Jalan
Tengah Sosialisme
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif IDe (Institute for
Democracy Education);
Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global
Justice)
|
SINAR HARAPAN, 09 April 2015
Selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru, “pembangunan”
an sich menjadi panglima. Ideologi yang dianggap “kekiri-kirian” ketika
berbicara tentang ketimpangan sosial, menjadi tabu. Tak heran Pancasila, yang
sebenarnya memiliki sila keadilan sosial, menjadi sekadar materi hafalan atau
bahkan alat represi, ketika kelompok yang kritis terhadap pemerintahan
Soeharto dituduh sebagai tidak pancasilais.
Selain itu, berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat
dan Timur, dua orientasi (ideologi) utama pembangunan yang berangkat dari
paradigma modernisasi dan dependensia, seakan dicampakkan ke tong sampah
sejarah ideologi. Paling tidak, terdapat empat penyebab krisis ideologi
pembangunan.
Pertama, sebagai teori, baik modernisasi maupun dependensia,
tidak merasa perlu menganalisis diferensiasi dalam istilah “negara
berkembang”. Tak heran kebijakan yang dilakukan seringkali berbentuk one fit
all size. Kedua, meskipun beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi
menanjaknya Korea Selatan 4-5 dekade terakhir menjadi negara yang mampu
bersaing dengan negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat dijelaskan
dengan berbagai teori yang ada.
Menurut teori dependensia dengan asumsi negara miskin akan
terjebak dalam hegemoni negara kaya, ketika ikut serta dalam pengintergrasian
dalam pasar dunia, hanya akan “memicu keterbelakangan”.
Ternyata, meski ditandai berbagai hal negatif seperti relatif
rendahnya gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal
perkembangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan
signifikan yang meningkatkan kesejahteraan warganya.
Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan teori
modernisasi, yang pada awalnya disebut “Etika Konfusius” sebagai penyebab
keterbelakangan, lalu setelah mengamati keberhasilannya beberapa negara Asia
Timur, berbalik menyebut etika tersebut sebagai prasyarat keberhasilan.
Hal sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik,
yang awalnya mempropagandakan reduksi peran negara berdampak positif bagi
pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat
percepatan pertumbuhan ekonomi.
Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab ketiga dari krisis
teori pembangunan. Sangat lama, semua sepakat tentang tujuan mengejar
ketertinggalan dalam proses industrialisasi. Perdebatan hanya tentang “jalan
yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu antara paham sosialisme dalam
tradisi Marx dengan paham neo-klasik menurut Adam Smith.
Berbagai tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas
keterbatasan model pembangunan industrial, serta upaya mencontohnya oleh semua
negara di muka Bumi. Penyebab keempat kegagalan teori adalah kandasnya segala
bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan tersebut di atas.
Pada sisi teori, berbagai perkembangan tersebut telah
menyebabkan melemahnya aspek dogmatik, yang tadinya mewarnai perdebatan
sepanjang 1970-an. Saat ini, selain para ekonom neoklasik dengan kepercayaan
buta kepada pasar yang diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada
seorang pun yang mengaku memegang kebenaran mutlak.
Jalan Tengah
Dalam membicarakan tatanan sosial-politik yang ideal, sering
hadir kerinduan untuk menemukan “jalan tengah” antara kapitalisme dan
sosialisme. Bangsa ini pun pernah mencoba mencari jalan yang sesuai kondisi
sosial-budaya, termasuk kearifan dan kepercayaan penduduknya.
Pertanyaannya, apa mungkin ada “jalan tengah versi Indonesia”
dan, bukan nantinya, hanya sinkretisme paksaan dua isme yang
bertolak-belakang, sehingga dampaknya seakan mencampurkan minyak dan air?
Pertanyaan yang lebih konkret ialah, perlukah Sosialisme
Indonesia? Jawaban mudahnya, perlu, yaitu agar sisi positif sosialisme
sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan
berkeadilan, bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis, yang menjadi
persyaratan bagi berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia.
Di banyak negara, termasuk di negeri ini, telah berlaku
demokrasi politik meski belum berhasil menciptakan demokrasi ekonomi, social,
dan budaya. Pencapaian demokrasi politik, secara historis, tentu saja sangat
penting. Namun, itu kurang lengkap. Ia sekadar demokrasi perwakilan yang
pasif. Sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk mewakili kepentingan
mereka. Ekonomi tetap terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat, serta
masih adanya diskriminasi terhadap budaya, kepercayaan, dan komunitas
tertentu.
Eksperimen sosialisme (tepatnya komunisme) negara-negara Blok
Timur relatif gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis
politik yang berujung tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur secara hampir
menyeluruh. Tidak adanya demokrasi politik-ekonomi di negara-negara komunis
waktu itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dengan
akibat terjadinya stagnasi dan inefisiensi ekonomi serta lemahnya disiplin
kerja.
Ketidakpuasan atas dua isme tersebut, memicu pencarian
alternatif. Secara teoretis, hal itu telah memunculkan berbagai aliran
sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang
mengupayakan “Negara Kesejahteraan” yang berkembang di beberapa negara
industri maju, seperti di negara-negara Skandinavia. Selain itu, kita pernah
mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-Marxis,
socialism-science-movement, dan sosialisme-utopis.
Di negeri ini, kita pun pernah mendengar sosialisme-religius,
yang merupakan pemikiran kelompok beragama, untuk memberikan warna agamis
dalam ideologi yang diyakini mempromosikan keadilan bagi masyarakat miskin
dan terpinggirkan.
Dalam catatan sejarah Indonesia, terdapat empat partai politik
yang pernah menyandang kata “sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi
partainya. Partai-partai itu adalah Partai Sosialis yang diketuai Amir
Syarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai
Sutan Sjahrir.
Kemudian ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua
partai tersebut. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet
Republik Indonesia sampai pertengahan 1947, ketika terjadi keretakan antara
kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai
baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) awal 1948 dan bertahan hingga
1960, ketika dibubarkan Soekarno.
Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal sederatan
tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat
dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialisme. Namun, di antara tokoh-tokoh
tersebut, barangkali bisa dikemukakan hanya Sjahrir yang paling tegas dan
nyata dalam keyakinan dan perjuangannya. Ia bukan saja telah mendirikan
partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinan itu, melainkan jauh
sebelumnya telah memikirkan secara mendalam tentang paham sosialisme apa yang
paling cocok untuk Indonesia.
Sjahrir dengan tegas membedakan paham sosialisme yang hendak
diperjuangkannya di Indonesia, dengan sosialisme yang terdapat di Eropa Barat
maupun sosialisme yang ditawarkan pihak komunis.
Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan
kekhawatirannya akan komunisme yang totaliter, telah membawanya pada satu
pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu
sosialisme-kerakyatan. Baginya, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan
dan penegasan bahwa sosialisme seperti dipahaminya, selamanya menjunjung
tinggi dasar persamaan derajat manusia.
Perlu ditambahkan, sosialisme kerakyatan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang berada dalam kemiskinan,
keterpinggiran, dan kurang atau bahkan tidak memiliki akses untuk menjadi
setara dengan sesama warga Indonesia lainnya.
Dalam catatan sejarah diketahui cita-cita sosialisme-kerakyatan
Sjahrir tidak berhasil diwujudkan sebagaimana diharapkan. Namun,
ketidakberhasilan ini barangkali bukan semata-mata karena Sjahrir tergeser
dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun
namanya, hanyalah suatu paham, suatu cita-cita yang masih berada di tingkat
konsepsi.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan
harus didukung seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini
memang bukan hal mudah. Tanpa itu, ia hanya akan berhenti pada
imbauan-imbauan moral atau etis, namun tidak membawa perubahan apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar