Selasa, 21 April 2015

Jalan Tengah Sosialisme

Jalan Tengah Sosialisme

Ivan Hadar  ;  Direktur Eksekutif IDe (Institute for Democracy Education);
Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice)
SINAR HARAPAN, 09 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selama lebih dari tiga dekade kekuasaan Orde Baru, “pembangunan” an sich menjadi panglima. Ideologi yang dianggap “kekiri-kirian” ketika berbicara tentang ketimpangan sosial, menjadi tabu. Tak heran Pancasila, yang sebenarnya memiliki sila keadilan sosial, menjadi sekadar materi hafalan atau bahkan alat represi, ketika kelompok yang kritis terhadap pemerintahan Soeharto dituduh sebagai tidak pancasilais.

Selain itu, berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat dan Timur, dua orientasi (ideologi) utama pembangunan yang berangkat dari paradigma modernisasi dan dependensia, seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Paling tidak, terdapat empat penyebab krisis ideologi pembangunan.

Pertama, sebagai teori, baik modernisasi maupun dependensia, tidak merasa perlu menganalisis diferensiasi dalam istilah “negara berkembang”. Tak heran kebijakan yang dilakukan seringkali berbentuk one fit all size. Kedua, meskipun beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi menanjaknya Korea Selatan 4-5 dekade terakhir menjadi negara yang mampu bersaing dengan negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat dijelaskan dengan berbagai teori yang ada.

Menurut teori dependensia dengan asumsi negara miskin akan terjebak dalam hegemoni negara kaya, ketika ikut serta dalam pengintergrasian dalam pasar dunia, hanya akan “memicu keterbelakangan”.

Ternyata, meski ditandai berbagai hal negatif seperti relatif rendahnya gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal perkembangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan signifikan yang meningkatkan kesejahteraan warganya.

Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan teori modernisasi, yang pada awalnya disebut “Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu setelah mengamati keberhasilannya beberapa negara Asia Timur, berbalik menyebut etika tersebut sebagai prasyarat keberhasilan.

Hal sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik, yang awalnya mempropagandakan reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab ketiga dari krisis teori pembangunan. Sangat lama, semua sepakat tentang tujuan mengejar ketertinggalan dalam proses industrialisasi. Perdebatan hanya tentang “jalan yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu antara paham sosialisme dalam tradisi Marx dengan paham neo-klasik menurut Adam Smith.

Berbagai tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas keterbatasan model pembangunan industrial, serta upaya mencontohnya oleh semua negara di muka Bumi. Penyebab keempat kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan tersebut di atas.

Pada sisi teori, berbagai perkembangan tersebut telah menyebabkan melemahnya aspek dogmatik, yang tadinya mewarnai perdebatan sepanjang 1970-an. Saat ini, selain para ekonom neoklasik dengan kepercayaan buta kepada pasar yang diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada seorang pun yang mengaku memegang kebenaran mutlak.

Jalan Tengah

Dalam membicarakan tatanan sosial-politik yang ideal, sering hadir kerinduan untuk menemukan “jalan tengah” antara kapitalisme dan sosialisme. Bangsa ini pun pernah mencoba mencari jalan yang sesuai kondisi sosial-budaya, termasuk kearifan dan kepercayaan penduduknya.

Pertanyaannya, apa mungkin ada “jalan tengah versi Indonesia” dan, bukan nantinya, hanya sinkretisme paksaan dua isme yang bertolak-belakang, sehingga dampaknya seakan mencampurkan minyak dan air?

Pertanyaan yang lebih konkret ialah, perlukah Sosialisme Indonesia? Jawaban mudahnya, perlu, yaitu agar sisi positif sosialisme sebagai perangkat analisis sosial yang tajam dalam menggambarkan tatanan berkeadilan, bisa digabungkan dengan tatanan politis demokratis, yang menjadi persyaratan bagi berfungsinya sebuah ekonomi pasar dalam konteks Indonesia.

Di banyak negara, termasuk di negeri ini, telah berlaku demokrasi politik meski belum berhasil menciptakan demokrasi ekonomi, social, dan budaya. Pencapaian demokrasi politik, secara historis, tentu saja sangat penting. Namun, itu kurang lengkap. Ia sekadar demokrasi perwakilan yang pasif. Sebagian besar rakyat memilih orang lain untuk mewakili kepentingan mereka. Ekonomi tetap terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat, serta masih adanya diskriminasi terhadap budaya, kepercayaan, dan komunitas tertentu.

Eksperimen sosialisme (tepatnya komunisme) negara-negara Blok Timur relatif gagal. Tidak adanya demokrasi politik mengakibatkan krisis politik yang berujung tumbangnya Uni Soviet dan Blok Timur secara hampir menyeluruh. Tidak adanya demokrasi politik-ekonomi di negara-negara komunis waktu itu, dikemas dalam konteks full employment yang dipaksakan dengan akibat terjadinya stagnasi dan inefisiensi ekonomi serta lemahnya disiplin kerja.

Ketidakpuasan atas dua isme tersebut, memicu pencarian alternatif. Secara teoretis, hal itu telah memunculkan berbagai aliran sosialisme. Sosialisme-demokratis adalah salah satu bentuk sosialisme yang mengupayakan “Negara Kesejahteraan” yang berkembang di beberapa negara industri maju, seperti di negara-negara Skandinavia. Selain itu, kita pernah mendengar berbagai genre sosialisme, seperti sosialisme-non-Marxis, socialism-science-movement, dan sosialisme-utopis.

Di negeri ini, kita pun pernah mendengar sosialisme-religius, yang merupakan pemikiran kelompok beragama, untuk memberikan warna agamis dalam ideologi yang diyakini mempromosikan keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Dalam catatan sejarah Indonesia, terdapat empat partai politik yang pernah menyandang kata “sosialis” sebagai nama dan ideologi resmi partainya. Partai-partai itu adalah Partai Sosialis yang diketuai Amir Syarifuddin dan Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang didirikan dan diketuai Sutan Sjahrir.

Kemudian ada Partai Sosialis yang merupakan fusi dari kedua partai tersebut. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet Republik Indonesia sampai pertengahan 1947, ketika terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan kelompok Amir Sjarifuddin. Sjahrir lalu membentuk partai baru yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI) awal 1948 dan bertahan hingga 1960, ketika dibubarkan Soekarno.

Dalam sejarah pergerakan kemerdekaan, kita mengenal sederatan tokoh, termasuk Soekarno dan Hatta, yang berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip-prinsip sosialisme. Namun, di antara tokoh-tokoh tersebut, barangkali bisa dikemukakan hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangannya. Ia bukan saja telah mendirikan partai politik (PSI) untuk mewujudkan keyakinan itu, melainkan jauh sebelumnya telah memikirkan secara mendalam tentang paham sosialisme apa yang paling cocok untuk Indonesia.

Sjahrir dengan tegas membedakan paham sosialisme yang hendak diperjuangkannya di Indonesia, dengan sosialisme yang terdapat di Eropa Barat maupun sosialisme yang ditawarkan pihak komunis.

Pergumulannya atas paham-paham sosialisme di Eropa Barat dan kekhawatirannya akan komunisme yang totaliter, telah membawanya pada satu pemikirannya tentang sosialisme yang sesuai bagi Indonesia, yaitu sosialisme-kerakyatan. Baginya, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti dipahaminya, selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia.

Perlu ditambahkan, sosialisme kerakyatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama mereka yang berada dalam kemiskinan, keterpinggiran, dan kurang atau bahkan tidak memiliki akses untuk menjadi setara dengan sesama warga Indonesia lainnya.

Dalam catatan sejarah diketahui cita-cita sosialisme-kerakyatan Sjahrir tidak berhasil diwujudkan sebagaimana diharapkan. Namun, ketidakberhasilan ini barangkali bukan semata-mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI dibubarkan. Sosialisme, apa pun namanya, hanyalah suatu paham, suatu cita-cita yang masih berada di tingkat konsepsi.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus dibuat operasional dan harus didukung seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini memang bukan hal mudah. Tanpa itu, ia hanya akan berhenti pada imbauan-imbauan moral atau etis, namun tidak membawa perubahan apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar