Mengawasi Pelayanan Publik
Amzulian Rifai ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
Palembang
|
KOMPAS,
04 November 2015
Ada kaitan erat antara
pelayanan publik dan korupsi. Kecenderungannya, negara-negara yang rendah
tingkat korupsinya memiliki kualitas pelayanan publik tinggi. Di Indonesia,
pengawasan pelayanan publik sangat diperlukan karena angka korupsi tinggi
dengan kualitas pelayanan publik rendah.
Salah satu tujuan
negara modern adalah menghadirkan negara hukum yang demokratis dan sejahtera.
Banyak cara dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Beberapa negara
memulai kebijakannya dengan memberikan perhatian yang besar terhadap
pelayanan publik. Mereka meyakini pelayanan publik rentan terhadap berbagai
penyimpangan, termasuk di antaranya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Urgensi pengawasan
Berbagai survei
terkait dengan tingkat kepuasan pelanggan (stakeholders; para pemangku kepentingan) selalu terkait erat
dengan kualitas pelayanan publik. Negara-negara yang pelayanan publiknya sangat
baik dapat dipastikan mendapatkan nilai kepuasan pelanggan yang tinggi.
Dalam soal survei
kepuasan pelanggan ini biasanya negara-negara Skandinavia selalu mendominasi.
Di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Singapura yang mampu sejajar
dengan negara-negara utama di dunia.
Bahkan, beberapa waktu
lalu Bank dunia menerbitkan laporan berjudul Doing Business 2016: Measuring Regulatory Quality and Efficiency
terhadap 189 negara. Dalam laporan ini Singapura berada pada posisi nomor
satu di antara 189 negara sebagai negara paling bersahabat untuk berbisnis (the most friendly in doing business)
di tahun 2016. Posisi selanjutnya ditempati Selandia Baru, Denmark, Korea
Selatan, Hongkong, Inggris, dan AS. Salah satu keunggulan Singapura ada pada
pelayanan publik, yang merefleksikan kualitas sumber daya manusia dan
birokrasi mereka yang sangat baik.
Justru karena kita
sedang berusaha keras memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), relevan untuk mengaitkannya dengan pelayanan publik. Selama ini
terkesan kita hanya fokus pada penindakan terhadap para koruptor.
Ironisnya, kuantitas
dan kualitas korupsi itu terkesan belum berkurang secara signifikan, kalau
tak ingin dikatakan cenderung kian menjadi-jadi. Buktinya? Masih ada petinggi
negeri yang sering berkampanye anti korupsi ternyata terjaring dalam operasi
tangkap tangan KPK.
Sudah waktunya fokus
kita harus juga pada pelayanan publik. Harus ada mekanisme pengawasan yang
efektif. Keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik niscaya
akan dapat ikut menekan praktik-praktik korupsi.
Justifikasi lain
urgensi pengawasan ini karena efektivitas pengawasan dapat melahirkan
kepatuhan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar kelompok masyarakat.
Misalnya, sejak lama negara kita tergolong bukanlah ”bangsa yang ramah” (friendly nation) untuk para penyandang
cacat dan penduduk usia lanjut. Sedikit sekali fasilitas umum yang
mempertimbangkan kebutuhan khusus bagi kelompok ini.
Mesti ada pengawasan
untuk menjamin komitmen terhadap warga cacat dan orang tua yang berusia
lanjut. Pengawasan yang ketat terhadap pelayanan publik dapat memaksa
penyelenggara negara/pemerintahan memenuhi berbagai kebutuhan/fasilitas
publik.
Lembaga Ombudsman
Memperbincangkan soal
pengawasan publik membawa kita pada pembahasan soal Ombudsman Republik
Indonesia. Ombudsman RI adalah lembaga negara yang independen, yang tidak
memiliki hubungan organik dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya.
Mengacu kepada UU
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, jelas di sana dinyatakan bahwa tujuan
pembentukan lembaga ini untuk memberikan pengawasan pada pelaksanaan
pelayanan publik. Negara meyakini bahwa harus ada pengawasan terhadap
pelaksanaan pelayanan publik.
UU Ombudsman secara
tegas menyatakan bahwa lembaga ini memiliki tugas melakukan pengawasan
terhadap pelayanan publik secara luas. Obyek pengawasannya terhadap semua
kementerian negara, BUMN/BUMD, serta sebagian lembaga swasta dengan
batas-batas tertentu.
Negara-negara
Skandinavia, misalnya, yang sejak awal memfungsikan lembaga ombudsman dengan
baik, memiliki tradisi penerapan aturan hukum (the rule of law) yang baik pula. The Rule of Law Index 2015 menempatkan empat negara dengan posisi
tertinggi di dunia, secara berurutan adalah Denmark, Norwegia, Swedia, dan
Finlandia. Sementara Indonesia menempati urutan ke-52, di bawah Singapura
yang menempati urutan ke-9, Jepang di posisi ke-13, dan Malaysia di posisi
ke-39.
Sebagai perbandingan,
Ombudsman Denmark yang saat ini berpedoman pada UU Ombudsman Nomor 473 Tahun
1996 (sebelumnya diatur dalam UU Tahun 1954) telah berdiri sejak 1955, yang
dikenal juga dengan istilah The Folketingets Ombudsman atau Parliamentary
Commisioner. Di sana ditegaskan bahwa Ombudsman Denmark haruslah seorang
sarjana hukum. Namun, Ombudsman Denmark tidak memiliki yurisdiksi terhadap
lembaga peradilan (courts of justice).
Salah satu kelebihan
Ombudsman Denmark adalah dapat melibatkan kejaksaan sebagai tindak lanjut
rekomendasinya. Mereka dapat meminta jaksa penuntut umum melakukan penyidikan
atau melakukan penuntutan di pengadilan. Bahkan mereka dapat memerintahkan
dilakukan proses peradilan khusus terhadap penyelenggara pemerintahan
terkait.
Sebagai upaya
meningkatkan kewibawaan, Ombudsman Denmark tidak sungkan-sungkan memberikan
kritik terbuka, sekalipun penyelidikan suatu kasus belum final. Mereka
memiliki kebebasan yang luas untuk berkomentar.
Mungkin karena
pelaksanaan/penegakan yang kuat dari rekomendasinya, Ombudsman Denmark
mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakatnya. Setidaknya mereka menerima
20.000 kasus setiap tahun. Bahkan keputusan-keputusan ombudsman diyakini oleh
masyarakat Denmark setara dengan putusan pengadilan. Selain itu, rekomendasi
ombudsman dinilai sebagai putusan yang bersifat final yang dapat diterima
oleh para pihak terkait.
Pintu masuk berantas korupsi
Bagaimana dengan
Indonesia? Selama ini justru diyakini, sekaligus disayangkan, banyak di
antara rekomendasi Ombudsman RI tidak dipatuhi, sebagai indikasi adanya
arogansi institusi. Oleh karena itu, mesti ada strategi Ombudsman RI untuk
mereformasi kondisi ini. Strategi itu termasuk menerapkan penegakan hukum
terhadap mereka yang secara nyata menolak atau tidak menjalankan rekomendasi
dari lembaga ini.
Penerapan penegakan
hukum yang saya maksudkan adalah bahwa ada tindakan lanjutan apabila
rekomendasi Ombudsman RI tidak diikuti. Terbuka kemungkinan memproses hukum
institusi yang mengabaikan rekomendasi, baik melalui peradilan tata usaha
negara maupun melalui peradilan umum (perdata bahkan pidana).
Rekomendasi Ombudsman membuka
celah melalui ketiga hukum tersebut. Selama ini tidak ada konsekuensi bagi
institusi yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman. Langkah hukum terhadap
ketidakpatuhan dapat menjadikan Ombudsman RI lebih berwibawa.
Alternatif strategi
lainnya, Ombudsman RI memelopori revisi UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman. Revisi bertujuan menjadikan lembaga tersebut lebih kuat dan
terbukanya upaya paksa terhadap lembaga mana pun agar mematuhi rekomendasi
Ombudsman. Semua ini bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Pelayanan publik yang
berkualitas merupakan keniscayaan sebagai pintu masuk pemberantasan korupsi.
Indonesia harus memiliki kualitas pelayanan publik yang prima jika ingin
disejajarkan dengan negara-negara utama di dunia. Pada tahapan sekarang ini
pengawasan pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia masih harus
dimaksimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar