Pemuda dan Pembangunan Pertanian
Posman Sibuea ; Guru Besar Ilmu Pangan
di Unika Santo Thomas Sumatera
Utara, Medan
|
KOMPAS,
04 November 2015
Saat ini pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla dituntut mampu membawa Indonesia berswasembada beras
pada 2017. Sayangnya, dari laporan Sensus Pertanian 2013, pemuda yang bekerja
di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan.
Selama satu dekade
(2003– 2013) jumlah keluarga petani, termasuk kelompok usia muda di dalamnya,
menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.
Urbanisasibesar-besaran
kaum muda ke kota tak terbendung. Yang mengurusi pertanian di desa tinggal
perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia. Lebih ironis lagi, hampir tak ada
orangtua dari keluarga petani yang berharap anaknya menggeluti pertanian. Tak
mengherankan, kontribusi sektor pertanian makin turun terhadap produk
domestik bruto (PDB). Tingginya laju alih fungsi lahan dan menurunnya jumlah
tenaga produktif di sektor pertanian membuat produksi padi (2014) menurun 0,45
juta ton (0,63 persen) dibandingkan dengan tahun 2013 (BPS, 2014).
Perwujudan swasembada
beras pada 2017 mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah membuka keran impor
beras 1,5 juta ton. Target Kementerian Pertanian yang menetapkan produksi
gabah kering giling (2015) sebanyak 75,55 juta ton—meningkat 6,64 persen dari
produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton—diragukan keberhasilannya. Sektor
pertanian yang diharapkan dapatmengulang prestasi besar tahun 1984:
swasembada beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan
kandas jika tak ada upaya revolusioner di sektor pertanian.
Satu tahun
pemerintahan Jokowi-Kalla kondisi pembangunan pertanian masih stagnan.
Kemampuan petani menguasai teknologi pertanian masih rendah. Sebagian besar
petani lokal masih mengandalkan alat tradisional. Untuk mengolah lahan,
misalnya, petani masih menggunakan tenaga kerbau untuk menarik luku. Hal yang
kurang lebih sama ditemukan untuk pemupukan dan pemanenan.
Swasembada beras yang
ditargetkan itu punjadi sebuah mimpi! Penggunaan teknologi tradisional,
selain hasil yang diperoleh tak optimal, juga membuat perpindahan tenaga
kerja dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa di kota. Di mata
pemuda desa, sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Ini membuat sektor
pertanian jauh tertinggal dibandingkan dengan tetangga—Malaysia dan
Thailand—yang kondisi awalnya tak berbeda jauh dengan Indonesia.
Lambatnya perkembangan
modernisasi pertanian di Indonesia tak lepas dari pro-kontra kehadiran alat
mesin tani di tengah masyarakat petani. Saat diperkenalkan pada 1967, tenaga
kerja di sektor pertanian relatif masih banyak. Jika traktor digunakan, akan
terjadi pengangguran sebanyak selisih waktu masing-masing untuk setiap
pengerjaan 1 hektar sawah.
Namun, seiring
perkembangan teknologi, sektor pertanian dengan teknologi tradisional tak
lagi memikat hati pemuda berpendidikan tinggi. Bidang pertanian pangan
dianggap kurang bergengsi dan jadi sumber kemiskinan. Sektor pertanian yang
umumnya di desa dikenal sebagai pekerjaan melelahkan, panas, dan berlumpur
kotor, tetapi hasilnya tak sebanding dengan tenaga tercurah. Profesi petani
merupakan status sosial yang dipandang rendah dan tak punya posisi tawar di
masyarakat.
Konsolidasi lahan
Minat pemuda yang kian
menurun pada sektor pertanian harus segera dijembatani secara baik.
Dibutuhkan upaya revolusioner untuk menyeimbangkan tenaga kerja di sektor
pertanian dengan luas lahan. Mekanisasi dalam pengolahan lahan dan pemanenan,
misalnya, merupakan alternatif terbaik saat ini.
Bagaimana penerapan
mekanisasi pertanian? Kondisi faktual, mekanisasi pertanian tak bisa
diterapkan efektif pada lahan sawah berpetak kecil-kecil di bawah 0,5 ha. De facto kebanyakan petani punya lahan
sawah tak lebih dari 0,5 ha dan memiliki perbedaan kemiringan yang cukup
mencolok. Ini menyulitkan mendapat petak sawah dengan topografi benar-benar
datar.
Untuk pengolahan lahan
secaramekanisasi perlu penataan hamparan sawah yang terdiri atas banyak petak
sawah berukuran kecil kemudian dibuat jadi satu hamparan luas dan utuh.Sistem
konsolidasi lahan ini jadi kata kunci. Memercayakan pengelolaan lahan kepada
kelompok taniyang mampu menggarap lahan dengan mekanisasi akan menjamin
keberhasilan pembangunan pertanian.
Sebagai gambaran, jika
50 keluarga petani dengan luas lahan 0,3–0,8 ha digabung dan didesain jadi
satu kelompok tani, akan diperoleh satu hamparan lahan luas dan utuh tanpa
dibatasi pematang yang memungkinkan diterapkan mekanisasi pertanian secara
penuh. Penggabungan ini mempermudah pengelolaan usaha tani: pengolahan lahan,
pola tanam serentak, pemupukan, irigasi, pemberantasan hama penyakit,
pemanenan, dan pemasaran hasil. Manajemen usaha tani seperti ini akan memberi
nilai tambah dan menjadi daya tarik sektor pertanian.
Tentu harus ada
jaminan pemerintah bahwa tak ada rekayasa yang menghilangkan hak kepemilikan
atas lahan sawah masing- masing. Hak kepemilikan atas lahan tetap dikuasai
petani dengan sertifikat yang tetap dipegang pemilik lahan.
Gagasan konsolidasi
lahan patut diwujudkan di sentra pertanian guna mendorong bangkitnya
modernisasi pertanian dan perwujudan mimpi besar swasembada beras.
Mentransformasi sektor pertanian secara terencana akan meningkatkan nilai
tambah produk pertanian dan penciptaan lapangan kerja melalui industrialisasi
hasil pertanian sekaligusmenarik minatpemuda bekerja di sektor pertanian
pangan yang selama ini sibuk mencari kerja di kota besar.
Yang tak kalah
penting, pemerintah harus menyiapkan perluasan lahan pertanian
pangan—membagikan lahan 9 juta ha kepada petani, seperti dijanjikan Jokowi,
kering maupun sawah. Sektor pertanian akan jadi jalan perubahan untuk
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar