Pewangi
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO.ID, 19 April 2015
Di ruang kerja saya, bercokol
alat pewangi yang sudah saya beli hampir dua tahun lalu. Harganya Rp 65 ribu
komplet baterai. Setiap bulan saya hanya membeli isi ulang minyak wanginya,
rata-rata Rp 15 ribu. Setahun, anggaran pewangi jadi Rp 180 ribu. Kalau tiap
tahun alat penyemprotnya harus diganti, total anggaran pewangi itu Rp 245
ribu. Seharusnya saya bisa berhemat kalau mau mematikan alat penyemprot itu
jika saya pergi beberapa hari.
Mohon tak membandingkan dengan
pewangi di ruang kerja DPR. Beda merek dan aroma, beda harga. Tapi, konon, di
dunia wangi-wangian, perbedaan itu tipis. Kalau dianggap sama, berapa
anggaran pewangi ideal di ruang kerja DPR? Jika ada seribu ruangan, termasuk
toilet dan lorong, anggaran yang dibutuhkan cuma Rp 245 juta. Sebutlah di
sudut-sudut lain juga ada pewanginya dengan kualitas lebih yahud, anggarannya
tak sampai Rp 1 miliar. Ini persis seperti anggaran pewangi DPR tahun lalu. Sekarang
kenapa anggaran pewangi itu membengkak sampai Rp 2,3 miliar? Kata teman saya,
"Karena banyak anggota DPR sekarang berbau busuk, jadi perlu pengharum
lebih banyak, meskipun tetap saja busuk."
Ah, itu sindiran teman, saya
tak mau terhasut. Saya positif saja. Saya menduga anggota DPR butuh yang
lebih wangi karena kini banyak dari kalangan artis yang biasa pesolek. Juga
bertambah banyak perokoknya, bahkan ada yang merokok di ruang sidang, meski
cepat minta maaf-karena ketahuan. Jadi, penyebab bau busuk itu, busuk yang
sebenarnya bukan kiasan, karena ulah mereka sendiri.
Kelengkapan di gedung parlemen
sering disebabkan oleh ulah anggota parlemen yang tak bisa mengendalikan
diri. Misalnya, kini ada wacana untuk membentuk "polisi parlemen".
Usul itu lahir karena sidang-sidang di gedung rakyat ini suka ricuh. Ada meja
dijungkirkan, ada saling dorong, bahkan ada yang berkelahi. Petugas
pengamanan internal kewalahan, maka "polisi parlemen" diusulkan.
Coba kalau mereka disiplin bersidang seperti rapat-rapat masyarakat adat, tak
akan ada pikiran membuat polisi khusus. Anggota parlemen perlu belajar dari
rakyat.
Rumah jabatan DPR di Kalibata
dan Ulujami pun tahun ini dianggarkan Rp 36 miliar lebih. Ini juga tak masuk
akal, kenapa rumah itu diperbaiki terus padahal tak banyak dihuni anggota.
Saya sering ke Kalibata karena teman saya jadi anggota DPR dari "fraksi
hidup sederhana". Rumah jabatan itu tak besar amat. Bagi anggota DPR
dari "fraksi hidup mewah", rumah jabatan itu tak dilirik. Tak ada
kolam renang khusus, misalnya. Tapi ada penghuninya, heran kan?
Anggota DPR saat ini memang
lain dibanding masa lalu. Perhatian mereka kepada sesama makhluk hidup
sangatlah besar. Misalnya, di taman gedung DPR sekarang ada 58 ekor rusa.
Anggaran makan dan perawatannya setahun Rp 650 juta atau Rp 54 juta lebih
sebulan atau sehari hampir Rp 2 juta. Tidak banyak. Tapi adakah kaitan antara
rusa dan hak angket? Tentu anggota DPR lebih maklum dibanding saya sebagai
rakyat.
Pimpinan DPR sendiri tak peduli
dengan anggaran-anggaran itu. Kutip misal pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri
Hamzah, "Anggota DPR itu tidak ada hubungannya dengan belanja maintenance gedung, itu agak jauh,
jadi itu bukan konsen anggota DPR dan pimpinan." Kalau urusan
"rumah tangga" saja tak konsen, bagaimana dengan urusan rakyat yang
jauh dari Senayan? Di sini saya merasa sedih sebagai rakyat, karena saya
memilih anggota DPR itu sebagai wakil rakyat, artinya "petugas
rakyat". Kalau tak mau disebut "petugas rakyat", ya, silakan
keluar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar