama Papers
berisi 11,5 juta dokumen rahasia dari 214 ribu perusahaan di luar negeri yang
dicatat perusahaan jasa Mossack Fonseca di Panama.
Mengapa terjadi dana
orang Indonesia 'parkir' di luar negeri? Hal yang paling esensial ialah
mereka ingin menikmati pajak yang murah (tax
haven). Biasanya ada negara-negara kecil yang memberikan pajak murah,
misalnya Swiss, Luksemburg, British Virgin Islands, Cayman Islands, dan
lain-lain.
Negara-negara kecil
tersebut mengenakan pajak murah karena dua hal.
Pertama, dalam rangka
memberi daya tarik besar untuk menarik dana asing karena mereka tidak
memiliki daya saing lain. Kedua, mereka tidak perlu membangun banyak
infrastruktur karena luas wilayahnya kecil sehingga tidak perlu agresif
menarik pajak.
Tidak seperti
Indonesia yang harus mendanai besar-besaran untuk membangun banyak
infrastruktur. Jadi, negara-negara tax
haven tersebut tidaklah sebanding (apple
to apple) terhadap negara-negara yang wilayahnya luas. Fenomena tax haven tidak cuma dimanfaatkan
individu untuk mendapatkan pajak murah perorangan, tapi juga untuk
menghindari pajak pada perusahaan (transfer
pricing).
Perspektif standar
kita terhadap fenomena ini tentu saja negatif. Jika data tersebut sebagian
besar valid (kemungkinan besar memang mengarah ke sana), interpretasinya
adalah banyak orang Indonesia lebih suka mendirikan perusahaan serta menyimpan
dananya di luar negeri.
Artinya, ada sejumlah
potensi ekonomi yang hilang, yang mestinya dapat kita manfaatkan di dalam
negeri.
Sudah lama kita
ketahui, negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki masalah besar
berupa saving-investment gap, yakni
mobilisasi dana masyarakat di dalam negeri (saving atau funding) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
investasi (loan atau lending). Maka, terjadi celah yang
lebar di antara keduanya.
Berdampak likuiditas
Salah satu
implikasinya, suku bunga menjadi tinggi karena likuiditas terbatas yang
dimiliki masyarakat harus diberi insentif yang lebih besar agar mau disimpan
di dalam sistem perbankan kita. Ini ialah analisis atau penjelasan yang
paling standar, selain penyebab lain seperti inflasi yang belum bisa ditekan
rendah hingga mengapa suku bunga perbankan Indonesia masih tinggi. Seandainya
saja likuiditas orang Indonesia yang berada di luar negeri tersebut disimpan
di dalam negeri, akan terjadi likuiditas yang berlimpah. Akibatnya, sesuai
teori ekonomi, dana yang jumlahnya banyak tersebut akan bisa menekan suku
bunga turun.
Berapa jumlah dana
orang Indonesia di luar negeri? Tidak mudah menebaknya karena dana-dana itu
berada di luar negeri tanpa 'pamit', alias tidak tercatat dengan baik,
terutama yang terjadi di masa lalu ketika negara-negara belum peduli soal
korupsi dan lalu lintas dana hasil kejahatan. Konsultan manajemen
internasional McKinsey memperkirakan angka Rp3.250 triliun merupakan
akumulasi dana dari 1990-an. Sebagai pembanding, jumlah dana masyarakat yang
tersimpan ke dalam sistem perbankan kita saat ini 'cuma' Rp4.500 triliun.
Jadi, jika keduanya
digabungkan akan terdapat dana di bank sebanyak Rp7.750 triliun. Sementara
itu, kredit yang diberikan bank-bank kita cuma Rp4.100 triliun. Bisa dibayangkan,
jika dana orang Indonesia dapat ditarik masuk, suku bunga deposito dan kredit
pasti akan turun di bawah 10%, sebagaimana yang dicita-citakan pemerintah
saat ini.
Perkiraan yang lebih
agresif diberikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Dia memperkirakan
dana orang Indonesia bahkan melebihi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
yang pada akhir 2015 tercatat Rp11.600 triliun. Fenomena orang Indonesia
menyimpan di luar negeri (terbanyak di British Virgin Island dan Singapura)
sudah terjadi sejak 1970-an. Dengan asumsi rupiah sudah mengalami banyak
devaluasi dan depresiasi, ketemu angka yang jauh lebih besar, yakni di atas
Rp11.600 triliun.
Asumsi bahwa orang
Indonesia mulai menyimpan dananya sejak 1970-an cukup masuk akal juga karena
saat itu, kita sudah mulai mengalami 'rezeki minyak', yakni fenomena kenaikan
harga minyak yang disebabkan berbagai perang di Timur Tengah. Indonesia saat
itu masih menjadi negara penghasil minyak yang signifikan. Pada momentum
inilah mulai muncul orang-orang kaya yang mendapatkan manfaat dari bisnis
minyak.
Sesudah itu, rupiah
mengalami beberapa kali devaluasi (1978, 1983, dan 1986) dan selanjutnya
depresiasi (terutama sejak 1997).
Ada ketidakseimbangan
Faktor lain yang
membuat 'pelarian dana' orang Indonesia menjadi lebih besar ialah tatkala
mereka membeli aset-aset fisik seperti rumah dan tanah. Nilainya terus naik,
baik dalam mata uang internasional maupun (apalagi) rupiah. Meski demikian,
saya menduga asumsi Menkeu bahwa dana orang Indonesia melebihi PDB, rasanya
terlalu besar. Namun, kita sulit membuktikannya dan cuma bisa meraba-raba.
Selain soal suku bunga
tinggi, rendahnya likuiditas di dalam negeri juga memaksa kita untuk
berutang. Kalau saja dana orang Indonesia yang diparkir di luar negeri dalam
jangka panjang tersebut diparkir di sini juga dalam jangka panjang, dananya
bisa dipakai untuk membangun infrastruktur. Selama ini perbankan Indonesia
mengalami ketidakseimbangan (mismatch)
dalam pembiayaan infrastruktur.
Kredit infrastruktur
selalu berjangka panjang (karena infrastruktur memerlukan balik modal dalam
tempo puluhan tahun), sementara dana masyarakat yang masuk ke perbankan lebih
banyak dalam jangka pendek (tenornya cuma beberapa tahun, bahkan hitungan
bulan).
Tidak semua 'pelarian
dana' (capital flight) tersebut
bermaksud jelek sekadar menghindari pajak dan transfer pricing. Ada pula yang secara 'alamiah' kabur karena
peristiwa politik dan kekerasan yang tidak terduga, misalnya kerusuhan Mei
1998. Sebagian masyarakat terpaksa mengungsi ke luar negeri, baik fisiknya
maupun uangnya, yang belum kembali ke Tanah Air hingga kini.
Momentum pengungkapan
data Panama Papers agaknya dapat memberi tambahan semangat bagi Kementerian
Keuangan, bahwa dana orang Indonesia tersebut benar-benar ada. Apakah jumlahnya
seperti diprediksikan McKinsey (Rp3.250 triliun) ataukah Menkeu Bambang
Brodjonegoro (di atas Rp11.600 triliun), yang penting dana tersebut
benar-benar ada bukan cuma ilusi. Sebagian dana tersebut tidak semuanya
likuid (sudah berupa properti dan tanah), taruhlah kita pegang asumsi yang
konservatif, yakni angka McKinsey, berarti akan ada dana (sebagian besar
tunai) Rp3.250 triliun yang berada di luar negeri.
Tentu saja, dana
sebesar itu tidak serta-merta dapat segera dipulangkan.
Dengan insentif fasilitas
pengampunan pajak (tax amnesty),
katakanlah akan terjadi repatriasi Rp1.000 triliun, atau sekitar US$77
miliar. Ini jumlah yang sangat signifikan untuk menambah cadangan devisa yang
saat ini US$107,5 miliar. Jika ini terjadi, dampak positifnya ialah rupiah
akan menguat dan stabil. Sementara itu, anggaran pemerintah (APBN) juga akan
terbantu dengan pengenaan pajak rendah yang diberikan kepada masuknya kembali
dana orang-orang Indonesia tersebut. Defisit APBN bisa ditekan rendah
maksimal 2,5% terhadap PDB.
Inilah saatnya kita
memandang dana dan perusahaan orang Indonesia ini sebagai potensi besar
pembangunan ekonomi kita. Tugas pemerintah untuk memulangkan mereka dengan
langkah persuasi dan memberikan pengampunan pajak. Parlemen harus melihat ini
secara jernih, tidak menengok masa lalu dan selalu mengorek-ngorek 'luka
lama' mengapa pelarian dana bisa terjadi di masa lalu. Bukan cuma Indonesia
yang menderita fenomena ini, tapi hampir seluruh dunia. Ada negara-negara
yang memang menarik-narik pemilik dana melalui skema tax haven dan ada pula
pemilik dana yang terpancing.
Sekarang saatnya kita
fokus mengembalikan potensi tersebut menjadi kekuatan likuiditas di dalam
negeri untuk membangun dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika arus dana itu
mengalir masuk, pemerintah tidak perlu lagi capai-capai kampanye penurunan
suku bunga bank serta kesulitan likuiditas jangka panjang mendanai
infrastruktur. Hal-hal itu akan datang secara otomatis.
Cara berpikir positif
terhadap terungkapnya Panama Papers adalah para pemilik dana dari Indonesia
di luar negeri kini mulai digugah kesadarannya, bahwa sebenarnya mereka bisa
berkontribusi terhadap pembangunan di negerinya. Syaratnya cuma satu, mereka
perlu diberi insentif berupa pengampunan pajak dulu. Karena itu, kini bola
berada di tangan DPR dan pemerintah untuk segera melahirkan UU Amnesti Pajak.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar